Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Tradisi Islam yang Hidup (1)

1 November 2011   02:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:13 606 0
Islam bagi masyarakat Indonesia adalah agama yang hidup, tidak kering dari tradisi. Tradisi yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang senantiasa dianut, dipegang erat-erat dan dipelihara secara terus menerus oleh pemiliknya. Setidaknya minimal ada tiga contoh tradisi Islam itu yang hidup dalam masyarakat: "pertama", tradisi "lebaran, nyadran, dan ziarah", dimulai selepas hari raya Idul Fitri setiap tanggal 1 Syawal. Biasanya diawali dari tradisi ziarah pada pagi hari selepas shalat Ied; dalam ziarah ini biasanya dibacakan Q.S. Yaasiin dan tahlil, atau tahlil/yaasiin saja kemudian diakhiri dengan doa yang bertujuan demi kebaikan saudara-saudara yang telah wafat, dan juga kebaikan bagi kita yang masih hidup. Tradisi ini sesungguhnya menasihatkan kepada kita untuk mengingati kematian, ketika segala kemewahan duniawi yang selama ini dinikmati dan diusahakan secara membabi buta tiba-tiba ditinggalkan; istri yang cantik, mobil yang mewah, rumah yang megah, anak-anak yang dikasihi, dan semuanya harus ditinggalkan kecuali segelintir amal saleh dan butir-butir sawi kebajikan.

Selepas ziarah ke makam mereka yang telah wafat terdahulu, kemudian dilanjutkan dengan silaturahim (memupuk kehangatan ikatan persaudaraan dan kasih sayang) kepada para tetangga, sanak saudara, dan handai tolan, teman kerja dan seterusnya. Tradisi silaturahim ini bertujuan untuk secara nyata saling memaafkan atas kesalahan dan kekhilafan yang telah dilakukan, baik sengaja maupun tak disengaja. Tradisi Silaturahim ini didasari atas suatu kesadaran bahwa watak kodrati manusia adalah disertai salah dan khilaf, maka upaya saling memaafkan pun adalah upaya yang sudah selayaknya lahir dalam diri kemanusiaan manusia. Tradisi silaturahim ini puluhan tahun yang lalu dikenal dengan istilah "Nyadran". Nyadran merupakan tradisi saling kunjung mengunjungi yang menurut Agus Sunyoto (Dosen UIN Malang) diadaptasi dari tradisi agama Buddha.

Dari seringnya manusia berbuat salah dan khilaf maka lahir pula tradisi lebaran di mana disertai dengan ceramah agama, tradisi inilah yang kemudian disebut Halal bi Halal. Era tahun 1980-2000-an merupakan era jaya-jayanya ceramah-ceramah ini. Pada masa ini, di kampung-kampung di pelosok Jawa berdatangan mubaligh-bubaligh dari Jakarta seperti Nur Iskandar SQ, Zainuddin MZ (alm), Habib Idrus Jamalullail dll. Namun belakangan ini menurun terutama karena maraknya kegiatan terorisme. semenjak maraknya terorisme kegiatan pengajian dan Halal bi Halal dengan mendatangkan mubaligh dari Jakarta semakin berkurang.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun