Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Jokowi Tiga Periode, Issu Demagog Sebatas Strategi Bertahan Presiden

14 Februari 2022   12:51 Diperbarui: 14 Februari 2022   18:59 360 6
Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Beredar issu Tiga periode Jokowi sebagai presiden, telah menimbukan riak dalam politik dalam negeri terutama dikalangan organisasi politik,  organisasi masyarakat, organisasi kepemudaan dan lain-lain yang berdampak secara umum kepada politik masyarakat. Saya ingin mengatakan bahwa salut dengan opini yang dikembangkan buzzer yang dapat membius setengah dari organisasi masyarakat Indonesia, terutama kalangan yang hidupnya menkomsumsi berita politik. Setidaknya para buzzer telah sukses memprokasi masyarakat dan setidaknya dampak politik sudah lebih baik bagi rezim Jokowi untuk mempertahankan kekuasaan hingga akhir periode.

Di keluarkan satu Issu politik yang hangat justru bertentangan dengan opini dan imge pada masyarakat itu ibarat dalam perminan sepakbola ada yang namanya strategi bahwa pertahanan yang baik itu adalah dengan melakukan intensitas menyerang. Jadi dengan menyerang otomatis sekaligus menjadi pertahanan.

Kalau anda boleh membuka informasi sebelum issu Tiga periode tersebut maka anda pasti akan menemukan kontradiksi, misalnya banyak tokoh yang menggagas impeachment kepada presiden. Atau sudah pasti setidaknya statement yang menyatakan presiden Jokowi minus dalam kepemimpinan negara bahkan ada yang menyatakan bahwa Jokowi tidak layak sebagai presiden,  kemudian ada juga tokoh yang menyatakan Jokowi dengan tamsilan terlalu besar jabatan dibandingkan kemampuannya. Karena mereka tidak secara langsung mengatakan presiden bodoh dalam kebijakan yang terlihat bertentangan dengan kepentingan rakyat yang diilustrasikan dengan pribumi atau masyarakat agama paling dominan Indonesia yakni Islam.

Ketika issu Tiga periode tersebut menggelinding di masyarakat, maka hal ini akan menjadi pembicaraan publik, ditambah media-media yang pro pemerintah atau dibayar pemerintah bahkan mengadakan diskusi dan kajian tentang tema tersebut.

Lalu, apa yang terjadi? Pembunuhan karakter terhadap presiden Jokowi mulai terbantah, terhandle dalam politik masyarakat, karena secara umum tema sudah berubah dari evaluasi kedudukan terhadap Jokowi dan mendongkel dari kedudukannya justru diilustrasikan sebagai presiden berhasil memimpin dan bijak dalam bersikap untuk kepentingan rakyat secara umum. Rakyat menegah sudah duluan berkembang issu bantuan langsung dengan berbagai skema bantuan langsung masyarakat dan juga usahanya dengan issu skema kredit kelompok dan sebagainya yang bisa digolongkan sebagai program stimulus ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil.

Fakta-fakta ini menjadi alat penguat argumen untuk mempengaruhi rakyat menengah bawah yang akan menghandle masyarakat golongan tokoh ketika mereka menyeret tentang issu pembangunan kebangsaan dan pembangunan rakyat dan negara secara normatif.

Timbul pertanyaan pengaruh mana yang lebih besar? Jawabannya tentu saja ya issu tentang Jokowi Tiga periode dengan fakta-fakta yang dianggap holistik pada masyarakat kelas menengah bawah. Lho, kenapa demikian? Bukankah orang pintar atau tokoh besar kebangsaan lebih mampu mempengaruhi rakyat dengan wawasannya?

Jadi begini di negara kita ini pemikiran yang cerdas yang melahirkan kebijakan terbaik bagi rakyat, bangsa dan negara menjadi kurang berarti ketika ilustrasi bantuan ekonomi rakyat dihembuskan oleh politisi maupun pemerintah. Masyarakat secara umum akan berpihak kepada realita ekonomi rakyat daripada issu kebangsaan. Bahkan masyarakat menengah bawah kurang care pada issu penanganan korupsi karena diyakini tidak berkait dengannya.

Baik, sekarang mari kita lihat dengan data (lihat google statistik warga negara) atau dengan fakta sajalah yang terilustrasi kepada tokoh politik atau politisi yang umum,  tidak perlu cerdas untuk melihat fakta tersebut, yaitu :

"Siapa lebih banyak jumlah masyarakat dengan pengetahuan politik yang mumpuni atau menengah atas dengan masyarakat awam yang apolitis bahkan buta politik atau pengetahuan menengah bawah dinegara kita?"

Jawabannya tentu jauh lebih besar jumlah masyarakat awam yang meraba-raba dalam politik termasuk mereka yang berpolitik yang sebahagian besar dengan sentimen politik atau mengikuti terminology diatas sebagai masyarakat awam.

Oleh karena itu maka para demagog dalam politik jauh lebih uanggul ditengah masyarakat dibanding mereka para tokoh bangsa yang negarawan. Dengan kata lain mereka yang berpura-pura dan sanggup membangun image dan opini politik tentu saja akan dipilih rakyat Indonesia secara umum. Karena itulah "kesalahanpun" yang mampu dimanajemen secara baik akan menang melawan kebenaran yang sesungguhnya yang tidak termanajemen secara baik.

Maka jangan heran ketika orang-orang politik di Indonesia yang tampil di parlemen justru mereka yang mengikuti ajaran mashab politik "Machiavalli" yang intinya menghalalkan segala cara.

Demikian juga di eksekutif seperti presiden, menteri, gubernur dan bupati itu sebagian besar justru kalangan demagog. Atau rekayasa orang pintar yang ahli politik kemudian merekayasa kepercayaan rakyat terhadap kalangan tersebut. Hal ini juga terjadi di negara lain yang membangun negara dengan kepercayaan rakyat (public trust) atau demokratisasi.

Untuk interpretasi politik dimasa yang akan datang maka pertaruhan politik Indonesia adalah "Apakah Jokowi bertahan dengan strategi bertahan menyerang tersebut? "

Atau para tokoh sanggup mengungkit fakta-fakta realita hidup rakyat yang terpuruk, kemudian ketika hal itu meyakinkan rakyat hal ini berbalik menjadi issu utama politik Indonesia tentang inpeacment Jokowi sebagai kedudukan presiden terbukti adanya.

Kita akan nantikan pertarungan issu sambil menikmati realita hidup rakyat yang sebenarnya, senang,  sejahtera,  susah dan melarat yang akan menjawab politik mereka. Apakah demagog akan berjaya atau sebaliknya.

Untuk membaca arah kemungkinan politik dimasa depan tentang hal ini, maka pertanyaan terakhir dalam ulasan ini adalah,  Apakah Tiga Periode Presiden Jokowi bisa terjadi?

Jawabnya singkat,  tergantung pada pada parlemen (lembaga Wakil Rakyat Republik Indonesia) karena perubahan konstitusi hanya bisa dilakukan atas kesepakatan mereka dan jalan terakhirnya bisa saja antara pro dan kontra adalah vooting maka lahirlah keputusan perubahan konstitusi (constitution of change).

Kesimpulannya hal ini bisa terjadi jika anggota parlemen bisa dikawal dominan oleh pemerintah, indikator utama adalah ketua umum partai politik. Jika mentalitas mereka Demagog sudah pasti bisa terjadi. Tapi jika mentalitas mereka setengah parlemen saja negarawan maka presiden Tiga Periode tidak akan pernah terjadi. Satu lagi catatan penting bagi rakyat Indonesia bahwa issu Tiga periode ini jika tidak diperjuangkan maka hal itu adalah Issu pembodohan rakyat dalam politik.

Salam

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun