Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Sering kita membaca fenomena kehidupan kader partai politik terutama di daerah-daerah dalam aktivitas kesehariannya menempatkan kader partai politik lain sebagai musuh yang harus dicurigai dan sebahagian mereka menjaga jarak lintas kader antara satu partai dengan partai lainnya.
Pada masa masyarakat Indonesia hidup dalam tiga partai politik yaitu Golkar, PPP dan PDI sering kita temui terdapat sikap sentimen yang parah lintas kader partai politik. Dimasa itu kualifikasi masyarakat Indonesia secara garis besar terbagi dalam tiga kelompok yaitu, mereka yang berbasis pendidikan umum berada dalam afiliasi politik dengan partai Golkar. Berikutnya kelompok masyarakat yang berbasis dayah atau alim atau berbasis pendidikan agama berafiliasi dengan partai PPP dan kelompok warga masyarakat yang menengah bebas bahkan terkesan preman berafiliasi dengan PDI.
Dalam hubungan ketiga kelompok besar ini kita dapat mencium aroma perbedaan cara pandang dalam berbagai sisi kehidupan warga masyarakat, misalnya dalam agama, budaya dan prilaku umum masing-masing kader partai politik tersebut bagaikan ada dinding pemisah. Bahkan tidak kurang dari kader lintas partai itu terlihat seperti ada permusuhan ideology politik yang sulit ditutupi pada masyarakat umum.
Sebenarnya kita dapat memaklumi  sikap mereka kala itu apalagi partai politik sangat terbatas jumlahnya. Berikut ketiga partai politik dimasa itu merupakan partai politik sebagai barang baru bagi warga masyarakat Indonesia yang belum lama merdeka. Tentu wajar saja kader lintas partai politik memiliki perbedaan yang kental dalam memandang cara bernegara. Begitu juga jika kita tilik dalam sebuah keluarga, seringkali kita temukan politik satu warna dan mereka akan menganggap pengkhianat anggota keluarga yang memilih warna politik lain.
Karena pemisahan antara partai dianggap sebagai pemisahan ideologis maka saat itu partai dianggap memiliki ideology yang kuat dan berkualitas dalam politik rakyat Indonesia. Sementara pasca reformasi terjadi perubahan dimana banyak kalangan profesional masuk dalam dunia politik sehingga demokrasi seakan berjalan lancar, padahal mereka tidak lebih terkurung dalam kesantunan kalangan profesional dan teknokrat yang mendominasi dunia politik. Karena pemuka politik berasal dari kalangan masyarakat menengah atas tentunya mereka lebih bersahaja dibandingkan politik yang di dominasi kalangan masyarakat sebagaimana sekarang ini dari berbagai kalangan tanpa dominasi pimpinan.
Sebenarnya salah satu indikator kehidupan demokrasi dapat dilihat dengan kemapanan hidup rakyat, pada masyarakat yang sejahtera demokrasi akan berjalan lancar karena tingkat kesadaran yang tinggi dalam bermusyawarah dan bermufakat dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan bersama dalam berbagai sisi kehidupan. Berikutnya indikator kecerdasan pimpinan masyarakat juga dapat dilihat dari sikapnya dalam berdemokrasi, Â jauh dari sikap egosentris, emosional dan sentimen dalam pemerintahan, Â politik dan kehidupan sosial.
Jika ingin mengukur penerapan demokrasi pada suatu masyarakat maka salah satu indikator yang paling ampuh adalah tingkat kecerdasan pimpinan rakyat, Â misalnya di negara yang populer seperti Amerika dengan budaya demokrasinya yang sudah cukup mapan, kita tahu persis bagaimana kualitas demokrasi dimasa presiden Obama, Trump dan Biden. Sebahagian besar organisator akan mudah memahaminya. Â
Dengan fakta-fakta tersebut maka muncul pertanyaan, apakah kualitas semakin cerdas pimpinan rakyat maka demokrasi akan semakin baik? Sebaliknya kalau pimpinan rakyat yang bodoh kualitas demokrasi juga bobrok? Â Kelihatannya hampir dapat dipastikan demikian faktanya hampir dapat dipastikan kecuali masih dipengaruhi oleh faktor jahat dan baik. Karena sikap otoriter pada dasarnya adalah sikap pemimpin antena pendek yang berwawasan sempit sehingga berpikir pragmatis tanpa alternatif dan tanpa banyak pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Sementara pemimpin yang cukup akal dan ilmunya sudah pasti penuh pertimbangan dalam pengambilan suatu keputusan, baik terhadap publik, kelompok maupun pribadinya.
Oleh karena itulah maka pemimpin didunia manapun diharuskan syaratnya bagi mereka yang memiliki wawasan dan pengetahuan lebih dalam politik, bernegara dan bermasyarakat. Sehingga pemimpin itu bukan sebatas orang berpengaruh karena kuasa akan uang dan fasilitas tetapi pemimpin lebih dipandang sebagai guru rakyat, guru bangsa dan ketelanan sehingga indikasi kecerdasan dan kematangan diperlukan sebagai prioritas dalam kriteria pemimpinnya.
Dengan keberadaan pimpinan yang seorang guru dan kematangannya yang layak maka perbedaan lintas partai hanya pilihan cara pandang, cara berpolitik yang memiliki ruang untuk didiskusikan sehingga meskipun diantara mereka ada yang kritis maka dipandang sebagaimana pekerjaan profesional yang dijalankan untuk mencapai target pekerjaannya.
Sebaliknya kehidupan rakyat tanpa pimpinan yang cerdas maka sudah pasti masyarakatnya hidup dalam sentimen dan emosional, akhirnya bermusuhan lintas kader partai politik bahkan partai politik hanya akan menjadi semacam grub gengster yang sekedar memiliki jaringan dan mengurus kepentingan bisnisnya tanpa mengutamakan kehidupan rakyat tetapi prioritas mereka hanya pada bagaimana mereka bisa berkuasa atas rakyatnya.
Justru karena itulah maka partai politik di dalam negara maupun dalam provinsi dan kabupaten/kota dapat juga menjadi sebahagian ilustrasi bagaimana kondisi rakyatnya. Kalau lintas kader partai dianggap sebagai musuh maka lintas elemen masyarakat sudah pasti terjadi pemisahan dan perbedaan, karena pimpinan politik akan menutup mata terhadap kader partai lain meskipun lebih berkualitas sumber dayanya. Padahal masyarakat Indonesia yang berdomisili di daerah sesungguhnya sama sekali tidak berpolitik tetapi mereka sebatas mencari peluang untuk bertahan hidup, dan memperoleh pendapatannya. Â