Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Adalah sesuatu yang istimewa bagi Republik Indonesia dalam penanganan masalah Aceh dengan berbagai peristiwa yang dilalui dalam sejarah politik kebangsaannya. Meskipun diwarnai dengan sejarah hitam bangsa ini dengan genosida yang tidak dapat dipungkiri terjadi ditanah Aceh yang masyarakatnya dominan beragama Islam.
Meskipun pahit getir yang dialami rakyat Aceh dalam kehidupan bersama bangsa Indonesia yang pada akhirnya hingga saat ini tanah Aceh masih tetap utuh dalam status hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bagi negara ini keberadaan provinsi Aceh adalah menjadi begitu vital untuk bangsa Indonesia belajar dan mengevaluasi agar dapat menjadi negara yang pemerintahannya dapat meningkatkan pengetahuan demokrasi. Meskipun bangsa ini secara umum dan Aceh khususnya harus membayar mahal dengan berguguran rakyatnya dalam perang konflik bersenjata. Namun bangsa Indonesia akan lebih terpuruk bila semua peristiwa dan tragedi yang pernah menimpa rakyat Aceh tidak mampu dijadikan alat evaluasi pembangunan bangsa yang sangat mahal harganya.
Secara realita pada akhirnya Aceh adalah sebagai sample dan menjadi alat penguji bangsa dalam kehidupan kebangsaannya. Apalagi dengan kehadiran partai lokal yang pertama dalam sejarah selama Indonesia merdeka. Tidak hanya berhenti disitu, Aceh juga menjadi alat penguji lambang negara yaitu burung garuda dan falsafah bangsa bhineka tunggal ika.
Jika kita kembali kepada hakikat dasar lahirnya suatu negara maka tujuan utamanya adalah untuk membangun suatu organisasi yang bertujuan untuk mempermudah hidup dan menggapai kesejahteraan rakyat. Oleh karena itulah maka rakyat adalah elemen utama dalam negara dan semua elemen lain dalam bernegara justru diperuntukkan bagi mengiptimalkan kepentingan rakyat semata. Demikian pula halnya keberadaan pemerintah yang sesungguhnya tidak lain selain untuk mengelola dan mengurus kepentingan rakyat, maka pemerintahan dalam demokrasi yang dikenal berasal dari rakyat untuk rakyat, justru pemerintah itu adalah pelayan rakyat bukan tuan rakyat.
Karena tujuan negara untuk membangun rakyat maka jika suatu rakyat dalam wilayah tertentu bisa menunjukkan bahwa mereka lebih sejahtera hidupnya jika dalam negara tertentu yang tidak pernah berubah maka wajarlah jika ada daerah yang sebahagian besar rakyatnya menuntut merdeka apalagi mereka merasa dengan keberadaannya dalam suatu negara justru lebih banyak menghambat mereka maju. Karena itulah pemerintah dalam suatu negara yang rakyatnya yang melakukan pemberontakan sudah seharusnya berbuat lebih baik dalam pelayanan rakyatnya sehingga tujuan bernegara bagi rakyat yang ekstrim dapat diminimalisir.
Lalu, apakah masyarakat Aceh dengan pelayanan pemerintahan yang semakin minim sebagaimana tuntutannya dapat menggugat pemerintah Indonesia dan menuntut merdeka? Kenapa tidak. Karena pemerintah juga tidak konsisten dalam mengelola rakyat Indonesia sebagaimana konstitusi negara. Apakah mereka cukup alasan untuk menuntut pemisahan diri? Jika komitmen dan konsistensi pemerintah dalam bernegara tidak dapat dirawat maka kebijakan dan sikap rakyat tersebut sah-sah saja demi kehidupannya yang lebih baik, mengingat tujuan utama negara adalah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Tetapi tentu saja berbeda apabila pemerintah berlaku otoriter sebagaimana masa lalu, ketika masyarakat Aceh menuntut merdeka maka kebijakan pemerintah justru memberi hadiah dengan status Daerah Operasi Militer (DOM).
Tetapi lihat bagaimana status Timor Leste ketika pemerintah dipimpin presiden BJ. Habibie yang demokratis dengan mengutamakan kehidupan masyarakat dan memberi hak kepada rakyatnya untuk memilih melalui Referendum. Hal ini juga sejalan dengan bunyi pembukaan UUD 1945 bahwa penjajahan diatas bumi harus dihaouskan. Oleh karena itukah maka rakyat perlu memahami dan melek politik agar mengenal penjajahan apalagi penjajahan dijaman ini yang dilakukan dengan kebijakan pemerintah dan tidak menggunakan senjata secara phisik.
Dengan pemikiran demikian dalam demokrasi maka sudah seharusnya masyarakat Aceh harus memihak kepada politik yang memperjuangkan demokrasi dan hak-hak rakyat secara utuh dalam konsepsi pembangunan Indonesia termasuk dalam opsi memilih pemimpin yakni presiden dan gubernur di daerahnya agar demokrasi mendapat tempat utama dalam visi pembangunan daerah dan bangsa sehingga rakyat dapat terdidik secara baik dan hidup dalam alam demokrasi dan kebebasan berpendapat dalam bernegara.
Sesungguhnya keberadaan rakyat Aceh saat ini yang hidup bernegara dengan dua konstitusi yakni UUD 1945 dan UUPA memiliki posisi tawar (bargainning) politik yang cukup kuat dalam bernegara. Rakyat Aceh dapat menyeret pemerintah Indonesia untuk berlaku demokratis untuk seluruh rakyat Indonesia sebagaimana konstitusi negara.
Jika pemerintah berlaku otoritarian dan memperlakukan sistem pemerintahan otokrasi dalam pemerintahan maka dalih-dalih terbuka bahkan menganga bagi masyarakat Aceh menuntut hak yang normal bahkan menuntut merdeka bukan sesuatu yang melanggar konstitusi negeri ini karena masyarakat memahami UUD 1945 yang demokratis dan anti penjajajahan. Tetapi kenapa juga mentalitas rakyat justru menjadi lemah? Sebabnya tidak lain adalah akibat lemahnya pemahaman masyarakat sendiri terhadap konstitusi negeri ini.
Pengalaman hidup bangsa Indonesia yang dijajah lama lebih kurang empat abad oleh bangsa lain adalah akibat lemahnya pengetahuan rakyat itu sendiri. Prilaku penjajah dan masyarakat menerima sebagai terjajah masih mendominasi sikap rakyat Indonesia yang terdidik dalam budaya feodal. Lalu, apakah sikap pemerintah terhadap rakyat daerah masih menjajah?
Semua tergantung pada kemampuan masyarakat melihatnya, jika pemimpin daerah dan mereka cerdas melihatnya tentu dapat dibuka dan diberi pemahaman kepada rakyat secara transparan. Karena memberi pendidikan politik kepada rakyat adalah kewajiban bagi para politisi dan partai politik. Tetapi jika pimpinan partai politik daerah juga tidak punya kemampuan dan kapasitas melihat hal itu dapat dipastikan rakyat daerah yang dijajah langsungpun mereka tidak pernah memahaminya. Lalu, apa yang terjadi?
Otonomi daerah apalagi otonomi khusus sudah pasti akan binasa, dapat dipastikan keberadaannya sebatas simbolik belaka. Sementara penerapan otonomi daerah dan otonomi khusus hanya lips servise yang hanya berorientasi pada sistem sentralistik sebagaimana masa lalu.
Karena itu jika disebutkan masyarakat sudah pandai berpolitik maka dapat dipastikan bahwa masyarakat sudah pandai menipu dalam politik secara kasar atau bisa saja meninabobokan rakyat dalam impiannya bernegara tanpa memperuangkan hak politik yang sesungguhnya. Karena apa?
Tentu saja karena politik pragmatis hanya mengajarkan rakyat mengeksploitasi sentimen dan melakukan propaganda pemenangan kelompok politik. Hal itu masih sangat jauh dengan nilai-nilai standar dalam politik. Justru karena itulah kepemimpinan daerah oleh bupati dan gubernur hanya berorientasi pada penguasa anggaran negara. Sementara rakyat hanya menjadi objek yang diperhatikan secara simbolik.
Akhirnya pemerintah hanya membangun program bantuan ini dan itu bahkan terhadap partai politikrakyatpun disebutkan bantuan kepada partai politik, apalagi kepada segmen dhuafa. Padahal semua yang disimbolkan dengan bantuan tersebut adalah kewajiban utama negara bukan sebatas bantuan yang memisahkan rakyat sebagai si miskin dan pemerintah sebagai si kaya. Logika ini tentu telah memuluskan pemerintah sebagai penguasa rakyat sebagaimana perompak menguasai sekelompok warga yang dijadikan sandera. Hal ini tentu bertentangan dengan konsepsi negara yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyat dan membebaskannya dari penjajahan dipermukaan bumi sebagaimana bunyi pembukaan UUD 1945.
Lalu, pertanyaan yan paling vital adalah, apakah partai lokal mengganggu sistem bernegara di Indonesia?
Jawabnya adalah ketika pemerintah berlaku otoriter dan anti dengan konstitusi negara Indonesia yang demokratis maka partai lokal bukanlah partai politik yang wajar dalam sistem pemerintagan Indonesia. Tetapi dalam pemerintahan yang demokratis sebagaimana konstitusi negara maka partai lokal adalah alat pembelajaran bangsa yang menuntut kebangsaan yang luas dan modern sebagaimana pancasila dan UUD 1945 yang menjamin hak dan kehidupan rakyatnya untuk hidup di alam merdeka.
Lalu, kalau ada kebijakan pengkebirian partai lokal oleh pemerintah, maka sesungguhnya pemerintah tersebut sedang merusak bangsa Indonesia yang besar dan demokratis. Pemerintah tersebut bukan sedang membangun rakyat Indonesia yang flural dan demokratis sebagaimana bhineka tunggal ika. Pemerintah itu juga sedang menghambat Indonesia maju yang membelenggu rakyatnya dalam kebijakan penjajahan terselubung. Bagaimana dengan sikap partai politik nasional? Kebijakan mereka berafiliasi dengan partai lokal adalah kebijakan membangun rakyat Indonesia. Sebaliknya jika mereka bersentimen apalagi bermusuhan dengan partai politik lokal maka kebijakan mereka sedang menghambat pembangunan bangsa Indonesia.
Hal inilah yang dibutuhkan pemahaman ditengah masyarakat terhadap keberadaan partai politik lokal dan rakyat seharusnya memberi perhatian dan melek politik bukan sebatas dukung mendukung dan hanya sebatas melahirkan kemenangan serta kekalahan sebagaimana pertandingan sepak bola dalam persepsi politik.
Salam