Melihat cara-cara berpartai politik pada masyarakat yang berdomisili di daerah sebahagian besar mereka sesunggguhnya hanya dalam kapasitas mencari peluang untuk bisa hidup lebih berpengaruh dan membuka peluang mencari pendapatan yang lebih terbuka bagi dirinya.
Bahkan tidak untuk kelompok sekalipun, apalagi untuk memperjuangkan platform perjuangan partai politik sungguh jauh panggang dari api. Bahwa ada sebahagian kecil dari mereka yang memahami ideology politik memang tidak dapat kita nafikan.
Tetapi di Indonesia sebahagian besar warga masyarakat dalam politik justru hanya bersandar pada batasan berpolitik dalam kapasitas teology yang cenderung menjadi landasan sosial dalam memaknai visi dan misi partai politik.
Misalnya, partai A dianggap pemimpin pusatnya gigih membela nilai agama dan dipandang secara vulgar terkesan baik maka masyarakatpun mempersepsi mereka sebagai politisi dan partai politik yang baik yang wajar dihargai dan dipertahankan dukungannya.
Berikutnya masyarakat daerah hanya memandang dalam standar batasan "Baik dan Jahat" dalam mereka mempersembahkan sikap politisi atau sikap partai politik ketika politik berhadapan dengan opini yang diyakini masyarakat untuk membela kepentingan agama atau nilai agamanya, atau pilihan yang diyakini sebagai kebaikan dan memusuhi partai politik yang bertentangan dengan persepsi mereka.
Padahal hanya dalam persepsi yang belum tentu benar karena dalam "strategi politik antara" seringkali terdapat sikap partai politik yang bertentangan dengan persepsi masyarakat pada umumnya yang tidak bisa dibuka oleh pelaku politik. Namun karena telah menjadi kecenderungan sosial sehingga pemimpin politik atau para politisi terlihat secara vulgar justru bertentangan dengan massa atau persepsi masyarakat umum.
Hal inilah yang sering dihadapi partai politik dan pemimpinnya yang dalam ilmu politik disebut disebut keberanian pemimpin partai politik atau partai politik membuat pilihan keputusan yang tidak populis dan terlihat merugikan partai politiknya atas dukungan rakyat. Terkadang persepsi awam tidak sepaham dengan mereka tetapi karena menjadi "strategy antara" untuk melakukan perubahan dalam kebiasaan masyarakat atau budaya masyarakat yang telah dipelajari oleh pimpinan partai politik yang kemudian memilih dalam pertaruhan yang beresiko merugikan partai politik itu atau memilih resiko yang lebih besar yakni merugikan masyarakat itu sendiri.
Pada titik ini sesungguhnya partai politik tersebut sedang berjuang dengan pertaruhan nama baiknya untuk membuat perubahan, justru mereka terjerumus dalam persepsi negatif dalam politik yang lama dan membuat masyarakat menganggap mereka sebagai musuh politiknya, apalagi pada masyarakat yang tidak memahami politik yang normatif sehingga ada partai politik di daerah yang terbuka mendapat dukungan yang optimal namun di daerah lainnya yang masyarakatnya tertutup justru mereka kalah total dan tidak mendapat dukungan rakyat.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah daerah yang dukungan terhadap partai politiknya berbeda dengan partai politik yang didukung secara umum, misalnya di Indonesia di provinsi lain partai tertentu menang pemilu secara dominan. Sementara di Aceh jangankan menang, satu kursipun sulit diraih. Indikasi tersebut, apakah partai politik tersebut yang salah atau masyarakat daerahnya yang salah kaprah?
Apakah kondisi dalam ilustrasi diatas bisa terjadi? Jawabannya bisa saja sebagaimana terjadi terhadap partai politik PDIP di provinsi Aceh. Dimana partai terrsebut adalah partai pemenang pemilu di Indonesia, sementara di Aceh justru mereka tidak memperoleh kursi parlemen di tingkat provinsi maupun ditingkat pusat dari suara pemilih Aceh.
Mengapa hal semacam ini bisa terjadi?
Pertama, Partai politik dimaksud tidak menempatkan Aceh sebagai daerah target unggulan dalam peta politik partai dimaksud, sehingga mereka tidak mempunyai strategy yang jitu dalam menggaet dukungan pemilih di daerah dimaksud.
Kedua, Pengurus wilayah partai tersebut tidak cukup kemampuan politiknya untuk membangun opini dalam mempengaruhi pemilih di daerah yang dimaksud.
Ketiga, Ada sentimen politik yang membuat kesenjangan sosial dan lemahnya dukungan politik terhadap partai dimaksud yang menyebabkan pembunuhan karakter secara alamiah terhadap kredibilitas partai dan kelompok tersebut.
Keempat, Masyarakat daerah tersebut salah kaprah dalam menilai misi dan visi politik sehingga mereka tidak mendukung partai yang dominan pendukungnya di seluruh pelosok negeri, padahal partai tersebut adalah partai yang menempatkan presiden Republik Indonesia.
Kelima, Partai politik tersebut bertentangan dengan sikap idealisme sosial yang bisa disebabkan oleh budaya atau agama yang dikelola tidak secara umum yang berlaku secara nasional, apalagi agama dan budaya daerah yang tunggal tidak terpisahkan.
Keenam, Pemimpin dan tokoh politik di daerah tersebut tidak mampu memberi pencerahan dalam orientasi politik yang optimal dalam pembangunan masyarakat daerahnya dimana sesungguhnya pilihan politik merugikan pembangunannya atau pilihan politik yang lebih besar manfaat untuk kepentingan pembangunan mereka sendiri.
Ketujuh, Masyarakat daerah tersebut salah orientasi dalam politik, dimana tujuan bernegara adalah membangun kesejahteraan rakyat. Sementara persepsi warga masyarakat setempat hanya berkisar dalam perihal opini sebatas "Baik dan Buruk" terhadap partai politik atau masyarakat setempat berorientasi pada emosional pemeliharaan budaya dan agama yang secara historis kebijakan politik pimpinan partai itu pernah bersinggungan dengan sikap masyarakatnya yang dalam hal ini kebenarannya dalam politik masih harus dipertanyakan.
Kedelapan, Partai politik tersebut yang diwakili pimpinan wilayahnya tidak mampu menunjukkan sikap politik yang membawa perubahan terhadap kesejahteraan masyarakat di daerah itu tetapi pimpinan wilayahnya hanya melakukan aktivitas politik sebatas memfasilitasi kepentingan politisi daerah untuk mengambil manfaat dalam mempertemukan stakeholders politik dengan pimpinan pusatnya.
Kesembilan, Partai politik tersebut tidak mempunyai " political benchmark" berupa para tetua, sesepuh, atau teladan yang pernah mendapat kepercayaan rakyat di daerah dimaksud, sehingga terkesan kehadiran partai itu hanya sekedar mewarnai dalam ranah politik di daerah yang tidak urgen dibutuhkan oleh masyarakatnya, karena terjebak dengan kepercayaan pada orang-orang yang bermental sebatas birokrator dalam politik yang jalannya lamban ibarat binatang keong.
Kesepuluh, Para petinggi wilayahnya tidak mampu memberi harapan baru bagi masyarakat dan mereka tidak mampu merubah image terhadap partai politik dimaksud yang dianggap negatif oleh masyarakat sementara mereka sendiri di dalamnya beranggapan selalu positif.
Kesebelas, Pimpinan pusat seringkali mempertimbangkan stabilitas organisasi dan kader sehingga mereka sering terjebak untuk larut dalam inrasionalitas maka meskipun terjadi stagnasi organisasi politiknya tetapi tidak cerdas mengambil keputusan organisasi yang strategis, misalnya mengganti pimpinan yang salah dan mencari pimpinan wilayah yang baru untuk membangun image dan opini baru agar memberi secercah harapan baru bagi masyarakat.
Keduabelas, Pimpinan Pusat Lamban mengambil keputusan politik untuk merombak manajemen dan ketakutan memberi kepercayaan kepada elemen warga baru sebagai pimpinan organisasi, padahal kader yang lama dalam teori organisasi akan menjadi fondasi ketahanan organisasi dan kebanyakan mereka jika terbatas kecerdasan tidak dapat diharapkan untuk perubahan karena terjebak dengan sistem organisasi. Sebagai contoh bisa kita saksikan pada pergantian kepala daerah, justru seringkali saat penempatan pejabat (pj) yang didatangkan dari luar saat itulah bisa dilakukan suatu perubahan. Organisasi juga perlu perombakan-perombakan agar menghasilkan perubahan fundamental apabila terjadi stagnasi.
Ketigabelas, Pimpinan organisasi kurang kreatif meramu perpaduan kader lama dan kader baru di daerah sebagai misi merekrut kader dari masyarakat yang seharusnya sebagai kewajiban partai politik namun terjebak dalam dinamika internal. Seharusnya kader yang beprestasi sudah seharusnya berada dalam rencana perubahan dan menempatkan pimpinan baru yang direkrut dari luar sebagai manager partai yang baru. Karena organisasi politik juga bisa dilakukan perombakan pada level pimpinan tidak hanya pada para kader semata.
Demikianlah halnya dalam menyiasati kondisi masyarakat disuatu daerah yang memiliki karakter tersendiri karena dipengaruhi oleh kecenderungan lingkungan dan nilai-nilai kehidupannya secara spesifik sehingga tidak semua daerah bisa disamakan dalam penanganan partai politik. Mungkin saja secara nasional partai tersebut menang tetapi bisa saja di daerah tertentu mereka justru drop down.
Salam