Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Saya yakin semua yang memperhatikan partai politik pasti mengakui kader yang militan di masyarakat itu adalah kader partai aliran, partai agama, partai yang pahamnya dibawa ke arah yang sempit bukan partai terbuka.
Padahal, jika kita melihat kualitas sumber daya manusia pimpinan partai aliran itu lebih dari berbagai perspektif dibanding partai terbuka yang kesannya mengambil jalan tengah, siapa yang mampu dan mau memimpin dari suatu organisasi yang ikemudian dijadikan organisasi politik. Kelebihan pimpinan partai aliran, misalnya pendidikannya, wawasannya, cara-cara memimpin dan membangun komunikasi dengan masyarakat.
Pertanyaan, apa perbedaan partai terbuka dengan partai aliran? Jawabannya adalah :
Partai terbuka hanya mengeksploitasi alat-alat politik yang esensial dan mengajak semua kontestan pemilu bertarung secara terbuka.
Partai aliran tidak bertarung merebut pengaruh politik secara terbuka tetapi mereka menggunakan alat lain seperti budaya, agama, adat, kebiasaan dan lain-lain yang tujuannya memperjuangkan budaya, agama dan nilai lain bagi kebaikan masyarakat, karena itu mereka harus mendapat banyak kursi jabatan.
Lalu kenapa kader partai terbuka terlihat biasa seperti tidak berpolitik? Sementara kader partai aliran dengan gayanya dan tanda organisasi di kantungnya seperti bintang, ka'bah, bulan, yang mengarah ke agama. Lalu banyak dalih yang bisa mereka kemukakan yang ujungnya meminta dukungan suara. Tetapi mereka sebelumnya sudah menceritakan bagaimana fungsi mesjid, bagaimana masyarakat di daerah kecil berjuang membangun mesjid. Bagaimana bersikap dan mengawal agama, bagaimana beriman, bagaimana tauhid dan lain-lain, sehingga kader partai aliran itu kesannya militan.
Sementara partai terbuka mereka hanya bagaimana mereka bisa memperoleh kursi, bagaimana mereka bisa mendapat dukungan, apakah dengan simpati atau dengan membeli suara. Karena begitu praktis maka partai terbuka juga lebih kebal terhadap kelakuan negatif kadernya karena mereka tidak menjual kesucian dan membawa agama.
Kelemahan partai aliran yang paling gampang di deteksi sebagai bentuk ketidak konsistennya, misalnya penguatan dalam silaturrahmi yang seharusnya dominan justru mereka lemah. Jika pun terjadi penguatan silaturrahmi eksternal tetapi di internal pasti amburadul.
Kalau saya kader partai, hari ini masuk rumah sakit, jangan berharap mereka akan hadir, apalagi kita sebagai penasehat, atau sebatas kader, kecuali mereka yang ada jabatan di partai masuk rumah sakit sudah pasti banyak yang datang. Yang perlu diingat esensinya bukan lagi silaturrahmi tetapi menjilat, takut di ganti, untuk memperoleh nomor  urut dan kepentingan lainnya yang beragam.
Logika sederhananya adalah, merawat nilai, menjaga agama, menjaga budaya untuk tetap menjaga kursi parlemen.
Justru karena itu maka partai aliran itu tidak pernah besar dalam sejarah politik Indonesia, mereka selalu berada dibawah, padahal pemimpinnya dikenal strong dalam kepemimpinan. Jikapun dilakukan survey oleh suatu lembaga mereka disebut berkembang tetapi besarannya pasti berkisar antara angka dua ke angka dua koma yang meyakini rakyat bahwa partai tersebut tidak akan besar.
Saya tidak paham, apakah Indonesia ini dikuasai oleh mafia politik yang tidak mampu di ketahui oleh masyarakatnya sedangkan terget-target politik mereka terus berjalan seumur masa meski terjadi berbagai perubahan di negara ini.
Lalu jika hasil dukungan rakyat terhadap jenis partai poitik maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa masyarakat begitu normatif dan matang dalam kacamata politik.
Artinya mereka pimpinan partai politik yang cerdas gagal menggunakan rakyat sebagai alat politik untuk kekuasaan. Karena apa?
Karena jumlah warga beragama adalah potensi dalam politik, maka partai politik melakukan eksploitasi terhadap suatu agama untuk mendapat dukungan warganya. Demikian pula aliran, misalnya dalam Islam ada NU dan Muhammadiyah dan ada partai dalam kandungan organisasi aliran tersebut. Jumlah kursi sudah pasti akan lebih dapat diperjelas meski tidak secara total tetapi besarannya tidak akan signifikan bertambah maupun berkurang. Karena partai politik memilih posisi aman dengan masa kaptifnya dalam menghadapi pemilu.
Padahal pandangan politik ini bertentangan dengan konsep demokrasi yang sesungguhnya. Pemimpin politik aliran menggunakan sistem feodalis sementara demokrasi berlawanan dengan konsep kepemimpinan feodalisme. Karena itulah masa kaptif itu dalam politik hanya memberi bobot 20 persen dan mengorbankan bobot lainnya 80 persen dalam politik.
Lalu apa yang lebih ideal dan bijak digunakan dalam melihat dukungan politik? Jawabnya adalah "Daya Ungkit" tetapi tidak semua pemimpin berani bertaruh dengan daya ungkit karena hal ini adalah mempengaruhi politik secara murni.
Secara gamblang perbedaan partai politik aliran dan partai terbuka itu mudah, Partai terbuka meminta dukungan politik kepada seluruh rakyat Indonesia, sementara partai aliran meminta dukungan kepada warga NU atau Muhammadiyah. Potensi mana yang lebih besar tentunya tidak perlu cerdas memahaminya.