Memaknai demokrasi bagi masyarakat Indonesia dengan kata mungkin saja terlalu mudah. Karena selama ini kita dapat melihat indikator-indikator itu dalam penyelesaian konflik di daerah oleh pemerintah pusat.
Sebagai contoh, ketika paska reformasi ada sejumlah tuntutan daerah-daerah begitu kuat terhadap penerapan desentralisasi status daerah terutama dalam soal pola hubungan antara pusat dan daerah.
Tuntutan yang sangat represif itu berdatangan terutama dari daerah-daerah provinsi yang letaknya diluar pulau jawa. Tentu daerah tersebut bagi kalangan masyarakat yang terlibat dalam politik mengetahui itu kira-kira beberapa provinsi yang memiliki alat perjuangan masyarakatnya.
Misalnya Aceh, Papua, Maluku, Bali, Riau dan provinsi lainnya mengalami juga hal yang sama meski tidak sekuat tuntutan masyarakat di daerah yang penulis sebutkan. Namun ada juga provinsi yang menuntut kekhususan di pulau jawa, seperti yogyakarta.
Lantas apa yang dilakukan oleh pemerintah pusat kala itu? Yakni memberi daerah-daerah yang kuat tuntutannya tentang Status Otonomi Khusus (SOK) atau Daerah Istimewa (DI) atau terminology lain yang bisa diterima oleh tokoh politik serta tokoh masyarakatnya.
Pergantian nama provinsi sesuai dengan nama daerah juga sebagai solusi yang pernah ditabalkan kepada provinsi Aceh, misalnya dari nama Daerah Istimewa Aceh menjadi Nanggroe Aceh Darussalam kemudian berubah kembali menjadi Aceh hingga sekarang setelah Status Otonomi Khusus (SOK)
Sistem politik pemerintah ini yang disebut sebagai simbolik, apabila tidak diikuti dengan sejumlah kebijakan yang menyertainya. Dalam bahasa awam bisa disebut Bungkusan Politik. Tetapi isi dari bungkusan itu masih dalam tanda tanya. Karena masyarakat sebahagian besar hanya bisa melihat secara kasat mata tentang politik pemerintah.
Pada tataran tersebut kebijakan pemerintah Indonesia dapat dikatagorikan telah memenuhi prinsip demokrasi karena memberi respon dan memiliki solusi terhadap tuntutan politik masyarakat daerah provinsi. Itupun apabila negara lain yang menilai ketika hanya melihat indikator politik dari luar.
Lalu, kenapa di era sekarang tuntutan daerah terhadap desentralisasi menjadi lemah, dan para tokoh daerah dan dipusat cenderung diam? Apakah akibat lemahnya masyarakat dalam demokrasi. Hal ini tentu saja perlu dikaji jika tidak ingin menyimpulkan dengan teori politik.
Ada Teori Politik Kebisuan Spiral yang menyatakan bahwa masyarakat akan cenderung diam dan cenderung bertambah besar sebagaimana sebuah spiral yang semakin besar bibirnya sementara pusatnya justru akan mengecil. Jika kepemimpinan itu keras dan tidak mempedulikan partisipasi rakyat pada waktunya tiba setelah cukup kuat tentu saja akan dikepung oleh masyarakat itu sendiri.
Pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab ketika usai pembahasan tentang bagaimana masyarakat memaknai demokrasi dan menilai secara ringkas, apakah pemerintah sekarang menerapkan pembangunan demokrasi sebagaimana amanat konstitusi Republik Indonesia dalam UUD 45 dan UU lain yang mengandung semangat dan nilai demokrasi.
Karena kebiasaan tokoh-tokoh negara kita berpikir secara simbolik dalam melaksanakan politiknya maka makna-makna yang dikandung oleh semua kata-kata politik yang melandasi kebijakan perlu dikaji dan diartikulasikan secara sempurna.
Misalnya penamaan suatu partai politik sebagaimana partai pemenang pemilu di Indonesia, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang disingkat PDIP. Dengan nama tersebut ada makna secara tersurat dan vulgar bahwa partai itu adalah partai yang memperjuangkan demokrasi, tentu saja termasuk di dalamnya adalah hak-hak politik masyarakat Indonesia.
Kemudian ditambah lagi dengan penamaan Perjuangan yang mengisyaratkan pembenaran terhadap partai itu sebelumnya, karena kelahiran partai ini adalah sempalan dari Partai Demokrasi Indonesia (PDIP) sebelummnya.
Penulis hanya mencoba menyinggung secara datar tentang nama partai dan keseriusan para pemimpinnya untuk membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang berjuang untuk penerapan demokrasi di Indonesia sebagaimana mereka dibungkus dengan merek atau simbolik tersebut.
Dalam hukum dagang suatu merek itu memiliki penjelasan dengan motto, ikon dan keterangan lain-lain dimana tag-tag di menerangkan isi produk didalam bungkusan merek dimaksud. Jika pada produk makanan snack yang berbahan dasar kentang maka perusahaan bahagian marketingnya tentu akan menyampaikan bahwa kentang dan elemen lain yang dicampur serta manfaat atau kelebihan-kelebihan dari produk tersebut.
Tentu saja ketika ada yang membuktikan bahwa bahan dasarnya ubi atau kentang dicampur dengan ubi dan bukan kentang asli maka perusahaan itu akan di cap sebagai pelaku pembohongan publik. Begitu pula dalam memaknai suatu partai politik.
Apakah ini penting? Jawabnya sungguh penting karena dari situlah masyarakat bisa menilai secara nyata, apakah mereka berada dalam pembohongan dan pembodohan atau para pemimpin politik sedaang bekerja keras untuk mempengaruhi pemerintah agar membawa rakyat Indonesia untuk mencapai tahapan kesejahteraannya.
Mungkin tidak hanya sekali atau dua kali, tetapi berkali-kali pemerintah mengklaim bahwa pertumbuhan ekonomi dalam kondisi positif bahkan pemerintah menyampaikan bahwa Indonesia kini sebagai negara maju bukan lagi negara tertinggal atau negara berkembang. Namun masyarakat setiap kali pula merasakan kontroversial dengan klaim opini pemerintah dimaksud.
Nah, tentu saja argumen ini mengingatkan agar rakyat Indonesia tidak terlena dengan klaim atau simbol-simbol keberhasilan pemerintah bahwa kita sudah maju, kita sudah melebihi kemajuan bangsa lain di puluhan tahun ke depan. Sementara realita kehidupan masyarakat semakin sulit dan memenuhi kebutuhan dasar saja tidak mampu bahkan kita dapati banyak anggota masyakat yang gila kemudian ada juga yang bunuh diri dan anggota keluarganya akibat faktor ekonomi.
Cara berpikir tokoh-tokoh politik terutama pemimpin utama partai politik dipusat pemerintah ini juga tentunya menjadi indikator kemajuan dan kemunduran negara dan rakyat Indonesia.
Lalu, kenapa anda harus berpikir bahwa partai politik ditengah kehidupan kita, jangan-jangan hanya nama saja Demokrasi sementara para pemimpinnya hanya berpikir sekedar merebut suara dan dukungan rakyat sementara prilaku dan penerapan prinsip dan nilainya justru berkontra dengan simbol itu sendiri yakni otoritarian.
Jika demikian keadaannya maka tentu saja rakyat Indonesia sedang berkubang dalam pembohongan pemimpin politik dan tentu saja mereka berkubang dalam pembodohan secara bertahap.
Untuk menjawab semua itu, berikut ini kita akan mengkaji secara ringkas kesimpulan yang kemudian menjadi jawaban bagi diri kita masing-masing sebagai warga negara Republik Indonesia.
Pertama, Demokrasi adalah sistem politik atau sistem pengambilan keputusan di dalam suatu lembaga, organisasi, atau negara, yang seluruh anggota atau warganya memiliki jatah kekuasaan yang sama besar.[1]
Pemerintahan demokratis lazimnya dibanding-bandingkan dengan sistem pemerintahan oligarki (sistem pemerintahan yang dikendalikan oleh segelintir warga negara), dan sistem pemerintahan monarki (sistem pemerintahan yang dikendalikan oleh satu orang penguasa tunggal).
sumber (wikipedia)
Kedua, Oligarki (Bahasa Yunani: , Oligarkha) adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer. Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa Yunani untuk "sedikit" ( ligon) dan "memerintah" sumber (wikipedia).
Ketiga, Visi PDIP pada poin c. Alat perjuangan untuk menentang segala bentuk individualisme dan untuk menghidupkan jiwa dan semangat gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Eka Sila); www.pdiperjuangan.id
Keempat, Misi PDIP pada poin h. Sebagai poros kekuatan politik nasional wajib berperan aktif dalam menghidupkan spirit Dasa Sila Bandung untuk membangun konsolidasi dan solidaritas antar bangsa sebagai bentuk perlawanan terhadap liberalisme dan individualisme. (www.pdiperjuangan.id)
Poin diatas adalah sebagai alat penguji atau sebagai indikator sosial untuk mendapatkan jawaban ringkas terhadap politik bangsa ini.
Mengapa Visi dan Misi menjadi indikator untuk memahami partai politik? Tentu saja karena Visi dan Misi adalah rumusan yang dihasilkan melalui kesepakatan dan hal itu menjadi gambaran pekerjaan partai politik dalam jangka panjang dan tahapan jangka pendek menengah ke depan.