Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Bagaimana Mencintai Tanah Air dari Sudut Pandang Warga Ujung Sumatra

14 September 2020   12:32 Diperbarui: 2 Februari 2021   03:07 113 0
Tulisan ini hanyalah kajian ringkas dari sudut pandang warga negara disudut ujung Sumatera untuk masyarakat Indonesia.

Perasaan kita mereka-reka bahwa bumi ini semakin tua, kiamat semakin dekat. Meski banyak manusia yang beragama tapi tidak bertuhan sebagaimana dibanyak negara lain tetapi mereka juga merasa was-was tentang peristiwa itu akan datang.

Demikian juga pemikiran sebahagian besar orang tentang bangsa dan negara mereka. Ada perasaan yang sama pada setiap warga negara bahwa ada perasaan cinta tanah airnya masing-masing.

Bentuk cinta tanah air itu berbeda-beda menurut wawasan atau daya pikir masing-masing. Ada kelompok orang yang hidupnya lebih lapang misalkan para profesional mereka memandang dunia dalam bentuk kebaikan dan kualitas profesinya serta mereka lebih memandang bumi secara keseluruhan.

Berikutnya mereka yang menyebut dirinya nasionalis maka mereka akan meneriakkan nama negara mereka sebagai bahagian terdepan dalam pemikirannya. Begitupun ada juga kelompok yang hanya berwawasan sebatas tanah provinsi mereka akan bicara bahwa tanah air nenek moyangnya.

Level yang paling bawah masih ada manusia-manusia yang berpikir sebatas kabupaten sebagai tanah airnya, demikian pula bukan tidak ada kelompok orang yang sebatas berpikir pada level kecamatannya dan mereka terpatri pikirannya sebatas kecamatan itu. Jangan ditanya lagi sudah pasti siapapun akan menjadi lawannya ketika berhadapan dengan soalan kecamatannya itu.

Level lebih bawah ada para pecinta desa sebagai tanah nenek moyangnya, mereka yang turun temurun tinggal disana menjadi semacam pemilik wilayah kecil itu. Jangan lupa mereka pasti memiliki rasa mencintai desa itu melebihi kelompok warga desa yang lain meskipun pemimpin desa itu berasal dari pendatang baru.

Fenomena ini pasti dapat anda rasakan dimana saja anda berdomisili. Tentu tidak sulit anda menemukan orang-orang yang memiliki pemikiran seperti itu, biasanya issu ini beredar dikalangan generasi muda yang kemudian menjadi penjaga kampung dan merasa berkuasa atas desanya itu.

Lalu, apakah yang anda pikirkan tentang kondisi sosial seperti ini? Apakah mereka salah, apakah mereka tidak boleh berpikir demikian? Jika tidak boleh maka siapa yang berkewajiban mencerahkan?

Tentu tidak ada yang melarang selama orang lain memiliki wawasan sebagaimana mereka. Jika wawasan cinta tanah airnya setara tentu faktor lain akan mempengaruhi dan menjadi dominan. Misalnya otak sama maka otot akan menjadi dominan. Tapi kalau otot sama dan otak sama maka timbul perang. Tapi jika otot sama otak yang lebih menjadi dominan.

Pertanyaannya adalah dengan apa kita bisa menilai seseorang mencintai tanah airnya? Apakah cukup dengan sebatas kekuatan ototnya dan menebar pengaruhnya bahwa mereka yang  mengatur kehidupan orang lain karena berdomisili di wilayah lahirnya?

Pengaruh secara tradisional

Dalam kehidupan masyarakat tradisional tentu menebar pengaruh dan melakukan aksi pressure serta melakukan tindakan kasar menjadi andalan ketika ada orang atau sekelompok orang yang merasa mereka mencintai tanah kelahirannya.

Pola ini bisa dilakukan dalam kawasan wilayah yang sempit, misalnya sebatas desa atau kecamatan. Tapi dalam wilayah kabupaten maka mulai adanya keterlibatan pengetahuan dan otak  atau setidak-tidaknya mereka sudah pada tahapan sebagai tokoh organisasi tertentu, seperti organisasi politik, pemuda, perempuan atau ormas lainnya. Yang paling efektif justru pada organisasi politik karena mereka akan berhadapan dengan pemilihan dimana jika terpilih secara praktis mewakili rakyat.

Wakil rakyat pada level ini juga masih bisa digolongkan dalam beberapa katagori, ada yang mewakili kelompok keagamaan, ada yang mewakili kelompok pemuda, ada yang mewakili kelompok perempuan dan ada yang mewakili kelompok kepala desa dan lain-lain yang terbagi dalam kelompok lahir. Mereka masih bisa mengatakan bahwa kabupaten fulan sebagai tanah air nenek moyangnya. Karena mereka mewakili kelompok masyarakat yang terbagi dalam faktor-faktor lahir atau primordialisme.

Perhatikanlah cara pikir masyarakat yang seperti itu tentu hanya bisa membuat klaim-klaim atas kepemilikan tanah dan orang serta makhluk diatasnya adalah berpengaruh dengannya. Jika mereka mampu mengartikulasi pekerjaannya secara benar mungkin saja mereka tidak berdampak dengan pidana tapi bayangkan jika sebaliknya. Pada masyarakat tradisional masih mungkin banyak orang merasa sebagai pemilik tanah dikawasannya karena masih berlangsungnya hukum rimba.

Pengaruh profesi

Pada masyarakat yang mengelompokkan dirinya dalam profesi klaim-klaim atas tanah tidak begitu kental dimana pola pikirnya sudah lebih rasional dan kualitas hidup mereka berpengaruh dengan kualitas profesi mereka, karena itu pikirannya tidak lagi terfokus atas tanah dan kepemilikan serta kuasanya sebagaimana raja dimasa lalu. Karena mereka bisa menghasilkan dari profesinya meski bukan atas kekuasaan pada tanah kelahirannya.

Begitupun pada daerah yang telah diatur dengan peraturan daerah yang lengkap maka pengaruh pemilik tanah air tadi mulai bergeser pada kekuatan pengorganisasian. Misalnya mereka yang aktivitas organisasinya lebih kuat maka mereka akan berada dalam kelompok-kelompok masyarakat. Sementara pecinta tanah air yang sebangsa preman kampung tadi tentu kehilangan wilayah kuasanya dan mereka akan terpinggirkan dan hanya menjadi masyarakat biasa.

Namun masih ada yang bisa mereka pengaruhi yakni kelompok-kelompok masyarakat tertinggal dan tidak memahami peraturan daerahnya. Itupun dengan cara mereka melakukan pressure kepada pihak lain dengan cara tersembunyi dan membodohinya.

Bagaimana Wujud Cinta Tanah Air

Lalu bagaimana sebenarnya mewujudkan cinta tanah air, misalnya masyarakat Aceh atau Papua mereka menyatakan cinta kepada tanah air mereka bahkan mempertahankan tanah itu dengan melakukan perlawanan senjata.

Dalam dunia politik dan pemerintahan modern penjajahan dapat dilakukan tanpa melalui senjata. Kalau dalam suatu negara sangat mungkin penundukan daerah dapat dilakukan melalui peraturan yang hirarkhinya terpusat pada pemerintahan pusat.

Penundukan politik akan berdampak besar kepada penundukan ekonomi. Peraturan itulah yang kemudian menjadi aturan yang membatasi kehidupan masyarakat daerah dan mereka harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang dilahirkan oleh pimpinan negara dipusat kekuasaan. Kalau kita merujuk pada pemerintahan negara kesataun Indoenesia maka peraturan itu dilahirkan oleh DPR RI.

Lalu anda tanyakan, apakah DPR RI itu warga negara yang bersuku Jawa karena kedudukan kantor pemerintah itu dipulau Jawa?

Jawabnya, bagaimana peraturan masyarakat untuk menjadi anggota DPR RI tersebut. Kemudian proporsionalkah keterwakilan mereka antara warga masyarakat dipulau jawa dengan masyarakat diluar itu?

Berikutnya dipulau jawa berapa persen warga masyarakat luar pulau berdomisili disana?

Kalau semua proporsional maka DPR RI itu adalah representatif masyarakat Indonesia yang dapat mewakili suku atau bangsa dalam negara Indonesia.

Lalu pertanyaannya adalah, mengapa sepanjang umur negara ini masyarakat daerah terkesan dan merasa dijajah? Kemudian siapa yang menjajah?

Jawabnya penjajahan itu dijaman modern sesungguhnya bukan lagi pada soal daerah, tetapi lebih bisa dilakukan oleh si pintar yang korup dan menjajah sibodoh yang tidak memahami hak-haknya dalam bernegara.

Umpamanya begini, ketika gubernur bisa melakukan penunjukan pekerjaan kepada sejumlah kontraktor menjadi pemberitaan viral di media sosial, lalu anda tanyakan, kenapa hal ini bisa berjalan?

Jawabnya para kontraktor lain itu lemah tidak mampu mempersoalkan penunjukan pekerjaan secara adil, karena mereka tidak memahami peraturan dan seringkali menganggap peratutan tidak penting bahkan pikirannya hanya diisi oleh cara-cara menyogok dan mengandal cara-cara preman, hingga menimbulkan image menakutkan bagi kontraktor lain. Orang seperti ini kemudian diandalkan sebagai pemilik daerah dan kampung, padahal tanpa sadar dialah yang merusak tatanan hidup masyarakat yang dibangun oleh negara untuk lebih profesional.

Pada tahapan ini pertanyaannya, siapakah yang menjajah? Apakah negara atau orang-orang daerah sendiri yang memiliki kekuasaan untuk itu.

Lalu kita kembali kepada pembuat aturan negara, maka jika DPR RI terdiri dari warga masyarakat daerah maka kesimpulannya adalah? Ada yang salah dengan kualifikasi masyarakat daerah menempatkan DPR RI atau ada yang salah dengan keputusan masyarakat daerah dalam memilih DPR RI itu sendiri.

Jika mereka benar maka kecil kemungkinan lahirnya peraturan negara yang tidak adil dan merugikan rakyat di daerah. Maka masyarakat daerah perlu merubah kriteria dalam memilih DPR RI, misalnya mereka yang memiliki wawasan yang mapan dalam politik menjadi prioritas bukan siapa yang membayar masyarakat dalam pemilu. Karena jika masyarakat rata-rata bermental korup maka Pemimpin dan Wakil Rakyatnya pasti mereka yang bermental korup.

Dengan ilustrasi diatas, maka pertanyaan terakhir adalah? Siapa yang mencintai tanah air dan kampungnya? Jawabnya adalah mereka yang berpikir untuk memperbaiki kondisi kehidupan sosial bukan mereka yang sebatas memelihara orang miskin kemudian pada waktu yang tepat mereka membaginya sembako dan bantuan sebagai umpan untuk memancing dukungan politik.

Lalu siapa yang merusak tanah air atau kampungnya? Tentu saja mereka yang sekedar menggunakan otot, memaksa masyarakat untuk melakukan cara-cara yang tidak benar dalam bernegara meski mempengaruhi masyarakat memilih dalam pemilu yang merupakan wujud paling nyata dalam partisipasi bernegara.

Semoga!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun