Oleh : GodfathersPendaftaran anggota partai politik sepertinya di jaman ini jarang kita dengar, bahkan penulis hampir sama sekali tidak mendengar tentang anggota baru partai politik.
Misalnya ada up grading angoota partai politik, atau pengakderan anggota baru partai politik yang dulu sering kita dengungkan pada masa awal reformasi dalam aktivitas partai politik.
Begitupun Rekruitment partai politik yang sama sekali kita tidak pernah mendengar dimasa pemerintah rezim saat ini.
Saya sama sekali tidak pernah mendengar dalam masa sepuluh tahun belakangan ini, mungkin saja kita berharap para pimpinan partai politik punya cara sendiri dalam merekruit anggota masyarakat dalam partai politik.
Seharusnya selama lima tahun pasti ada jadwal penerimaan atau rekruitment partai politik karena pemilu di Indonesia dilaksanakan setiap lima tahun.
Untuk apa dijawalkan penerimaan anggota dan rekruitment anggota partai?
Jawabnya karena kewajiban partai politik dalam merekrut pemimpin dari masyarakat, jika partai politik tidak melakukannya maka tidak berbeda dengan kealpaan mereka dalam fungsi dan tugas partai politik.
Dengan melupakan kewajiban tersebut maka pimpinan partai politik secara sengaja membiarkan partai politik menjadi wadah atau organisasi semacam perseroan untuk bisnis bukan untuk berpolitik.
Mungkin pimpinan partai politik beranggapan bahwa rekruitmen anggota partai dari masyarakat sebagai sesuatu yang tidak penting, sehingga mereka yang ada dipucuk pimpinan bisa menguasai partai politik bersangkutan.
Karena itulah maka partai politik pada jaman ini hanya milik pengurus dalam hal ini pimpinan partai politik yang duduk sebagai pengurus pada masa sekarang. Hal ini justru menjadi salah arah dalam pengelolaan partai karena mereka membatasi partai politik sebagai milik masyarakat yang idealnya partai politik dalam sistem demokrasi adalah asset milik masyarakat.
Sebagai catatan penting dalam pengelolaan partai politik bahwa mereka hanya sebagai pengelola sementara partai politik meskipun anda ketua, meskipun anda pendirinya tetapi partai politik itu adalah milik rakyat yang menjadi wadah berpolitik rakyat.
Maka dalam pengelolaan politik juga dikenal ada Peg Politik (patok) politik dalam masyarakat yang sewajarnya perlu di pikirkan oleh pimpinan partai politik supaya mereka dapat merebut hal itu.
Jika pernah anda membaca tentang perkembangan awal partai politik dalam sistem demokrasi maka dalam pengembangan partai mengajak masyarakat ikut serta memberi suara menentukan pemilihan calon presiden di dalam partai politik.
Begitu juga suatu grub kesenian opera memberi hak masyarakat menentukan pimpinan grub opera dimaksud karena penonton memberi kontribusi yang sangat berpengaruh dalam perjalanan grub itu.
Nah, bila ada contoh dalam pengelolaan partai politik maka tentunya akan lahir etika dan fatsun dalam politik partai, tapi kalau ini saja nihil maka terjadilah pengelolaan partai politik yang salah kaprah sehingga menyebabkan tujuan politik partai menjadi abal-abal sebagaimana saat ini.
Dampak yang timbul tentu saja berpolitik untuk kepentingan diri sendiri, maka apapun yang dikehendaki oleh pemerintah pusat harus di aminkan oleh partai politik, apalagi jika mereka mendapat bayaran untuk menyetujui sesuatu tujuan yang di golkan oleh eksekutif meski bertentangan dengan harapan masa depan rakyat.
Jika begini terus kondisi pengelolaan partai politik maka kedaulatan rakyat mustahil bisa dicapai karena semua indikator penentuan pejabat pemerintah dari masyarakat ditentukan dengan kemampuan finansialnya.
Lihatlah dimusim pemilu betapa banyaknya rakyat yang mendaftar sebagai caleg dengan syarat bahwa mereka memiliki kemampuan dari sisi finansial bukan dari sisi keilmuan dan kepantasan sebagai hasil seleksi partai politik dan pemilihan oleh rakyat secara benar. Maka sampai pada jabatan tersebut rata-rata mereka hanya menguasai bagaimana cara supaya dipilih lagi periode berikutnya dan praktis mereka tidak memahami cara menduduki jabatan dengan segala fungsi dan kewajibannya yang harus mereka lakukan.
Kemudian kita bisa menyaksikan bertaburan gambar caleg dari berbagai partai politik, ada juga partai baru, partai lama dan partai politik lama sekali atau yang sudah melalui hidup dalam berbagai rezim pemilu. Bayangkanlah berapa banyak uang yang dihabiskan untuk alat peraga kampanye kala pemilu.
Ini bermakna bahwa masyarakat menyumbangkan hartanya untuk negara, karena semua alat kampanye partai politik berasal dari personal caleg bukan ada pembiayaan oleh partai politik bahkan mereka mendapat nomor urut caleg saja ada yang harus membeli dengan uang yang tidak sedikit.
Dimana indikasi tersebut? Mudah sekali kita mendapatkan ada caleg yang instan dalam partai politik, mungkin sebelumnya tidak pernah menjadi kader partai tapi tiba-tiba waktu pemilu menjadi caleg dan di tempatkan oleh pimpinan partai politik pada nomor urut satu atau paling lemah diposisi kedua.
Coba bayangkan bila ada seorang toke narkoba sementara dia tidak pernah menjadi kader dalam partai politik manapun, tiba-tiba jadi caleg urutan satu atau dua, lantas anda bertanya karena apa berlaku demikian?
Jawabnya karena toke narkoba banyak uang untuk menyogok ketua partai politik didaerah atau pimpinan pusat yang bermental korup tentu akan mempengaruhi keputusan partai politiknya.
Untuk itulah maka pengelolaan partai politik di ranah demokrasi harus terbuka, sehingga pemerintah juga punya alat penilaian disetiap daerah misalnya partai yang paling terbuka adalah partai fulan. Tentu hal ini menjadi penilaian untuk sebuah partai politik yang seharusnya dapat didukung masyarakat luas.
Inilah selayang pandang tentang kewajiban rekruitment partai politik yang selama ini mereka alpa untuk membuka pendaftaran penerima anggota dari masyarakat.
Salam