“Apakah kamu baik-baik saja?” tanyaku memecah keheningan setelah pelukan canggung pertemuan kami.
Alis di wajahnya terangkat sebelah. Kebiasaan lama yang sama. Dia hanya mengangguk-angguk dan entah kenapa tak mengeluarkan suara. Mungkin karena pertanyaanku tak cukup penting. Sosok tubuhnya yang lebih berisi, penampilan yang masih tetap rapi dan wangi juga garis senyum yang bertambah di sudut bibirnya. Menandai kehidupannya yang nyaman dan tenang. Ada secubit perih di sudut hatiku yang tak rela.
“Aku tidak menyangka masih bisa bertemu kembali denganmu,” ujarnya meneguk botol air mineral yang isinya tinggal setengah. Tidak lagi secangkir kopi. Kebiasaan baru. Batinku begitu saja mencatat.
“Sudah setengah tua. Terlalu banyak kafein bisa membunuhku perlahan-lahan.” Tawanya berirama seolah bisa membaca pikiranku. “Anakku masih kecil-kecil aku harus hati-hati menjaga kesehatan.”
Ah, anak. Tentu saja. Sudah 11 tahun sejak kami bertangisan di apartemenku malam itu. Menangisi takdir yang memasangkan kami dengan begitu serasi lalu menceraikannya begitu saja. Kami tak seharusnya saling menyukai apalagi mencintai. Seolah pertemuan kami terjadi tanpa campur-tangan takdir. Pada perpisahan kami, ia seperti gadis muda yang berlagak pilon membiarkan kami berdua saling menyalahkan diri sendiri.
Aku melihatnya di pembukaan pameran lukisan. Matanya jeli mengamati setiap lukisanku yang terpajang. Berdiri bermenit-menit hingga setengah jam. Sesekali ia menoleh jika ada pengunjung lain yang mengajaknya bicara. Sekali dua aku hanya memandangnya di kejauhan. Pada pameran yang ketiga aku mendatanginya.
Dia cerdas. Jauh lebih cerdas dari kebanyakan pengunjung pameranku yang rela mengeluarkan ribuan dollar untuk membeli lukisanku. Ia mengenali lukisan-lukisanku dengan sangat baik. Tarikan kuas bahkan pulasan warna yang kupilih. Mudah ditebak, kami menjadi rekan diskusi yang hangat.
“Berapa jumlah anakmu sekarang?” tanyaku mengalihkan pikiran yang mulai berkelana menembus lorong-lorong waktu.
“Dua. Perempuan dan laki-laki.” Senyumnya merekah. Rona bangga terpancar dari raut wajahnya. Kebanggaan khas seorang Ayah.
“Anakmu yang laki-laki apakah juga menjalani Brit Milah?” tanyaku ngeri. Dia tergelak. Mungkin teringat peristiwa konyol yang memalukan itu.
Aku mengajaknya ke acara Brit Milah keponakanku yang masih bayi. Sebenarnya aku enggan mendatangi acara-acara keagamaan seperti ini terutama Brit Millah. Bukannya aku menyangkal keYahudianku. Aku bangga menjadi bagian bangsa yang menggurita seperti Yahudi. Hanya saja semua keluarga besar memiliki kecurigaan yang bertendensi pada setiap lajang yang berkeliaran di acara-acara keluarga. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan, para wanita setengah baya itu serupa burung-burung nasar yang mengincar lajang untuk dicomblangi. Terlebih lagi di acara Brit Milah. Aku selalu ngeri membayangkan seorang bayi yang harus menjalani proses penting di alat kelaminnya dengan begitu tak berdaya.
“Proses itu sangat cepat dan tidak menyakitkan,” ujarnya saat itu.
“Tapi seharusnya si bayi memiliki hak untuk menentukan apakah ia ingin di sirkumsisi atau tidak.” tandasku sedikit emosional.
“Setiap manusia yang dilahirkan mengemban kewajiban agamanya masing-masing, Dear. Terberkatilah bayi-bayi yang disirkumsisi.” Ia mencandai sekaligus membujukku untuk hadir.
Akhirnya kami berdua datang ke Perayaan Brit Milah. Tepat pada saat Brit dilaksanakan oleh Sang Mohel, aku membuat kehebohan dengan terjatuh lemas. Mungkin ini tidak terlalu buruk seandainya saat itu aku bukan kvater dari si bayi.
“Sebagai muslim Rahm juga akan disirkumsisi. Tapi nanti setelah ia agak besar mungkin saat usianya 8 atau 9 tahun. Disini kami menyebutnya dengan khitan.”
Aku mengangguk-angguk. “Rahm. Apakah wajahnya mirip denganmu?” tanyaku penasaran.
“Mmm… tidak. Dia lebih mirip Najma, ibunya.”
Ah, Najma. Setelah sekian tahun akhirnya kudengar nama perempuan itu, Najma.
“Jadi kau memutuskan untuk pulang?” tanyaku setelah isakku berhenti. Dia menganggukkan kepala.
“Aku tak punya pilihan lain. Keluargaku meminang gadis itu untuk Novel, adikku. Tapi ia menolaknya. Bagi Ummi ini adalah persoalan marwah. Harga diri keluarga. Aku harus mendapatkan gadis itu untuk kehormatan keluarga kami.” Pandangannya menerawang menembus jendela apartemen.
“Lama kelamaan tradisi membuatku muak. Penghambat modernitas. Bagaimana mungkin di tengah kemajuan teknologi seperti saat ini tradisi masih mengontrol kehidupan kita.?” Emosiku memuncak kembali.
Dia memandangku tajam.
“Bagi keluarga keturunan Arab, marwah adalah bagian penting dari tradisi kami. Diatas itu semua, bagi setiap muslim titah ibu adalah segalanya.”
Pekan-pekan selanjutnya kami seolah pesawat yang mengalami turbulensi. Saling mencintai menjadikan kami anomali dari tradisi yang melingkupi dan membesarkan kami. Kami gelisah. Ingin memberontak namun sekaligus tak ingin tercerabut.
Berulangkali Fawwaz melontarkan keinginannya untuk kabur. Lenyap meninggalkan keluarganya. Melepaskan beasiswa sekaligus ikatan dinas yang ia peroleh. Namun tak sekalipun ia memiliki keberanian untuk melakukannya.
Fawwaz tetap pulang ke Jakarta, ke rumahnya. Akarnya. Sesekali kami saling bertelepon. Namun tak ada yang berani mengutarakan kerinduan. Dinding diantara kami memang tinggi namun serapuh porselin cina. Sekali saja kami mengetuknya dengan ucapan rindu maka runtuhlah segala kendali diri yang kami miliki .
“Apakah gadis itu menerima pinanganmu? Apakah keluarg Haddad akhirnya berhasil memilikinya?” tanyaku di telepon suatu malam. Dari seberang, Fawwaz mengiyakan. Perutku terasa mual. Kututup sambungan telepon dengan tergesa. Berlari ke kamar mandi memuntahkan isinya.
Lalu kami kehilangan kontak. Bertahun-tahun kemudian. Hingga kudapatkan emailnya dari salah seorang kenalan kami dahulu. Aku akan pameran di Jakarta, bisakah kita bertemu. Tulisku dalam email. Fawwaz mengiyakan. Jadi, disinilah kami siang ini.
Telepon genggam Fawwaz berbunyi, ia mengangkatnya. Aku menunduk berlagak sibuk berusaha tak mencuri dengar.
“Najma dan anak-anak akan menyusul kemari,”katanya kemudian.
Aku mengangguk.
Akhirnya hari ini datang juga. Hari dimana keberanianku terkumpul. Untuk melihat perempuan yang berhasil merebut Fawwazku. Aku ingin melihatnya terakhir kali sebelum semua kenangan kusimpan baik-baik. Aku sudah terlalu lelah. Hidup dalam kenangan yang tak pernah redup.
“Papa!” suara melengking gadis kecil membuat Fawwaz menoleh. Senyumnya lebar terkembang.
“Hanna, princess papa,” panggilnya dan gadis kecil itu menghambur di pelukan Fawwaz. Binar matanya yang lebar dan gelap serupa milik Fawwaz.
Di belakangnya mengekor seorang perempuan berkerudung dengan kereta bayinya. Ia tersenyum ke arah kami berdua. Bayi montok di dalam kereta mengoceh tak berhenti. Itu pasti Rahm, tebakku dalam hati.
“Najma, Hanna, Om ini sahabat papa. Sam, ini keluargaku.”
Kuulaskan senyum hangat pada keluarga kecil di hadapanku.
“Halo. Saya Sam. Samuel Rubenstein.”
Dunia lirang, 01/02/2012