Papa, boleh nggak Kin nambah pancake lagi?” Mata bulatnya membesar. Aku pura-pura terkejut melihat piringnya yang kosong. “Hem, boleh sih. Tapi kalau pipinya tambah gembil jangan salahin Papa, ya?” Godaku sambil menepuk pelan pipinya sekilas. Selembar pancake panas kini berpindah ke piringnya. Kin mengunyah perlahan separuh hati. Aku memandangnya heran. “Kin? Kin sudah kenyang ya?” Kin menghentikan kunyahannya. Sejenak memandangku. “Agak kenyang sih, Pa. Tapi..,” Ia tak melanjutkan ucapannya. “Tapi?” “Kin takut, nanti Kin akan kangen pancake buatan Papa.” Mataku memanas mendengar jawabannya. “Pancake di Belgia akan jauh lebih enak dari pancake buatan papa.” Aku berbalik arah. Memunggunginya. Menyembunyikan air mata yang mendesak jatuh dari sudut mataku. — Hampir sembilan tahun yang lalu. Ketika aku menatap wajah dihadapanku yang bersimbah air mata, “Sudahlah Mei, untuk apa kamu tangisi lelaki tak bertanggung jawab seperti itu!” Ujarku ketus sambil memalingkan wajah. Tak tahan melihatnya terus menerus mengalirkan airmata.
KEMBALI KE ARTIKEL