Tertulis disana nama hotel lokasi resepsi, jumlah undangan, desainer, dan bakery semua bertanda cek kecuali bakery. Tinggal satu informasi yang perlu kuperoleh maka rencanaku akan berjalan lancar.
Sepasang kekasih saling memeluk pinggang berjalan keluar dari butik kecil itu. Menuju ke sebuah mobil yang berjejer di halaman parkir. Mataku menyipit. Mereka tampak serasi dan bahagia. Aku masih menyipitkan mata menahan basah yang ingin menetes ke pipi. Segumpal kepahitan menyesak di dada. Terasa perih. Sakit sekali.
—
“Milka Bakery”, papan nama yang tergantung itu bergoyang sedikit ketika angin meniupnya. Bakery yang kecil namun prestise. Aku membuka pintu masuknya, langsung disambut wangi roti dan jejeran tart cantik menggugah selera. Pelan-pelan kususuri rak-rak roti. Mengambilnya beberapa ke atas nampan yang kubawa.
“Semuanya 425 ribu.” Suara kasir itu lembut.
Aku mengeluarkan kartu kreditku. Mataku melirik dua tart pengantin yang disiapkan di atas meja putih di sudut ruangan.
“Maaf Bu, decline.”
Aku pura-pura terkejut. Kukeluarkan kartu kreditku yang lain.
“Masa sih mbak, coba yang ini deh.”
“Oiya ini kartu member saya.” Kartu member bagi pelanggan eksekutif Bakery terkenal ini.
Petugas kasir itu langsung menyunggingkan senyum manis. Manajer Bakery tiba-tiba datang menghampiri kami. Rupanya ia diam-diam mencuri dengar pembicaraan kami dari balik dinding.
“Maaf, biar kami coba di dalam ya, Bu. Mungkin mesinnya yang bermasalah.” Manajer itu memohon maaf sembari sedikit membungkukkan punggungnya.
Aku mengangguk acuh. Teman-temanku benar, kartu member eksklusif yang dikeluarkan sangat terbatas ini memang sungguh ampuh. Manajer dan kasir meninggalkan ruangan. Beberapa pelayan berdiri membelakangiku.
Aku melangkah menuju meja di sudut ruangan itu dengan tenang. Dua tart pengantin dengan model yang sama persis ada diatasnya. Ada label di letakkan di masing-masing tart untuk menandai pemesannya. Satu gerakan cepat dari jariku membuat mereka bertukar posisi.
Aku sudah kembali ke meja kasir ketika petugas kasir dan manajer keluar. Aku menandatangani bukti pembayaran yang mereka sodorkan.
“Terimakasih Ibu, maaf dengan ketidaknyaman tadi.”
Aku mengangguk mengulaskan senyum manis. Semua berjalan lancar. Sempurna.
—
Aku memasuki hall resepsi dengan punggung tegak dan dagu sedikit terangkat. Senyum penuh percaya diri menghias wajah cantikku. Aku sengaja memolesnya sedikit istimewa malam ini. Beberapa pasang mata menatapku sambil berkasak-kusuk. Mungkin mengasihaniku atau mungkin mengaggumi ketegaranku. Entahlah. Aku juga tak peduli.
Acara pemotongan kue akan dimulai. Sepasang pengantin saling bertukar senyum dan melempar pandangan mesra. Mempelai wanita terlihat sangat bahagia. Lesung pipinya semakin dalam karena senyum manisnya yang selalu terkembang. Perutku terasa mual. Tangan mereka bersatu di gagang pisau besar berpita. Para tamu bertepuk tangan. Mempelai pria dan wanita saling menyuapi kue pengantin. Lalu melakukan toast dengan segelas sampanye. Tepuk tangan semakin meriah membahana.
Aku tersenyum dan mulai menghitung dalam hati. Kurang 5 hitungan dari hitungan ke 100. Pengantin wanita memucat memegangi dadanya. Lalu ambruk ke lantai. Suasana mendadak gaduh dan kacau. Tamu-tamu bangkit dari kursinya mencari tahu apa yang sedang terjadi. Aku mencecap anggur merah dari gelas yang kupegang sebelum melenggang keluar.
Seharusnya kamu memilih aku, cinta.
—
Seminggu sebelumnya di Bakery Milka
“Saya pesan rasa mocca saja”
“Wah sayang sekali, campuran Hazelnut itu andalan kami. Rasanya enak sekali. Pasangan yang tadi juga memesan rasa Hazelnut.”
“Kalau begitu jangan sampai tertukar ya. Karena saya alergi kacang.” Perempuan cantik itu memamerkan lesung pipinya.
Diam-diam sosok bertopi lebar di salah-satu sudut bakery mendengar percakapan itu dan tersenyum keji.
Dunia lirang,