Inilah paparan ide. Tak sekedar bisa Saya rasakan dalam denyut otak dan pemikirannya. Tapi sudah terpampang dalam sebuah barisan kata dan kalimat. Yang kini, Saya bisa membacanya ulang. Mengoreksinya untuk kemudian berkutat menyempurnakannya. Tak hanya Saya, orang lain pun bisa menyimaknya. Mengangguk sepakat, atau menggeleng menafikkan. Untuk kemudian menjadi bahan diskusi yang renyah di sore menjelang petang.
Inilah luapan rasa. Harapan, cita-cita, optimisme, cinta, kecewa dan entah apa yang ada. Tak hanya tertanggung di kedalaman rasa, tapi ingin Saya titipkan dalam untaian kata. Bukan untuk ditinggalkan, sekedar mendefinisikan, untuk kemudian di hari yang lebih berdaya, bisa mencari dan mengartikan makna yang ada.
Menulis. Sebuah barang yang teramat langka sekarang ini. Padahal ia tak hanya (salah satu) obat bagi hati yang gelisah dan resah. Ia pun penawar kendali bagi hati yang gembira dan jumawa. Ketika menulis, maka ketahuilah bahwa ketika sedang menulis ini, Saya sedang memperkenalkan diri pada diri sendiri. Hingga bisa me-makrifat-i pribadi untuk terus menyadari akan diri. Jadi, menulislah. Segeralah menulis. Walau sekedar satu kata. Yang semoga dengan satu kata, akan mengundang kata yang lain untuk menjadi kalimat. Begitulah para pujangga bertutur tentang dunia kata.
Jadi, kapan menulis (lagi)?
*****
Solok, di sepenggal pagi yang terdefinisi