Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Saya Cacat, Bolehkah Saya Ikut Upacara?

18 Agustus 2010   03:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:56 96 0

Masa kecil telah saya lewatkan 23 tahun lalu, dan masa sekolah sudah saya lewatkan 7 tahun lalu. Saya memang bukan lagi anak kecil yang seperti dahulu kala boleh menangis disaat saya sedih dan marah disaat saya merasa terhina. Ada satu hal kenangan yang mungkin begitu berharga dalam hidup saya. Masa-masa dimana saya akan mengenangnya dalam-dalam bila menjelang hari kemerderkaan Indonesia, sehingga di setiap saya mendengar lagu kemerdekaan maka saat itu saya merasa bahagia untuk pertama kalinya boleh mengikuti upacara pertama kali dalam hidup saya.

Sejak kecil, saya mengalami banyak cobaan. Ibu melahirkan saya sempurna hingga umur saya 3 tahun dan sebuah tragedi malprakter membuat saya tidak bisa berjalan dan harus duduk di kursi roda sepanjang masa kecil saya. Walau saya cacat, ibu tidak ingin saya berkecil hati. Ia tidak menyekolahkan saya di tempat khusus orang cacat tapi saya sekolah yang normal. Walau saya tidak bisa berjalan, saya masih bisa menulis dengan tangan kiri saya karena tangan kanan saya juga sedikit bengkok sehingga sulit untuk menulis.

Sejak kecil bila upacara sekolah di hari senin, saya mendapatkan hak istemewa untuk tidak mengikuti upacara. Saya menunggu di dalam kelas, seorang diri dan memandang beberapa teman berbaris rapi untuk menghormati bendera merah putih. Kadang saya ingin sekali merasakan bagaimana rasanya mengikuti upacara tapi karena tidak ingin merepotkan dan tidak ingin upacara menjadi berantakan karena ada seorang anak cacat dengan kursi roda ditengah-tengah lapangan, saya tau diri untuk hanya ada di dalam ruangan. Pernah terpikir untuk memaksa ikut upacara tapi ibu langsung marah dan melarang saya untuk ikut.

Ketika lagu Indonesia berkumandang, saya menatap bendera mulai meninggi. Teman-teman memberikan hormat diatas kepalanya, dengan sedikit memaksa saya mencoba melakukan gerakan itu tapi gagal, tangan saya tidak mampu menekuk hingga diatas kepala.Saya menyadari, sampai kapanpun saya tidak akan bisa memberikan hormat kepada bendera kebanggan tanah airku, karena tangan kiri tidak mungkin boleh dinaikan.

Saya bersedih hati untuk tidak mengikuti upacara, apalagi disaat hari kemerderkaan rasanya merah putih tidak dapat saya simpan di hati. 11 tahun saya sekolah, tidak pernah saya diizinkan ikut, hingga akhirnya saya berpikir keras memaksa untuk ikut upacara. Saat itu saya sudah duduk di kelas 2 smp kalau tidak sekarang saya mengikuti upacara maka saya tidak akan pernah merasakan bagaimana mengikuti upacara bendera seumur hidup saya. Ketika itu menjelang 17 agustus dan bendera merah putih sudah menghiasi sekolah saya. Saya bangun pagi-pagi dan ibu sudah siap untuk mengantarkan saya ke sekolah bersama supir saya.

Saya sudah memakai topi sekolah. Ibu melihat saya dengan bingung.

“ Untuk apa kamu pakai topi?” tanya ibu saya.

“ Saya mau ikut upacara hari ini”

Ibu melihat saya dengan bingung.Mengeleng-gelengkan kepala berpikir saya sedang menghayal.

“ Banyak teman-teman kamu yang berharap tidak ikut upacara karena panas, kamu malah ingin upacara. Tidak lihat apa banyak teman-teman kamu dihukum karena kabur saat disuruh upacara?”

“ Itukan mereka, saya mau ikut. Ibu tolong bilang ke kepala sekolah.”

Ibu tidak mengindahkan apa yang saya inginkan, hingga tiba di sekolah, saya meminta supir saya untuk mengantarkan saya ke tengah lapangan. Ibu sibuk dengan ibu-ibu teman sekolah yang juga sedang mengantar anak mereka sehingga ia tidak sadar saya telah menghilang bersama supir saya. Supir saya bingung kenapa saya minta diletakkan ditengah lapangan, saya meminta ia pergi dari saya. Ia bingung tapi melakukan semua kehendak saya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun