Hingga detik ini, mengenangmu tetap saja menjadi candu yang memabukkan.
"Lagi suka denger lagu apa,?" Tanyamu ketika pertama kali kita bertemu di halte bus sore itu.
Sejak saat itu kita menjadi dekat, entah siapa yang memulai, rasa itu hadir diantara kita. Melahirkan kupu-kupu yang senantiasa terbang menggelitik hati.
Sampai akhirnya aku sadar bahwa seseorang yang selalu aku anggap sebagai rumah, ternyata hanya menjadikanku tempat singgah. Iya. Hatiku satu tuju; kamu, sementara hatimu masih tertinggal di masa lalu. Sejak saat itu aku memutuskan untuk melepaskanmu. Aku pikir tidak ada gunanya bertahan dengan orang yang belum selesai dengan masa lalunya, meyakinkan keluargamu mungkin bukan masalah bagiku, tapi tidak akan menjadi mudah jika dirimu belum bisa melepaskan masa lalumu.
Awalnya hatiku remuk redam, namun seiring berjalannya waktu, hatiku bisa menerima kalau akan ada banyak orang yang hadirnya hanya memberikan pelajaran. Meski lewat luka sekalipun.
Bertahun setelah kepergianmu, aku bertemu dengannya. Laki-laki sederhana yang setiap katanya mampu membuatku kagum, laki-laki yang berhasil meyakinkanku bahwa semua orang berhak atas rasa yang disebut bahagia.
Kini, ketika menyaksikan hujan dibalik jendela kamarku, aku selalu tersenyum. Jika dulu aku mengenangmu dalam tangis perih. Sekarang, aku mengenangmu dalam senyuman. Terima kasih karena luka yang kamu tinggalkan kemarin, aku bertemu dengannya hari ini.
Mungkin, semesta memang hanya mengizinkan pertemuan kita untuk saling belajar. Dimanapun kamu sekarang, semoga semesta selalu menjagamu.
Yogyakarta, Tahun ke 3 setelah kepergianmu