Mudik merupakan tradisi tahunan oleh orang-orang perantau untuk kembali ke kampung halamannya yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan misalnya menjelang Lebaran para perantau secara besar-besaran anak beranak dengan menggunakan semua daya yang diperoleh selama diperantauan untuk pulang berkumpul dengan familihnya dan melepaskan semua dosanya kepada orang tuanya disaat hari Idul fitri.
Dalam beberapa hari ini selama bulan Ramadhan perkataan mudik seringkali kita dengan baik dari pembicaraan di kalangan masyarakat bawah apalagi perbincangan melalui media cetak dan elektonik, terutama berita di media elektronik berita tentang Mudik, pemudik, arus mudik sepanjang hari diberitakan sehingga berita lain yang mungkin tidak kalah pentingnya kurang mendapatkan waktu siaran.
Menurut ceritera oleh seorang Jampang Betawi di RT tempat saya bermukim bahwa Istilah mudik mulai muncul pada tahun 1950 an tatkala seorang betawi yang menyewakan rumahnya kepada beberapa perantau dari Jawa Timur dan Jawa Tengah yang datang ke Jakarta untuk menjual bakso, gorengan, mie ayam dan jajanan lain serta ada juga yang bekerja di pembangunan monument Nasional ( Monas ) pada suatu pagi sang Betawi berkata kepada seorang pendatang dari Jawa yang mengontrak rumahnya pada 5 hari menjelang Lebaran dengan suara agak keras” mas apa nggak ikut mudik “ yang di dengar oleh beberapa temannya yang telah siap2 untuk untuk pulang kekampungnya untuk merayakan Idul fitri. Pada saat sudah mau berangkat ke Stasiun Gambir mereka pamit kepada sang Betawi yang empunya rumah kontrakan, pada saat itu ibu sang Betawi berkata lagi “ apa mau mudik ya “ Mulailah saat itu istilah mudik yang berasal dari bahasa betawi setiap menjelang hari lebaran mulai popular di kalangan masyarakat dan pemerintah Indonesia.
Pada tahun 50 an tradisi mudik tidak seperti sekarang, para perantau mudik dalam jumlah yang sedikit dan jarang terpantau oleh pemerintah karena belum membebani karena kecelekaaan para pemudik, perantau dari Jawa Timur, Jawa Tengah,Jawa barat dan dari wilayah lain ke Jakarta masih sedikit, namun karena semakin majunya pembangunan yang semua orang menganggap bahwa di Jakarta sangat mudah mencari pekerjaan maka dalam tahun 70an urbanisasi ke Jakarta dari bagian Indonesia lainnya mengalir Ke Jakarta dan saat itulah setiap tahun para urban tersebut mudik setiap tahun membawa hasil jerih payahnya di Jakarta.
Mengapa harus mudik?, tradisi mudik setiap hari lebaran di maksudkan bagi para perantau untuk kembali ke kampung halamannya untuk merayakan bersama-sama dengan sanak familihnya untuk merayakan Idul fitri dan membasu dosa dengan saudaranya terutama bagi perantau yang mempunyai orang tua yang masih hidup, karena menurut mereka pada saat hari idul fitri memohon pengampunan dosa dari orang tua mereka yang akan terhapus pada ssat hari lebaran ( Idul Fitri ) sehingga demi pengampunan dosa mereka rela menempu perjalanan jauh dengan sarana perhubungan yang sangat tidak memberikan keamanan dan Kenyamanan. Memang dari sebagian besar beranggapan demikian, tetapi ada juga yang mudik kekampung halaman hanya karena ikut-ikutan, dengan alasan kalau tinggal di Jakarta bosan karena terlalu lama libur, dari pada tinggal saja di rumah selama 9-10 hari lebih baik pulang ke kampung atau berlibur di tempat2 wisata di luar Jakarta yang menyenangkan atau mencari hotel2 mewah di kota2 di Jawa Timur, Jawa tengah dan Jawa barat, bahkan tidak sedikit yang keluar negeri memanfaatkan hari libur bersama yang sangat panjang.
Apakah dampak dari mudik?, setiap tahun sekitar 2 bulan menjelang bulan Ramadhan persiapan-persiapan untuk pemudik sudah menjibukkan pemerintah untuk menyediakan sarana yang nyaman bagi pemudik, maka perbaikan jalan sepanjang Pantura sebagai jalur Utara dan jalan raya melewati jalur selatan pulau Jawa, trans Sumatera mulai dari Provinsi Lampung sampai Atjeh, trans Sulawesi dan trans Kalimantan mulai di perbaiki dengan penggunaan APBN yang trilyunan rupiah banyaknya, jembatan di rehabilitasi. Disamping prasarana jalan tersebut pemerintah juga mengoperasikan sarana perhubungan dengan menambah frekwensi jumlah pesawat, kereta Api, angkutan bus dan kapal laut, malahan tidak tanggung2 angkatan laut akan mengoperasikan kapal perang Jenis LST sebanyak 23 buah untuk mendukung kelancaran pemudik dan motornya. Untuk pengamanan jalan yang dilewati pemudik oleh pemerintah menurunkan petugas kepolisian, tenaga kesehatan dan ABRI puluhan ribu banyaknya untuk melakukan pengamanan di posko2 untuk mendukung kelancaran perjalanan mudik. Disamping dampak terhadap pemerintah tersebut diatas terdapat dampak terhadap para pemudik itu sendiri, menurut informasi bahwa setiap tahun diperkirakan 1000-1500 orang setiap tahunnya tewas dalam perjalanan pada saat arus mudik dan arus balik dan terjadi kerusakan kendaraan karena kecelakaan sekitar 200-230 buah roda 2 dan roda 4 .
Bagaimana kalau tidak mudik?, apakah kalau tidak mudik kekampung dengan hanya merayakan lebaran di Jakarta atau di tempat lain tanpa pulang kampong, apakah dosa antara anak dengan orang tua tidak mendapatkan maaf kalau hanya melalui alat telekomunikasi, tentunya yang tahu adalah pemuka agama yang dapat memberikan penjelasan kepada umatnya, karena kalau tradisi mudik berkembang terus searah perkembangan pembangunan bangsa, maka setiap tahun pemudik akan menjadi beban negara yang sangat memberatkan pemerintah.
Apaka tradisi mudik ini akan lebih berkembang setiap tahun atau akan surut sejalan dengan semakin meningkatnya pengangguran di Jakarta atau ada upaya lain untuk menghentikan mengalirnya penduduk luar masuk Jakarta?