Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Cerpen | Democrazy

20 Desember 2020   07:34 Diperbarui: 20 Desember 2020   08:01 251 4
Beberapa catatan 'ku tertumpuk di atas meja di samping buku-buku bacaan--yang parkir rapi seperti serdadu berbaris di jalanan kala menjemput pribumi di masa hindia--ditemani segelas kopi, dua batang rokok, juga Notebook, aku sudah siap memainkan keyboard, tapi apa yang harus ku tulis? Pertanyaan itu menyasar ke pikiran.

Sedang aku masih berpikir, dalam kepala hanya beberapa hal terlintas: Marsinah, Munir, Papua, Konawe, juga perkara-perkara pelanggaran HAM lainnya seperti di berita-berita memgabarkan kematian 6 anggota FPI, semua campur aduk dalam kepala. Tapi mau memulai dari mana? Lagi-lagi tanya terngiang.

Jari-jari lengan milik ku sudah berbaring di atas tombol-tombol keyboard, siap menggerayangi papan itu, mengetik beberapa kalimat untuk memicu kerja akal supaya terus mengalir kata-kata dari dalam kepala.

Tapi ketika sudah siap memulai, tibalah semua yang campur aduk itu menjadi satu kata impian yang tak jua kunjung aku temukan dalam kehidupan 'ku di tanah ini: Demokrasi.

***

Berkian kali Memikirkan hal itu, memang membuat kepala ku hampir pecah--seperti tertimpa beban berat yang jatuh dari atas bufet--namun, tetiba aku hendak beranjak sebentar, pintu rumah diketok dari luar.

"Tok, tok, tok." Bunyi ketukan pintu. "assalamualaikum" suara menyusul kemudian.

"Waalaikumsalam, siapa"

"Saya, Al"

"Oww, kirain siapa, sini masuk"

Setelah Al masuk ke dalam rumah, aku persilahkan dia duduk di kursi, sudah itu aku ke dapur ambilkan minum untuknya tanpa menanyakan padanya apa yang mau dia minum, memang sudah begitu sering aku lakuka jika dia bertandang ke rumah.

"Ini, minum dulu"

"Oh iya, terima kasih"

"Ada apa datang ke rumah?"

"Tidak, hanya ingin ngobrol"

"Boleh. Apa yang mau kita diskusikan?"

"Demokrasi, mungkin?"

"Masih kata itu juga, Al seperti tahu saja apa yang hendak saya mulai untuk tulisan" batin ku saat itu.

"Ada apa dengan demokrasi, Al?"

"Aku bingung Ndre, katanya kita hidup di negara demokrasi, dimana semua masyarakat wajib patuh pada hukum, begitupun para elit dan keamanan, tapi kok tampilannya tidak seperti itu, ya?"

"Begini, Al, tadi sebelum kamu datang, aku hendak menulis, banyak yang terlintas di pikiran ku. Entah itu Marsinah, Munir, masalah Papua, juga kematian 6 orang FPI beberapa waktu lalu, semua tumpum jadi satu dalam kepala 'ku."

"Terus?"

Pertanyaan Al seakan memicu diri 'ku untuk berpikir keras, harus memulai dari mana, tapi darah di dalam tubuh 'ku terus mengalir deras memacu semangatku untuk berpikir.

"Begini, sejak di sekolah, kita selalu diajarkan untuk menghargai hak orang lain dan dituntut untuk bertaggung jawab atas sesuatu yang punya keterkaitan dengan kita, Kewajiban."

Pikir 'ku: mungkin memulai dari situ bisalah untuk memicu semua yang pernah aku temukan dalam buku-buku bacaan lalu termuntahkan dari dalam kepala, tumpah pada telinga Al, masuk ke dalam kepalanya dan menetap sebentar di sana untuk diskusi terus berlanjut.

"Hak dan Kewajiban, apa maksudnya?"

"Dua kata itu mungkin bisa mewakili kata demokrasi, jika hak 'mu terpenuhi, dan kau sudah menjalankan kewajiban, itu artinya kau telah memahami demokrasi dengan baik"

"Bukannya demokrasi itu bebas berpendapat? Entah mengkritik polisi, DPR, Menteri bahkan Presiden sekali pun?"

"Iya memang benar ada benarnya yang kau katakan dan itu bagian dari lain dari demokrasi, juga semua itu menjadi Hak 'mu, toh itu juga ada di dalam konstitusi kita, UUD 1945."

"Tapi kenapa akhir-akhir ini semua itu seperti mitos yang sudah didekonstruksi untuk kepentingan kekuasaan?"

"Begini, Al sejak dulu, setelah kita terlepas dari penjajah, kehidupan bangsa kita memasuki babak baru yang dikenal "kemerdekaan" dengan jargon Orde Lama (Orla) yang dipimpin langsung oleh Soekarno, disitulah dimulai. Dia dan beberapa pendiri negara lainnya berunding untuk menentukan seperti apa sistim yang akan digunakan di negara ini"

"Kemudian dalam perundingan panjang, dia (soekarno) dan wakilnya, Moh. Hatta saling silang pendapat. Soekarno ingin negara ini menjadi negara demokrasi, namun Hatta mau lain, dirinya ingin negera ini menjadi federal dengan memiliki beberapa negara bagian hal itu didasarkan pada rentang jarak antara beberapa wilayah di Indonesia dengan pemerintah pusat."

Aku coba jelaskan kepada Al saat itu, seperti seorang dosen saja, diri 'ku menggurui Al dan dia tampak antusias mendengar bacotan 'ku.

"Dari perdebatan itu, mereka akhirnya tidak saling bicara untuk beberapa lama, namun kemudian masing-masing dari mereka merasa ada yang salah, sebab jika sebuah bangsa yang baru merdeka dari penjajah kemudian berseteru sesamanya, maka akan tamatlah riwayat mereka."

"Dalam perjalanan sejarah negara-bangsa, demokrasilah yang dipilih sebagai sistim di negeri ini"

"Demokrasi adalah mencari sepiring nasi di bawah ketiak elit politik negara, kemudian ketika sudah habis, datang lagi menjilat pantat sepatu mereka sudah itu membungkuk pada oligarki dan membuka tangan selebar-lebarnya untuk menerima kapitalisme dan besannya, investor untuk menggerus tanah kita, begitu kan defenisinya?" Timpal Al begitu cepat sampai mataku membelalak menatapnya sedang mulut terbuka.

Sudah dia ucapkan defenisi menurutnya, kami terdiam sejenak, dan aku jadi tegang dengan rentetan kata-kata itu, lalu..

"Hahahahahaha" tawa kami pecah memenuhi ruangan.

Kemudian, aku diam sejenak, mengingat ucapan Al barusan ""Demokrasi adalah mencari sepiring nasi di bawah ketiak elit politik negara... bla bla bla"  dalam pada itu, aku pikir yang dikatan Al ada benarnya. Toh selama ini, kehidupan bangsa kita seperti itu adanya, yang di atas terus di atas dan mengawan tanpa mau menengok apa pula mampir ke bawah, dan di bawah dibiarkan terkatung-katung dalam keterlataran dan kemelaratan.

"Jika demokrasi menjamin hak, tidak mungkin akan ada banyak masalah di negeri ini. Kau tahu, Marsinah, ketika melawan, meminta kenaika gaji kerja, apa yang terjadi padanya? Dia mati dan baru ditemukan tiga hari setelahnya dibunuh, vaginanya dirobek dengan senapan, begitu keji orang-orang yang membunuhnya. Tapi apa? Mereka yang dianggap pembunuh marsinah tidak mendekam lama dalam pingitan, asal uang bermain semua beres. itukah demokrasi?"

"Atau Munir, seorang yang begitu getol perjuangkan Hak Asasi Manusia di negara ini, kau tahu? Dia diracuni, dibunuh di dalam pesawat garuda, ketika hendak ke Belanda melanjutkan pendidikannya, itukah demokrasi?"

"Juga masalah yang lain di negeri ini, seperti beberapa waktu lalu 6 anggota FPI, ditembak orang tak dikenal di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek tanpa ada rasa bersalah, dan baru kemudian akhirnya diketahui, mereka oknum-oknum polisi" apakah ini yang kau maksudkan demokrasi?

"Apakah dari semua rentetan masalah itu, pantaskah negeri ini disebut paling demokratis dengan sistem demokrasinya? Hahaha bulsit, Andre." Katanya kepada 'ku.

Tadi dia minta aku jelaskan, tapi dia lebih lihai memainkan sarkas dari pada aku. Lalu suasana kembali hening, Al begitu garang dengan penaympaiannya, sementara aku hanya mematung, memperhatikan lagaknya, mendengar bacotannya, sudah itu suasana kembali hening.

Memang sulit untuk ditafsirkan apa sebenarnya demokrasi ini, tapi ketika memikirkan hal itu, aku buka fb sebentar dan kutemukan postingan salah satu akun "jangan sampai demokrasi negeri ini menjadi democrazy".

Belum juga diskusi selesai, Al bediri dari tempat duduknya, mengambil gelas bekas minumnya, berjalan ke dapur, menuangkan air ke gelas itu, sudah itu dia minum, dan kembali lagi ke ruangan diskusi kami, terus pamit kemudian bersalam dan pulang.

Ahhh.. anak itu memang benar suka rusakin suasana orang lain, sudah itu pergi begitu saja tanpa menyelesaikan pokok soal yang dimulainya sendiri.

Setelah kepulangan Al, aku masih duduk memikirkan percakapan kami tadi, dan pada sebuah kesimpulan, aku mematung lalu memikirkan semua dalam kepala "Marsinah, Mahasiswa 98 yang hilang, Munir, Agni, 6 anggota FPI dan lainnya" memang menjadi pokok masalah yang tiada pernah usai diselesaikan pemimpin-pemimpin di negeri ini dengan baik.

Sebelum semuanya aku tumpahkan pada lembaran software MS Word di Notebook, waktu keburu menutup usianya, senja hampir tertelan tubir langit, dan ayam-ayam seperti biasanya mencari tempat untuk bermimpi dan aku terus menatap notebook dan belum juga menulis. (***)

Tanah Beta
Ambon, Akhir 2020.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun