Aku penasaran dengan budaya orang Jawa. Walaupun aku lahir dalam keluarga Jawa, tidak otomatis aku memahami budayanya dengan baik. Memang di keluargaku, bapak konsisten menanamkan nilai-nilai budaya Jawa itu. Tata krama berbicara, etiket bergaul dengan orang lain, secara intensif dipahamkan beliau pada kami. Apalagi bapakku seorang dalang pengantin/pranata adicara. Ini sebutan untuk orang yang mengatur (master of ceremony) jalannya upacara pernikahan adat Jawa. Dari sini aku terdorong untuk mengenal budaya Jawa lebih jauh lagi. Cara asyik belajar budaya Jawa yang kupilih ialah dengan membaca karya sastra. Mengapa karya sastra? Menurutku, karena karya sastra merupakan cerminan kondisi masyarakat. Artinya, ketika aku membaca suatu karya sastra, aku sedang melihat gambaran riil yang ada di lingkungan sekitar penciptanya. Berbekal pemikiran seperti itu, aku merasa enjoy hunting buku bekas di lapak pedagang buku bekas. Jika di Solo, aku sering mengaduk-aduk tumpukan buku bekas di Sriwedari dan Gladag. Kalau pergi ke Yogya, aku mampir di shopping, belakang Malioboro. Ketika apel istri di Jakarta, aku singgah di Kwitang, Pasar Senen. Hingga suatu ketika aku bertemu Para Priyayi di antara tumpukan buku bekas. Novel karya Umar Khayam ini pernah kubaca waktu SMA. Waktu itu aku mesti membaca novel ini supaya bisa menggarap tugas mata pelajaran sastra Indonesia. Ternyata aku tidak rugi. Para Priyayi langsung merebut hati. Maka, ketika bersua kembali dengannya, langsung Para Priyayi kuboyong pulang. Tidak berlebihan jika Para Priyayi menjadi masterpiece Umar Khayam. Beliau sangat jeli memasukkan nilai dan falsafah budaya Jawa ke dalam jalinan cerita. Hasilnya, kita seperti terhanyut dan tanpa sadar menemukan mutiara yang diagungkan orang Jawa. Beberapa yang masih melekat di benakku coba kusampaikan lewat coretan ini. 1.
Ajining raga saka busana, ajining diri saka obahing lathi. Obahing lathi secara harfiah berarti kata-kata yang terucap. Jika dimaknai lebih dalam, kata-kata merupakan cetusan sikap diri. Sering kali sikap juga ditampakkan pada perbuatan (ekspresi tubuh, mimik muka) kita. Tampilan luar (kekayaan, kekuasaan) memang dapat menumbuhkan penghormatan dari orang lain. akan tetapi, semua itu hanya artifisial. harga diri sesungguhnya ditentukan oleh sikap kita ketika berinteraksi dengan orang lain. Barangkali inilah yang membuat orang Jawa sensitif dengan gerak-gerik mitra bicaranya. 2.
Kacang ora ninggal lanjaran. Tindak tanduk orang tua sangat membekas di hati anak. Bahkan, tanpa sadar anak menjadikan orang tuanya sebagai tipe ideal. Segala perbuatan orang tua ditiru anak. Sikap yang ditunjukkan orang tua akan ditunjukkan pula oleh anak di lain waktu. Hal ini terbukti pada ketertarikan Hari, cucu Sudarsono, pada kesenian. Kedudukan bapaknya sebagai salah satu abdi dalem kraton mendorong Hari untuk mengabdikan hidupnya dalam kesenian Jawa. Sayangnya, dia tidak sadar ketika terseret arus pergolakan budaya saat itu. Yang dia ikuti kelak dianggap salah oleh penguasa. Sementara Merry (cucu sulung Sudarsono, bapaknya menjadi perwira militer) justru salah gaul. Kemewahan yang dilimpahkan orang tuanya, tidak membuatnya bahagia. Merry merasa mendapatkan cinta dari seorang pemuda desa, culun, dan menganggur. Akibatnya dia hamil di luar nikah. 3.
Utang budi ginawa mati. Hutang budi tidak mungkin terbayarkan. Inilah prinsip hidup Lantip, anak haram yang diserahkan simboknya pada Sudarsono. Lantip diterima sebagai anggota keluarga: diberi makan, pakaian yang layak, dan dilibatkan dalam kesibukan rumah tangga priyayi. Lantip juga disekolahkan – suatu kemewahan bagi anak penjual tempe di masa kolonial. Berkat kecerdasannya, dia akhirnya lebih unggul daripada cucu-cucu kandung Sudarsono. Lantip merasa sangat berhutang budi kepada keluarga priyayi tadi. Ketika keluarga besar tercemar namanya akibat perbuatan dua cucunya – Merry hamil di luar nikah dan Hari dipenjara karena dituduh terlibat Lekra -, Lantiplah yang berusaha mengurai masalah. Dengan ikhlas, Lantip menempuh langkah-langkah yang perlu untuk menenangkan badai keluarga besar itu. Semua dilakukan Lantip sebagai upaya membayar hutang budinya. 4.
Becik ketitik, ala ketara. Lantip memang anak haram. Bapaknya dulu keponakan Sudarsono yang ditempatkan sebagai guru sekolah rintisan yang dibangun Sudarsono. Sekolah ini lalu mendapat cap sekolah liar dari penguasa kolonial Belanda. Walaupun berlatar belakang suram, Lantip bukanlah orang yang tidak bervisi masa depan. Dia berusaha mengoptimalkan peluang belajar yang diberikan Sudarsono. Bakat seni dan potensinya terus diasah. Lantip kemudian terbukti lebih unggul daripada cucu-cucu kandung Sudarsono. Berdasarkan kenyataan tersebut, sudarsono akhirnya legawa mengakui keunggulan cucu haramnya atas cucu kandungnya. Ah, aku jadi sentimentil jika membahas Para Priyayi-nya Umar Khayam. Supaya memiliki penilaian yang berimbang, sepatutnya Anda baca sendiri buku tersebut. Insya ALLAH tidak merasa rugi.
KEMBALI KE ARTIKEL