Menurut versi pemerintah, remunerasi merupakan ujung dari reformasi birokrasi. Keberhasilan melakukan peningkatan "pelayanan terhadap masyarakat" patut dihargai dengan peningkatan kesejahteraan para PNS di lembaga tersebut. Itu suatu niat yang mulia. Namun, pemerintah
sepertinya lupa bahwa kebijakan ini tidaklah populis, bahkan cenderung memperlebar jurang yang membentang antara sebagian kecil PNS dengan rakyat swasta. Apakah pemerintah sudah lupa dengan fenomena umum di bidang perdagangan selama ini? Baru saja rencana kenaikan gaji disampaikan, harga kebutuhan pokok sudah membumbung tinggi. Akibatnya, kenaikan gaji itu tidak membawa peningkatan kesejahteraan PNS. Yang lebih berat menanggung beban ini tentu saja pihak swasta. Mereka terseok-seok mengejar segala ketinggalan itu. Pada saat yang sama mereka juga dituntut oleh buruhnya untuk mampu mempersempit jurang kesejahteraan dengan PNS. Sayangnya, tidak banyak -sebagai penghalusan istilah- bentuk perhatian pemerintah kepada swasta. Seolah-olah mereka dibiarkan hidup sendiri, mengatasi masalahnya sendiri, dan beradu otot dengan buruhnya sendiri.
Selain itu, pemerintah tampaknya menutup mata terhadap opini publik yang berkembang. Maraknya sejumlah kasus kebobrokan kinerja aparat negara cukup dieliminir dengan ungkapan, "itu hanya ulah segelintir oknum saja." Sikap yang demikian ini dapat menjauhkan rakyat dari para pemimpinnya. Bisa-bisa muncul pemikiran keliru: siapapun presidennya, rakyat tetap sengsara. Apabila pemikiran ini terus berkembang, legitimasi pemerintah akan terkikis habis.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya pemerintah mengambil langkah untuk mengantisipasi dampak renumerasi terhadap rakyat. Jangan sampai rakyat mengambil sikap frontal pada pemerintah gara-gara kebijakan yang tidak menentramkan hati para pemilik mandat ini (baca: rakyat).