Lulus S1, minimal sudah mengajar selama lima tahun, mengikuti berbagai rentetan tes adalah beberapa syarat untuk mengikuti sertifikasi guru. Sertifikasi guru menandakan guru tersebut sudah profesional. Guru yang sudah tersertifikasi wajib bekerja secara profesional.
Tidak hanya profesi guru yang harus melakukan proses sertifikasi, beberapa profesi lain seperti profesi perbankan dan dokter juga menempuh proses sertifikasi profesi.
Dikutip dari Wikipedia.com, sertifikasi profesi atau yang lebih dikenal dengan sertifikasi adalah suatu penetapan yang diberikan oleh suatu organisasi profesional terhadap seseorang untuk menunjukkan bahwa orang tersebut mampu untuk melakukan suatu pekerjaan atau tugas spesifik. Sertifikasi biasanya harus diperbaharui secara berkala, atau dapat pula hanya berlaku untuk suatu periode tertentu. Sebagai bagian dari pembaharuan sertifikasi, umumnya diterapkan bahwa seorang individu harus menunjukkan bukti pelaksanaan pendidikan berkelanjutan atau memperoleh nilai CEU (continuing education unit).
Menurut Anda bagaimana jika seniman wajib melakukan sertifikasi seperti halnya guru atau dokter? Apakah para seniman harus lulus S1, minimal berkecimpung di dunia seni selama lima tahun, dan mengikuti berbagai tes untuk memperoleh sertifikasi seniman?
Belum lama ini saya menonton acara berita di salah satu stasiun televisi swasta yang membahas tentang sertifikasi seniman. Agak lucu mendengar wacana dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tentang sertifikasi seniman. Hal ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, khususnya para pelaku seni.
Karya seni tidak bisa diukur dengan “sertifikasi”. Sebuah karya seni yang tercipta memiliki keunikan tersendiri. Meski tampak sama, kekhasan penciptanya tetap tampak. Memberikan apresiasi terhadap karya seni juga bukan hal mudah karena bersifat artistik. Butuh penjiwaan yang mendalam. Tiap orang pasti memberikan apresiasi yang berbeda terhadap sebuah karya seni karena mereka memiliki penjiwaan dan persepsi yang berbeda pula.
Jika sertifikasi seniman benar-benar terwujud, tentu ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Bisa saja syarat pendidikan atau pelatihan tertentu harus ditempuh seniman. Indonesia memiliki ribuan seniman di berbagai daerah. Para seniman tersebut ada yang memiliki latar belakang akademis dan ada pula yang otodidak. Seniman otodidak pun tak kalah hebat dengan seniman berlatar belakang akademis.
Lalu, sertifikasi seniman untuk apa? Dan apa standarisasinya? Seni tidak bisa diukur dengan “syarat sertifikasi”. Standar sertifikasi seniman sangat abu-abu. Jika tujuan sertifikasi seniman adalah untuk meningkatkan mutu seniman Indonesia, berikan saja fasilitas kepada para seniman, misalnya dengan membangun gedung kesenian dan memberikan akses untuk memperlihatkan karya-karya mereka kepada masyarakat dunia. Dengan memberikan fasilitas seperti ini kepada seniman, tentu mereka akan lebih bersemangat untuk menghasilkan karya-karya yang menakjubkan, mereka pun akan semakin bermutu.
Tak sedikit seniman daerah yang diusia senjanya masih bersemangat melestarikan kesenian tradisional Indonesia. Dedikasi mereka untuk melestarikan kesenian tradisional Indonesia sungguh luar biasa. Mirisnya, banyak di antara mereka yang masih saja hidup serba kekurangan. Seharusnya Kemendikbud lebih memperhatikan seniman-seniman yang seperti itu. Merekalah yang sepatutnya memperoleh “sertifikasi” karena dedikasinya yang begitu tinggi.
Kemendikbud tak usah pusingkan sertifikasi seniman. Masih banyak PR yang harus diselesaikan Kemendikbud seperti kesejahteraan guru honor, masalah UN, gedung-gedung sekolah yang tak layak, dan masih banyak lagi. @TamiPudya