Jakarta dan Banjir. Dua kata itu begitu melekat dan serasi dalam konstruksi memaknai Ibukota Indonesia ini. Riwayat persoalan Banjir di Jakarta bukan hitungan sepuluh atau dua puluh tahun. Sejak jaman kolonial, persoalan Banjir sudah mewarnai kehidupan masyarakat Batavia kala itu. Dan ratusan tahun berlalu ternyata persoalan banjir masih tetap terpelihara hingga kini, saat banjir tiba, semua pihak terkait seolah sibuk menunjukkan kinerja dan kontribusinya dalam penanganan persoalan banjir dan masyarakat korban banjir. Awal Tahun di Jakarta, setidaknya 2 tahun terakhir penulis mengingat betul bagaimana hebohnya persoalan banjir ini. Saat banjir tiba, tidak sulit menemukan komentar sinis, umpatan dan makian datang dari masyarakat yang ditujukan pada pemerintahnya. Lalu, di tahun 2014 ini banyak pihak mencoba menggiring persoalan banjir untuk komoditas politik, pencitraan sosok dan institusi tertentu, elektabilitas figur dan kontestasi gagasan yang tidak jauh dari kepentingan saling menyalahkan dan saling melempar tanggung jawab. Pelik dan klasiknya persoalan banjir mencoba penulis untuk memfokuskan pembahasan tulisan ini pada tiga hal yang seakan tidak begitu penting untuk dibahas, karena fokus selama ini terpusat pada kepasrahan akan datangnya banjir lalu mendatangkan kritik yang didominasi keluh tanpa mengevaluasi kehidupannya sendiri dan sekitarnya, akibatnya, persoalan banjir selalu terulang diibaratkan seperti tamu yang rutin terjadwal kedatangannya.
Perilaku dalam Pola Hidup Masyarakat
Perilaku manusia yang rutin berlangsung akan terpola dalam perjalanan kehidupannya. Perilaku yang baik, sehat secara langsung menunjukkan pola hidup yang baik dan sehat pula, Sebaliknya juga begitu. Terkait dengan banjir sering kita melupakan perilaku manusia bersumbangsih terhadap persoalan banjir. Kita lupa akan hal itu karena anggapan bahwa banjir adalah peristiwa dari fenomena alam. Sungai tidak berfungsi semestinya sering kali diakibatkan menumpuknya sampah. Keberadaan Sampah di aliran sungai atau di pintu air tentu bukan tanpa alasan dan bukan pula tanpa penyebab, perilaku masyarakat adalah penyebab dari semua itu. Pesimisme pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap perilaku masyarakatnya tercermin dari wacana denda bagi masyarakat yang membuang sampah sembarangan, terutama jika dibuang ke sungai/kali. Denda sebesar Rp.500.000,- merupakan cara ampuh untuk melumpuhkan perilaku masyarakat yang tidak peduli kepada kebersihan lingkungannya. Bila selama ini masyarakat Ibukota sering menyalahkan warga Bogor sekitarnya sebagai penyebab persoalan banjir karena akumulasi sampah yang dihasilkan oleh masyarakat wilayah penunjang DKI Jakarta justru penulis melihat langsung perilaku masyarakat Ibukota yang sering membuang sampah dengan sembarangan, aliran air di got, kali/sungai pun menjadi tersendat.
Tumpukan Sampah pada Aliran Kali di Daerah Domisili Penulis
Siapapun tidak ada yang menghendaki terjadinya banjir, sangat jelas terlihat ketika banjir datang akan muncul masalah lainnya. Genangan air menghambat kelancaran lalu lintas dan aktivitas masyarakat, karena banjir gardu-gardu listrik dipadamkan pihak PLN untuk menghindari korban jiwa, dan karena banjir juga korban di pengungsian rentan terpapar penyakit. Persoalan banjir ini harusnya dijadikan evaluasi perilaku diri sendiri dari masyarakat di wilayah ibukota, banjir tidak saja dilewatkan begitu saja yang sering dimaknai sebagai peristiwa biasa dan rutin terjadi.
Keterbatasan Lahan Pemukiman yang Manusiawi
Laju pertumbuhan penduduk yang begitu pesat ditambah akses lapangan pekerjaan yang minim membuat arus urbanisasi di Kota-kota besar di Indonesia tidak dapat dihindari. Saat ini bermukim kurang lebih 10 juta jiwa penduduk di DKI Jakarta dan tidak ada yang bisa memastikan jumlah penduduk itu terhenti di angka berapa. Masyarakat dari daerah berebut untuk mencari peruntungan di Ibukota, peruntungan di daerah tidak lagi sanggup memenuhi kebutuhan sehari-hari hidup mereka. Akan memiriskan lagi jika membandingkan ketersediaan lahan untuk orang hidup dengan orang yang tutup usia, jumlah lahan untuk pemakaman pun jelas sekali saat ini sangat terbatas dan wacana untuk membuka lahan pemakaman di luar wilayah DKI Jakarta sudah mulai bergulir.
Peningkatan jumlah penduduk berkaitan langsung kepada ketersediaan lahan untuk pemukiman, saat masyarakat yang datang ke Jakarta tidak sanggup untuk mengakses kebutuhan perumahan akibatnya lahan-lahan fasilitas publik atau lahan terlarang untuk pemukiman akan dijadikan sebagai wilayah bertempat tinggal. Mereka menjadi kalangan terpinggirkan di Ibukota, mereka tidak memiliki cukup dana untuk membeli lahan, dan lahan yang tersedia pun semakin hari makin menyusut. Peralihan fungsi kawasan terlarang untuk pemukiman dan lahan fasilitas publik sangat mudah ditemui, sepanjang kali di Jakarta tampak pemukiman masyarakat, di pinggir rel kereta api jumlah pemukiman liar tidak sedikit jumlahnya, di sekitaran waduk, di bawah jembatan lahannya dijadikan tempat tinggal mereka.
Normalisasi waduk dan sungai di Ibukota Jakarta harusnya menjadi agenda utama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, namun agenda tersebut tidak bisa berjalan sendiri karena berkaitan dengan banyak pihak dan sering pula regulasi berbenturan. Contoh, pemukiman di wilayah Kampung Pulo, Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur. Jumlah rumah dan jiwa yang bermukim disana yang dekat dengan Kali Ciliwung tidak sedikit. Rencana normalisasi sungai berkaitan erat dengan relokasi masyarakat tersebut. Ketersediaan pemukiman/perumahan yang memadai menjamin kelancaran normalisasi dan relokasi. Prosedur pembangunan pemukiman khususnya, tidak berjalan beriringan antara kementerian perumahan dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama Dinas Perumahan. Regulasi yang berbenturan dan ‘ribet’ akhirnya mengulur agenda normalisasi sungai dan relokasi warga di sepanjang aliran sungai.
Komersialisasi Lahan oleh Swasta
Saat masyarakat Ibukota dari kalangan menengah dan terpinggirkan tidak mampu mengakses lahan untuk pemukiman, di sisi lain pembangunan dari kalangan swasta terus menggeliat. Lahan dikomersialisasi dalam bentuk bisnis properti, perhotelan, mall, pusat hiburan, dan bentuk lain. Lahan untuk kepentingan masyarakat sulit untuk diakses, wilayah hunian yang memadai jumlahnya kian susut, areal pemakaman tidak jauh berbeda, lahan untuk ruang terbuka hijau semakin terabaikan. Dalam regulasi daerah, ruang terbuka hijau (RTH) diwajibkan harus tersedia minimal 30 persen dari jumlah luas wilayah DKI Jakarta.
Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) tidak sederhana, RTH dapat berfungsi sebagai penyerapan air di Ibukota dan arena interaksi manusia dalam dinamika tekanan hidup Ibukota. Sarana pendukung untuk solusi penanganan banjir ini tampak dikuasai kalangan swasta, ijin untuk pembangunan bisnis mereka sangat mudah diperoleh. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai pemegang kekuasaan dan wilayah tidak mampu menekan arus pembangunan dari kalangan swasta. Masyarakat secara tidak langsung maupun langsung menjadi pihak yang paling merugi, lahan-lahan untuk berbagai kepentingan mereka dikuasai oleh pemodal Ibukota.
Rawamangun 13 Januari 2014.