Lokasi penjara dekat Kampung Melayu itu, dulu merupakan benteng pertahanan kolonial belanda tahun 1600-an, Pagar berduri dibangun di sepanjang tepi sungai ciliwung, letak benteng itu memang agak tinggi sehingga menyerupai sebuah bukit kecil jika dilihat dari seberang sungai, konon inilah awal nama dari kawasan Bukit Duri, Kampung Melayu Jakarta Selatan.
Dulu tempat ini sangat menyeramkan, sering ada teriakan-teriakan para penghuni penjara yang sedang disiksa oleh petugas penjara. Kehidupan penjara bukit duri memang sangat menyedihkan, para penghuni penjara makan dengan pingset karena nasinya dicampur dengan beling dan pasir, perilaku kejam ini adalah bagian dari upaya pemerintah Orde Baru yang ingin membuat mereka mati secara perlahan-lahan.
Penyiksaan sudah bukan sesuatu yang aneh dipenjara tersebut, namun secara umum penyiksaan lebih kejam justru terjadi ketika para tawanan wanita ini dibawa ketempat lain, istilahnya dibon atau dipinjam, nasib tahanan pun bergantung tempat dimana dia dibon, banyak diantara mereka tidak kembali ketahanan, mungkin mereka dieksekusi ditempat lain.
Terdorong oleh rasa ketakutan yang luarbiasa terkait kondisi didalam penjara akhirnya membuat tiga orang wanita penghuni penjara tersebut berusaha melarikan diri, mereka melarikan diri hanya mengenakan celana dalam, lari menyebrangi sungai ciliwung, teriakan-terikan petugas penjara terdengar keras sambil mengejar mereka. Tak lama kemudian akhirnya pelarian tiga wanita tersebut berhasil ditangkap kembali sambil dipukuli tanpa perikemanusian oleh petugas penjara. Sudah dapat ditebak nasib ketiga tahanan wanita itu, tentunya akan berujung pada derita berkepanjangan bahkan kematian siap menanti mereka.
Penjara Bukit Duri kini memang sudah runtuh dan telah berubah menjadi komplek pertokoan Bukit Duri plaza yang telah menjadi saksi bisu dari sejarah kelam mereka yang ditahan tanpa pengadilan dan tak akan pernah dilupakan oleh mantan tahanan penjara wanita Bukit Duri. Namun selain penjara Bukit Duri ada lagi tempat tahanan para Gerakan Wanita Indonesia ini yaitu di kamp plantungan atau pulau burunya kaum wanita, bagi orang-orang eks Tahanan Politik (PKI) Plantungan merupakan Pulau burunya Gerwani atau Gerakan Wanita Indonesia. Lokasi penjara Plantungan berada didaerah Kendal, Jawa Tengah.
Kehidupan para tahanan politik wanita di plantungan sarat dengan tindak kekerasan fisik maupun mental, disana mereka dijaga oleh para tentara yang semuanya laki-laki, pelecehan seksual dan perkosaan tak jarang menimpa mereka, beberapa diantaranya bahkan sampai hamil dan melahirkan di kamp tahanan plantungan tanpa tahu siapa bapak dari anak yang dikandungnya.
Begitu kejam nasib yang dialami oleh para aktifis Gerakan Wanita Indonesia padahal kebanyakan dari mereka adalah berpendidikan sebagai guru atau berprofesi secara tak langsung sebagai tenaga pengajar yang mendedahkan pentingnya ketrampilan dan pengetahuan bagi sesama kaumnya untuk hidup sejajar dengan laki-laki, mereka merupakan lirik lagu : ”Pendekar Kaumnya Untuk Merdeka“.
Para pemimpin Gerwani terdiri dari kaum intelektual, cerdik pandai, pendidik maupun kaum aktifis buruh dan tani. Mereka telah menghimpun kaum perempuan untuk berjuang terhadap kesetaraan gender, penolakan terhadap poligami dan perlunya perempuan terlibat dalam proses politik merupakan beberapa agenda yang mereka usung, Aktifitas Gerwani punya nyali yang besar dan lantang menentang berbagai bentuk diskriminasi Gender yang kala itu masih menggejala, meneriakkan penentangan model sosial Patriarkhi yang menyelimuti relasi sosial di berbagai bidang. Pergerakan yang sangat Progresif ini senantiasa mewarnai percaturan politik tanah air di zaman Bung Karno berkuasa.
Gerwani juga menentang prostitusi, membela korban pemerkosaan dan berjuang menentang kerusakan moral yang diasosiasikan dengan dansa gila-gilaan dan musik ngak ngik ngok. Dipihak lain dengan sungguh-sungguh Gerwani memainkan perannya sebagai penjaga moral keluarga manipolis dan masyarakat secara menyeluruh. Mereka harus bekerja keras, belajar, tulus, sederhana dan gigih, optimistis akan hari depan sosialis gemilang yang menanti mereka. Dan yang paling membuat takut kaum konservatif ialah gambaran kader Gerwani dalam bentuk kombinasi ibu yang sadar politik dan patriot militant yang menantang kaum laki-laki di arena publik, dimana secara tradisonal menjadi wilayah laki-laki. Dalam perjalanan sejarahnya terbukti mereka berhadapan secara antagonistik dengan kekuatan konservatif yang begitu mendalam hingga membuat Gerwani kemudian terinjak-injak dengan cara yang diluar akal sehat manusia.
Semua akibat propaganda Orde Baru yang merasuk sampai pada jiwa manusia masyarakat Indonesia paling dalam, mengaitkan Gerwani sebagai komunis dengan fitnah PKI lalu dikaitkan dengan kekacauan yang dilambangkan dengan perilaku seksual yang buruk perempuan komunis. Pelestarian kekuasaan mereka ditopang oleh penciptaan ulang terus menerus perihal mitos binatang komunis yang sesat. Dalam hal ini fitnah dongeng lubang buaya ciptaan rezim Orde Baru sangat dipercaya oleh kalangan masyarakat luas. Wanita-wanita itu dituduh menari setengah telanjang di depan para jenderal. Sementara para komunis pria menyiksa para jenderal, para wanita menyayat kemaluan para pimpinan TNI AD. Malam kelam 1 Oktober itu pun dihabiskan dengan pesta seks. Gerwani dituduh turut menyiksa para Jenderal, Mereka difitnah melakukan mutilasi dan Kastrasi dengan di iringin Upacara Maut Tarian Harum Bunga Untuk Sang Jenderal Itulah propaganda Orde Baru soal Gerwani. Pemerintahan Soeharto menyebut mereka adalah penyiksa para Jenderal dan pelaku seks bebas.
Dampak dari pengakuan dan kabar bohong yang begitu cepat menyebar itu membuat aktifitas Gerwani berhenti total karena mereka di kaitkan terlibat dalam peristiwa Gestapu, para aktifis Gerwani di tangkap, di penjarakan tanpa melalui proses hukum dan tanpa tahu kapan mereka akan di lepaskan, berbagai macam siksaan fisik dan psikis menimpa mereka selama puluhan tahun, Kaum perempuan Gerwani tidak hanya mengalami penderitaan karena di tangkap, di tahan, di penjarakan, di buang, di siksa tetapi juga di telanjangi dan di perkosa bergiliran dan di lecehkan martabat kemanusiaannya, di hancurkan rumah tangganya, pendeknya mereka mengalami penderitaan luar biasa lahir dan batin
Sungguh nama baik Gerwani yang telah mengabdikan dirinya untuk Ibu Pertiwi dan Rakyat kecil umumnya sebagai kelanjutan dari cita-cita Kartini telah di nodai dan di rusak habis-habisan dengan fitnah jahat tiada tara, Stigma sebagai perempuan a-moral tak ber-Tuhan, bahaya laten, stigma khusus bagi Gerakan Wanita Indonesia, Organisasi Perempuan yang selalu di kaitkan dengan PKI tak pernah di klarifikasi. Stigma yang di ciptakan oleh suatu Rezim itu lantas seperti menjadi bagian dari tubuh. Stigma tarian harum bunga hanya propaganda rezim orde baru untuk menciptakan atmosfer histeria di seluruh Indonesia yang telah mendorong pembantaian lebih dari setengah juta orang dengan cara paling mengerikan, tanpa melalui proses pengadilan.
Apakah stigma itu harus di bawa sampai ke titik akhir hidup ketika perjuangan untuk menghapuskannya, bagaikan sepekat terowongan di dalam terowongan, di situ masa lalu bergeming di lorong waktu yang diam dan secercah sinar yang pernah muncul di ujung jauh terowongan kembali di telan kegelapan. maka dengan upaya bersama semua pihak yang peduli, terlebih kaum sejarawan dan aktifis perempuan, hari depan ini akan memberikan tempat yang layak dan bersinar terang bagi Gerwani dalam Sejarah Bangsa
Sumber :
http://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-pelarian-tiga-gerwani-dari-penjara-bukit-duri.html