Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Artikel Utama

Ikut Relawan: Bener-bener Rela, Wan?

9 Desember 2013   08:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:09 150 2

“Hari gini, mana ada makan siang gratis!” begitu pemeo yang sering saya dengar. Benar demikian? Boleh percaya boleh tidak, tapi di Belanda justru banyak orang-orang berpendidikan tinggi jadi relawan. Misalnya pengacara yang memberikan konsultasi yuridis bagi organisasi lingkungan, akuntan membantu menyelesaikan neraca tahunan sekolah musik atau konsultan yang menangani fusi dua teater remaja. Semuanya cuma-cuma!

Bahkan, sejumlah akademisi Belanda membuat laman atau forum khusus di internet sebagai wadah relawan, umpamanya Betrokken Tijd atau Yayasan Laluz. Kok mau sih? Kan orang Belanda terkenal pelit alias perhitungan?

Saya pun pernah bergabung dengan salah satu organisasi nirlaba itu. Bukannya nyombong lho. Gini-gini saya kan bekas anak kuliahan walaupundigelari PhD (Permanent Head Damage) oleh teman-teman. Hehe…Klise kedengarannya, tapi saya dan kawan-kawan yang ‘digandeng’ oleh situs itu menyebut alasan ‘uang itu penting tapi bukan segalanya’. Selain itu, kami pun cukup idealis dan yakin, jadi relawan itu sedikit banyak berguna bagi masyarakat.

2012 silam, karena saya sempat pengalaman sebentar jadi debt collector, saya ‘didaulat’ menolong menemani orang-orang yang akut punya problem hutang atau sanering. Saya membantu mereka merapikan administrasi hariannya, belajar tertib membayar rekening, dan disiplin berhemat. Minimal membantu meringankan beban di kepala mereka. Kerja suka dan rela begini memang tidak dikejar tenggat waktu, tapi ‘penderitaan’ orang lain itulah deadline­-nya. Lucunya, ‘klien-klien’ yang saya dampingi itu malahan curhat segala hal selain masalah finansialnya. Padahal, saya hanya relawan dan bukan petugas instansi profesional.

Jujur aja, sewaktu masih menetap di Indonesia dulu dan masih remaja saya paling malas disuruh kerja bakti ramai-ramai di sekitar rumah. Biasanya saya panggil Pak Ogah dan beri persenan ala kadarnya buat bersihkan got di RT 5 RW 3. Barangkali, makin bertambah umur, hasrat filantropis itu mulai muncul. Saya pun tak terlalu religius atau fanatik, tapi keinginan berbuat baik untuk sesama itu malah menggebu setelah saya ‘hijrah’ ke Belanda.

Pertama kali jadi relawan, pertengahan tahun 90-an di Negeri Kincir Angin. Waktu itu saya baru lulus gres dan masih kinyis-kinyis. Nah, sambil melamar sana-sini dan menunggu panggilan wawancara kerja, saya aktif di teater musik anak-anak. Saya mengajari remaja-remaja jalanan itu membaca not balok. Jadi, curriculum vitae sayatak kosong melompong dan terlihat pro-aktif di masyarakat. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Haha… Ketahuan deh belangnya.

Oya, tahun-tahun segitu belum zamannya media sosial, relawan sekaligus berfungsi untuk melebarkan jaringan atau networking. Sekarang pun, meski saya punya pekerjaan tetap, sekali-kali saya luangkan waktu buat membantu orang lain. Tak jarang, dari ‘kegiatan sosial’ ini malah dapat proyek berguna atau inspirasi dari relawan lain. Hitung-hitung membuka cakrawala dan mengikuti idealisme yang masih membara. Halah, bahasanya…

Di Belanda, yang kerap dicap individualis masyarakatnya, sebetulnya jadi ‘relawan dadakan’ itu lumrah kok. Bahkan, di sini dicanangkan Hari Relawan Nasional tiap Desember. Tak ketinggalan, anggota Istana Oranye dan tokoh-tokoh prominen pun ikut menyingsingkan lengan. Mungkin tebar pesona aja, namun saya rasa bisa ditiru inisiatifnya. Di lingkungan sekeliling pun, tetangga-tetangga saya tak sungkan membantu sesama. Contohnya tukang cat mempercantik pagar rumah ibu-ibu sepuh atau montir mau membetulkan sepeda tetangganya tanpa imbalan. Singkatnya, dimulai dari hal-hal sederhana dan anak-anak kecil dilatih pula sejak dini beritikad baik bagi sesama.

Adakah segi negatif jadi relawan? Pengalaman saya, ‘profesi’ relawan itu kadang malah lebih serius ketimbang pekerjaan bergaji bulanan. Relawan itu acapkali justru jadi ‘pikiran’ dan ‘beban’ tambahan. Kudu siap dan fleksibel mengatur waktu. Namanya juga relawan, semua berjalan sesuai ritme dan tempo sendiri. Tak ada paksaan… Seringkali, saya kurang sabar. Bagi Kompasianers yang berminat melatih tenggang rasa, ada baiknya mencoba jadi relawan. Pahala, Wan!

Salam volunteer!

***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun