Hari ini saya menyempatkan diri bermain ke sebuah istana kardus di Kawasan Nusa Dua, Jimbaran, Kabupaten Badung Bali. Tapi tunggu dulu, istana yang saya maksud bukan puri istana seperti di negeri dongeng yang megah dan mewah. Kebalikannya, istana yang saya kunjungi adalah sebuah gudang tempat penampungan pengepul kardus/kertas karton.
Di sini kita akan menemui tumpukan karton/kardus bekas hingga setinggi 4 meter. Awalnya saya begitu terkejut melihat sebuah gudang penampungan kardus begitu ramai di tengah kawasan wisata Nusa Dua. Tapi kekagetan saya tidak berhenti begitu saja. Karena rasa penasaran saya mencoba mencari tahu tentang usaha kardus bekas ini.
Usaha kardus bekas ini diusahakan pertama kali oleh seorang pemulung yang sangat giat bekerja. Namanya Pak Muhammad Syafei (almarhum). Dulu beliau sering mengumpulkan kardus bekas dari wadah buah-buahan yang dibuang begitu saja oleh warga Nusa Dua di bak sampah dekat rumahnya. Kardus yang dikumpulkan oleh Pak Syafei dalam sehari bisa mencapai 2 ton. Ini tidak mengherankan, karena warga Bali sering setiap hari membeli buah dalam junlah ton-tonan untuk dipakai sesaji dalam upacara sembahyang di Pura yang tersebar di Nusa Dua. Lama-kelamaan usaha ini berkembang. Pak Syafei membeli kardus dari pengumpul atau pemulung per kilonya Rp.1.200,- . Terkadang saat permintaan kardus sepi , Pak Syafei hanya mampu membayar Rp.500,- per kilo.
Usaha berjalan sudah hamper 20 tahun, hingga akhirnya usaha ini diteruskan anak Pak Syafei tertua. Kini usaha ini berjalan lancar dan bisa menghidupi sampai 50 pemulung. Dibantu dengan 8 karyawan buruh, Syafei Junior ( pewaris usaha ) bisa menghidupi ratusan orang dan memberi lapangan pekerjaan.
Usaha kardus ini bukan terhitung usaha yang mudah untuk dijalankan. Dengan bantuan 4 armada pick up yang siap menghantar kardus ke Surabaya dan Malang, banyak sekali hambatan yang dihadapi oleh Syafei Junior, baik hambatan internal maupun eksternal.
Yang paling berat dirasakan adalah hambatan internal seperti karyawan yang sering sakit, pulang kampung dan meninggalkan pekerjaan di istana kardus. Terkadang mereka sakit karena banyak debu yang mengotori paru-paru. Hingga pernah, Syafei Junior harus membawa buruhnya untuk dirawat di Rumah Sakit.
Hambatan lain dari luar adalah ombak yang tinggi di selat Bali, dan cuaca buruk membuat pengiriman kardus bekas ke Surabaya dan Malang menjadi terhambat. Bahkan pernah saat cuaca buruk sekali, hampir 1 minggu, tidak ada pengiriman. Terpaksa Syafei junior memutar otak dengan cara menjual kardus bekas di pabrik sekitar Tabanan dengan harga yang murah. “Daripada anak kami tidak makan, ini masih alternatif pahit yang terbaik.”, ujar Safei Junior.
Omzet sebulan dari usaha istana kardus ini mencapai hampir ratusan juta. Bayangkan bila dalam setiap hari istana kardus Bali mampu mengirim 6 sampai 10 ton ke Surabaya dan Malang. Maka bila dihitung dalam sehari bisa meraup penghasilan hampir 5 sampai 10 juta Rupiah sehari. Sebuah penghasilan yang fantastis untuk sebuah usaha.
Di saat negeri ini terguncang oleh banyaknya pengangguran tersembunyi alias sarjana tapi nganggur, justru usaha mandiri seperti inilah yang harusnya didukung penuh oleh pemerintah. Penghasilan memadai buat pekerja dan pemulung, ramah lingkungan dan tidak ada unsur KKN sedikitpun yang merugikan Negara. Terlihat mereka bekerja kasar dan keras, namun mereka adalah orang jujur dan mandiri.
Terlebih saat krisis moneter di tahun 1998-1999, sedikitpun mereka tidak mengalami guncangan. Usaha kardus bekas tetap berjalan, karena produksi kertas dan olahannya adalah produksi yang menyentuh hampir seluruh bidang kehidupan. Maka permintaan terus mengalir dan produksi harus dipenuhi. Maka penyuplai kardus tetap jalan terus. Ajaib memang, Inilah cermin kehidupan rakyat kecil Indonesia yang jernih, jujur dan lugas.
Salam Kompasiana
Denpasar, 05 Februari 2012