Judul tulisan ini diangkat dari judul presentasi penulis dalam seminar pendidikan yang bertajuk " Menjadi  Pendidik di Abad 21. Seminar yang diselenggarakan oleh Himadikon, FKIP Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh , Selasa 28 Februari 2023 berlangsung di ouditorium FKIP USK Banda Aceh, menghadirkan dua orang narasumber masing-masing penulis sendiri sebagai pengamat pendidikan dan Dr. Kismullah, S.Pd, M.app.Ling dari kalangan Kampus USK.
Penulis sendiri diberikan kesempatan untuk melakukan presentasi pertama dengan memberikan judul presentasi seperti di awak tulisan ini, " Guru Yang Memukau". Judul yang sebenarnya lebih cocok untuk judul sebuah artikel atau esai. Karena biasanya judul-judul makalah atau presentasi itu panjang-panjang, tidak hanya dua atau tiga kata, seperti Guru Yang Memukau itu. Ya, begitulah lazimnya, biar kelihatan ilmiah. Namun, di presentasi penulis ini lebih cenderung menggunakan judul yang pendek, mudah diingat dan terasa lebih eye catching. Begitu kata banyak penulis kondang yang sudah alang melintang di dunia persilatan tulis-menulis.
Nah, seperti itu. Bisa jadi itu adalah alasan-alasan penulis dalam memberikan judul. Namun, lebih jauh lagi sebenarnya judul mengandung makna bagi penulis, yang sekalian menjadi basis alasan dalam membuat judul presentasi. Judul yang sebenarnya menjawab pertanyaan banyak orang tentang menjadi guru atau Pendidik di abad 21. Seperti lazimnya orang bertanya seperti apa sosok guru ideal di era digital atau di abad 21 itu? Pertanyaan yang selaras dengan tema yang diangkat, yang menjadi jawaban yang hadir Sebelum orang bertanya.
Harus pula diingat bahwa , judul itu bukan lah sekadar itu, tetapi judul yang dibuat berlandaskan pada hasil amatan penulis kala melihat dan membaca segala fenomena dan realitas kekinian dalam masyarakat di tingkat lokal, nasional dan global terkait dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi saat ini.
Ya saat ini, tak dapat disangkal lagi bahwa perkembangan teknologi digital berlangsung begitu cepat atau pesat  dan masif. Perkembangan yang menyebabkan kita tercengang, terkagum-kagum dan seperti semakin tak terbendung dan mengantarkan Abad 21 ini sebagai abad baru dan sangat canggih atau sophisticated.  Sehingga tak ayal pula apa yang ditulis oleh John Naisbitt dan Patricia dalam bukunya Megatrends 2000 semakin dapat dan dirasakan dari kemajuan teknologi digital ini, gaya hidup masyarakat dunia juga berubah begitu pesat, bukan terjadi dengan berevolusi, bahkan dapat dikatakan revolusi. Teknologi membuat hidup semakin mudah, bergerak cepat dan murah. Seperti banyak dibicarakan atau ditulis para ahli sebagai abad dengan peradaban baru yang mencengangkan kita.
Ya, ini abad yang mengalami great shifting (pergeseran) atau perubahan dengan begitu cepat dan semua menjadi serba kompleks menyebabkan perubahan gaya hidup kehidupan masyarakat dunia pun bagai siang dan malam, mengalami shifting atau pergeseran secara masif ke dalam Platform bases. Semua berbasis teknologi menggunakan berbagai macam aplikasi dan platform, sehingga perkembangan dunia pendidikan di tanah air terseok-seok mengejar ketertinggalan dan harus mampu beradaptasi dengan kecepatan perubahan itu. Dunia pendidikan dipaksa dengan cepat beradaptasi agar tidak terlindas jauh oleh kemajuan teknologi digital. Mampukah dunia pendidikan menyeimbanginya?
Tak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi digital yang sedang terjadi saat ini  memaksa semua lembaga pendidikan harus bergerak cepat dan masif mengantisipasi segala macam dan bentuk dampak baik dan buruk dari kemajuan teknologi digital yang dapat mengancam eksistensi lembaga pendidikan dengan segala pirantinya. Dalam gelegar kemajuan teknologi informasi dan komunikasi ini, dunia pendidikan dituntut agar mampu menyiapkan peserta didik mampu beradaptasi, sehingga lembaga-lembaga pendidikan harus memiliki sosok guru-guru yang memukau. Namun sekali lagi kita bertanya, mampukah lembaga-lembaga pendidikan kita mengejar cepat dan pesatnya gerakan pengaruh teknologi digital yang sedang berlangsung?
Dengan mudah dapat kita jawab, bila kita mau amati segala fenomena dan realitas yang sedang berlangsung saat ini di dunia pendidikan secara keseluruhan menimbulkan kegalauan di hati kita. Mengapa demikian?
Jawabannya adalah dunia pendidikan kita saat ini masih sarat dengan masalahnya sendiri. Masalah-masalah klasik pendidikan seperti sarana dan prasarana pendidikan secara kuantitas dan kualitas masih kurang atau bermasalah. Masalah kuantitas dan kualitas guru yang masih kurang dan rendah, menjadi batu ganjalan berat dunia pendidikan kita berjalan beriringan dengan perubahan pesat akibat kemajuan teknologi era digital ini. Semakin mempriharinkan dan menggalaukan kita ketika melihat akar masalah Bangsa ini yakni rendahnya minat membaca yang bermuara pada rendahnya daya literasi Anak negeri.
Kita tak punya cukup alasan untuk menangkal berbagai hasil survey atau Penelitian yang mengatakan bahwa minat membaca, kemampuan literasi Anak negeri ini jauh lebih rendah dibandingkan negata-negara lain. Sayangnya Pemerintah kita hingga kini masih belum mampu meningkatkan kualitas pendidikan, termasuk kualitas guru kita. Â Celakanya, dalam hal kemampuan minat membaca dan kemampuan literasi, seperti bunga yang layu sebelum berkembang. Lebih dahulu padam minat membacanya, Sebelum sempat memuncak. Â Dengan kata lain, bahwa minat membaca generasi Bangsa yang sedang disemai dan belum tumbuh berkecambah, lalu mati tergilas oleh kemajuan teknologi digital. Minat membaca Bangsa Indonesia secara umum layu Sebelum sempat berkembang. Di saat bangsa-bangsa lain sudah sangat tinggi budaya baca mereka, bangsa kita yang baru memulai, langsung hilang minat membaca. Sangat berbahaya, bukan?
Menurunya minat membaca bukan saja terjadi di kalangan anak-Anak, tetapi juga guru dan orang tua. Padahal, orang tua dan guru sebagai pendidik  adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,mengajar, membimbing , mengarahkan , melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Lalu, kalau minat membaca saja rendah, bukankah anak-anak kita akan diajarkan oleh guru-guru yang galau? Bukankah di era digital saat ini sangat dibutuhkan hadirnya sosok guru yang memukau? Guru yang memukau biasanya adalah guru yang merdeka.