Dalam rapat paripurna DPRA pada hari Jum'at 2 November 2012 itu semua fraksi di DPRA menyetujui disahkannya rancangan"Qanun" yang sebelumnya sempat mengalami beberapa hambatan karena terjadi kesalah pahaman dibeberapa komunitas masyarakat Aceh ,yang menganggap "Qanun"suatu rancangan undang-undang bagi rakyat Aceh pesisirnya saja.Selain itu rancangan "Qanun" juga sempat mengalami tarik ulur antara DPRA dengan Pemerintah pusat di Jakarta.                                                                                                                                                                                                                       Namun demikian setelah DPRA bisa meyakinan pemerintah sehingga kekhawatiran sekelompok orang dari kumunitas nasionalis sekuler di Jakarta terhadap "Qanun"relatif hilang,dan akhirnya Qanun disaahkan oleh DPRA bagi landasan keberadaan "Wali Nanggroe " di daerah Aceh itu.Memang sampai sekarang juga masih terdapat sekelompok kecil masyarakat Aceh di kawasan Gayo Luas yang keberatan  dengan pengesahan "Qanun" tersebut.
Beberapa kelopok masyarakat Aceh di kawasan -kawasan tersebut masih menganggap "Qanun"itu bersifat  diskriminatif yang menurut mereka lebih menguntungkan  masyarakat asli Aceh yang bisa berbahasa Aceh dengan baik dan benar .Etni bangsa Aceh yang mereka masudkan itu ,adalah yang mendiami wilayah-wilayah pesisir timur bumi Iskandar Muda itu.Menurut mereka qanun mengabaikan etnis-etnis minoritas Aceh seperti Anuek Jamei, Gayo,Kluet,Singkil dan juga Simeulu,ujar Budiman salah seorang pengunjuk rasa itu.
Aksi protes mereka didasarkan kepada salah satu aturan yang terdapat dalam "Qanun"bahwa hanya orang Aceh yang dapat berbahasa Aceh dengan fasih yang berhak menjadi wali nanggroe,sementara mereka itu kurang memahami bahasa Aceh yang merupakan bahasa ibu mayoritas etnis bangsa Aceh tersebut.Karena itulah sehingga mereka merasa didiskriminasikan oleh pengesahan rancangan Qanun tersebut.
Padahal Lembaga Wali Nanggroe sebagai tindaka lanjut dari MOU Helsinki itu,sebagaimana dinyatakan pada butir 1.1.7 bahwa Lembaga Wali Nanggroe akan di bentuk dengan segala perangkat upara dan gelarnya. Dan dalam konteks ini Wakil Ketua DPRA, Amir Helmi mengatakan "Wali Nanggroe adalah seorang pemimpin yang bersifat personal dan independen yang memimpin Lembaga Wali Nanggroe",ujarnya.Jadi lembaga nanggroe itu lebih bersifat adat daripada lainnya,karenanya tidak perlu dirisaukan kedepan Lembaga Wali Nannggroe akan di bawa-bawa akeranah politik.
Oleh sebab itu bagi masyarakat Aceh di kawasan Gayo Luas,Aceh Singkil dan lainnya tidak perlu mencurigai dan mengkhwatirkan Lembaga Wali Nanggroe itu akan merupakan siasat tersebung bagi etnis bangsa Aceh untuk kepentingan-kepentingan politik.Keberadaan Lembaga Wali Nanggroe itu sebagai tindak lanjut MOU Helsinki yang disaksikan oleh masyarakat internasional termasuk utusan-utusan dari  PBB,EU sehingga sangat kuat dan kokoh kekuatan hukumnya.
Dalam hal ini maka masyarakat Aceh yang sebelumnya mengancam akan membentuk propinsi baru di kawasan Gayo Luas jika Qanun tetap disahkan itu ,tidak perlu melanjutkannya karena sesuai MOU Helsinki bawah batas teritorial Aceh itu hanya seperti sekarang ini,tidaka lebih dan juga tidak kurang.Selamat atas berlakauanya Qanun,semoga saja Aceh akan menjadi Negeri Aceh Darussalam yang sejahtera dan damai sentosa.Amin.