Malam telah sepenuhnya melingkupi ibukota ketika ucapan seorang teman terdengar di telinga saya.
"Gue salut banget sama mereka yang bisa nabung. Gimana ceritanya ya?". Dalam hati saya menjawab, mungkin orang-orang tersebut tidak pernah tahu tentang hedonisme. Lalu otak saya menimpali,
"Masih mending kalo hedon trus duit sendiri! Kalo hasil nilep?". Masyarakat Indonesia tentunya belum lupa dengan 'fenomena' pegawai Citibank Melinda Dee maupun Gayus Tambunan yang sukses menorehkan sejarah dalam birokrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Walaupun kasus mereka berbeda namun keduanya menjadi sama di mata masyakarat ketika dilabeli dengan sebutan
nilep duit orang. [caption id="attachment_150697" align="aligncenter" width="300" caption="Kring Pajak 500200, Siap Layani 24 Jam"][/caption] Sejak kemunculan kasus Gayus, siapapun yang mendengar kata pajak pasti akan langsung dikaitkan dengan sosok Gayus. Masyarakat modern yang mulai gerah terhadap birokrasi pemerintahan, menjadi makin tidak percaya lagi terhadap kinerja pegawai DJP yang berada dibawah Kementerian Keuangan. Masyarakat menjadi enggan mengeluarkan rupiah yang telah susah payah dikumpulkan jika harus digunakan untuk membayar pajak. Kasus Gayus membawa cerita lain terhadap lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK) ini merupakan tempat Gayus dan ribuan pegawai pajak lainnya ditempah. PTK ini berada di bawah Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan, dengan program studi yang diselenggarakan yaitu Program Diploma Bidang Keuangan (Prodip Keuangan). PTK ini pun meawarkan spesialisasi yang beragam, bukan hanya pajak semata. [caption id="attachment_150699" align="aligncenter" width="300" caption="Kampus STAN, masih menjadi pilihan..."][/caption] Beberapa teman yang bekerja sebagai pegawai DJP sering mengeluhkan pandangan masyarakat yang memandang sama antara mereka dan sosok Gayus. Jangankan seorang pegawai pajak, lulusan STAN lainnya pun cukup disorot walaupun mereka bekerja pada instansi lain dan bukan sebagai pegawai pajak.
"Eh, kamu lulusan STAN kan? Kenal dong sama Gayus!" atau
"Eh, lulusan STAN nih, temenan ma Gayus!". Dalam sebuah perkuliahan kelas karyawan, yang banyak diikuti oleh lulusan STAN yang sedang dalam proses ekstensi, sang dosen sempat menyinggung tentang kasus Gayus. Lalu sang dosen bertanya,
"Ada yang dari STAN ga di sini?". Beberapa mahasiswa pun mengangkat tangan menunjukkan identitas mereka sebagai alumni dari perguruan yang dimaksud. Dan dosen pun berkata,
"Temennya Gayus nih!". Entah dengan maksud bercanda atau maksud lainnya, sang dosen pun telah memberi label 'Gayus' terhadap mahasiswa-mahasiswa tersebut. Lain lagi cerita dosen berbeda dengan pola yang hampir sama. Dosen bertanya tentang pekerjaan setiap mahasiswa yang mengikuti kelasnya. Ketika beberapa mahasiswa menjawab bahwa mereka bekerja di 'kantor pajak', dosen pun menimpali serupa cerita pertama,
"Temennya Gayus nih!". Mungkin cerita-cerita di atas cukup menghibur bagi kita. Atau malah sangat lucu. Namun, mungkin tidak begitu dengan para mahasiswa yang merupakan lulusan STAN dan pegawai pajak. Bisa saja mereka merasa di-
bully. Kejujuran dalam bekerja yang mereka terapkan sering dipandang sebelah mata karena dianggap 'temennya Gayus'.
"Bete gue, lagi-lagi si dosen X ngomongin gayus trus ujung-ujungnya nyerang kita!", ujar seorang teman, lulusan STAN dan bukan pegawai pajak. "Padahal gue udah anggap angin lalu aja omongan tuh dosen. Tapi kalo tiap minggu diulang-ulang, panas juga nih kuping! Emang kita gayus apa?", balas teman lain, pegawai pajak di Gatot Subroto. "Iya, apalagi sekarang banyak berita PNS muda yang punya rekening gendut!" tambah temannya yang lain, sesama pegawai pajak. "Bener, dianggap kita semua duitnya kayak gayus kali ya? Mana punya rekening gendut gue?!! Kuliah sekarang aja gue ongkosin sendiri dari gaji. Belum uang kost, makan, transport, ngirim ke kampung, dll..." jelas seorang teman lain, lulusan STAN dan juga bukan pegawai pajak. Dan pada akhirnya, seorang temen yang lain, masih lulusan STAN, berkata, "Yaudah, biarin aja tuh dosen kek, siapa kek, mo ngomong macem-macem. Tunjukin aja kinerja yang baik. Apa yang kita tabur, itu yang kita tunai. Sesuatu yang bagus dimulailah dari diri sendiri. Belum tentu yang ngomong ini itu, kalo berada di pihak kita, sanggup dengerinnya kan? Lagian apapun yang dikerjakan secara jujur, pasti halal."
KEMBALI KE ARTIKEL