Malam adalah pelaminan kata,
Yang menikah dengan rima dan melahirkan puisi dan elegy yang bersenyawa.
.
Seonggok rindu merenggek manja tuannya,
Lupa ini hari ketiga. Deadline,
Ada janji di otak kiri,
Duh, rindu sibuk menghakimi.
.
Aku ingin menjumpai serupa gapai bintang,
Hingga kelak dadaku penuh akan riang,
Bukan wan prestasi,
Atas kebangaan,
Atas prestasi.
.
Adapun resonasi cinta,
Masih kudekap dan kupenjarakan di balik bilik jendela,
Teruntuk tuanku yang kini tanpa sapa,
Manyun serta kecut, asam mukanya.
.
Kanvas biru pekat membentang,
Namun senyummu tak mengembang,
Kemana lagi kan kucari tenang?.
.
Tuan,
Ini sebungkus duka cita,
Kubawa jauh-jauh untukmu,
Dari meriahnya pasar luka.
.
Caci aku semaumu,
Karena aku meminjam tanpa izin kesunyianmu.
.
Aku hanya tak mau bermuka dua,
Biar saja jika banyak ocehan tak sedap,
Jika nuraniku telah mantap.
.
Kaulah puisi sang curahan hati,
Yang ku tulis dengan segenap kerinduan dan air mata langit.
Mengantar labuhnya mataku,
Hingga lelap memetik mimpi,
Sendiri dan aku diam-diam pergi.
.
Pergi mencari gedung yang akan kusinggahi demi sesuap nasi,
Pergi ke tuan baru, teman kerja baru,
Yang tak ada dendam kesumat menjatuhkan harga diri dikemudian hari.
.
.