Didalam artikel ini, penulis tidak akan membahas tentang perhelatan politik yang tengah panas terjadi. Namun, penulis tertarik untuk sedikit menganalisis isi pidato dari Pak Prabowo, yang akan ditabrakkan dengan Teori Linguistik, terkhusus Teori dalam Semiotika.
Dalam pidato ini, terselip banyak pesan yang kuat tentang demokrasi, kepemimpinan, juga harapn untuk bangsa. Jika kita telaah dari kacamata Teori Tanda dari Charles Sanders Peirce, pidato ini memiliki cara unik dalam penyampaiannya.
Pidato dibuka dengan pepatah: "Kalau ikan menjadi busuk, busuknya mulai dari kepala." Kalimat ini sederhana, tapi maknanya dalam. Analoginya jelas: pemimpin adalah kepala dari sebuah sistem. Kalau pemimpin tidak becus, maka seluruh sistem yang ia pimpin akan rusak. Frasa ini mudah diingat karena menggambarkan situasi dengan visual yang kuat, membuat pendengar langsung paham pentingnya pemimpin yang bersih dan bertanggung jawab. Ini adalah contoh bagaimana representamen, yaitu pepatah tentang ikan, mengarahkan kita pada objek, yaitu kepemimpinan, dan menghasilkan interpretant berupa makna bahwa pemimpin harus memberi teladan.
Pesan lain yang kuat adalah tentang pemimpin yang berani menghadapi hal yang tampak mustahil. Di sini, pidato ini mengingatkan kita bahwa tantangan besar seperti kemiskinan dan ketidakadilan bukanlah alasan untuk menyerah. Sebaliknya, pemimpin yang baik harus mencari jalan keluar, bukan alasan. Pesan ini menanamkan optimisme bahwa sebuah bangsa bisa mengubah "tidak mungkin" menjadi "mungkin" dengan keberanian dan kerja keras. Lagi-lagi, tanda di sini sederhana tetapi sangat bermakna, menghubungkan representasi keberanian dengan tugas besar seorang pemimpin.
Pidato ini juga menyentuh soal demokrasi. "Demokrasi kita harus demokrasi yang santun," katanya. Bukan demokrasi yang penuh caci maki atau adu domba. Pesan ini sangat relevan, terutama di zaman sekarang di mana perbedaan pendapat sering kali menjadi alasan untuk saling menyerang. Demokrasi yang diinginkan dalam pidato ini adalah demokrasi khas Indonesia, yang mengakar pada budaya kita: menghormati, bekerja sama, dan menjaga persatuan. Ini mengingatkan kita bahwa demokrasi tidak hanya soal kebebasan berbicara, tetapi juga soal tanggung jawab menjaga harmoni.
Ada satu bagian yang sangat emosional dalam pidato ini: "Wong cilik iso gemuyu" atau "orang kecil bisa tersenyum." Frasa ini sederhana, tetapi langsung menyentuh hati. Ia menggambarkan visi sebuah bangsa di mana rakyat kecil, mereka yang selama ini sering terlupakan, bisa hidup bahagia tanpa beban. Maknanya jelas: kesejahteraan rakyat adalah tujuan akhir dari semua upaya pemerintahan. Pesan ini menghubungkan harapan dengan kenyataan sehari-hari yang dialami masyarakat.
Pidato ini juga menegaskan pentingnya kebebasan rakyat: bebas dari ketakutan, kemiskinan, dan penderitaan. Ini bukan hanya sekadar cita-cita, tetapi sebuah tolok ukur apakah sebuah bangsa benar-benar sudah merdeka. Kebebasan dalam arti yang luas ini menunjukkan bahwa kemerdekaan bukan sekadar status politik, tetapi kondisi di mana rakyat merasa aman dan sejahtera.
Lewat tanda-tanda yang sederhana tetapi kaya makna, pidato ini mengajak kita untuk merenung tentang apa yang sebenarnya kita butuhkan sebagai bangsa. Dengan menggunakan teori tanda Peirce, kita bisa melihat bagaimana pesan dalam pidato ini disampaikan dengan cara yang efektif. Pesannya tidak hanya menggugah, tetapi juga menginspirasi. Bahwa pemimpin harus menjadi teladan, demokrasi harus dijalankan dengan santun, dan rakyat kecil harus menjadi prioritas. Semua ini menjadi pengingat bahwa cita-cita besar hanya bisa dicapai dengan kerja sama, keberanian, dan kepemimpinan yang tulus.