Padang hijau membentang di pegunungan bukit barisan dan teluk krueng jaya. Matahari membiaskan cahayanya yang kemuning ke tiap dedaunan yang rimbun di pohon dekat puncak bukit. Aroma hujan sisa semalam masih menguap dari rerumputan pagi menyiratkan kehangatan, cahaya matahari memeluk tiap jengkal pepohonan yang kedinginan sejak malam oleh hujan yang sangat deras. Tidak jauh dari pohon rindang yang terik oleh kehangatan matahari, terdapat sebuah makam yang diteduhi saung kecil yang menyirakatkan kesederhanaan. Makam sosok perempuan yang terlahir di tengah peraduan suara kelewang, dentuman suara Meriam dan senapan dalam situasi perang terpanjang, perang aceh (berakhir tahun 1903). Puncak bukit yang memberikan lawatan pemandangan dataran banda aceh dari ketinggian itu seolah membawa sesiapa saja yang menyapu matanya ke sekeliling bukit itu ke dalam lautan memori sejarah perang panjang yang mengendap di tanah. Tanah yang hari ini masih dipijak dan telah berganti masa hingga hampir 5 abad lamanya. "Kini kape belanda kafir itu telah minggat dari banda Aceh!", barangkali begitu kalimat yang akan terlontar Laksamana Malahayati dan 3000 orang pasukan inong balee (janda) yang berhasil membunuh jenderal belanda, Cornelis De Houtman itu pada 1599.
KEMBALI KE ARTIKEL