Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Dimanakah arti ikhlas?

30 Oktober 2010   01:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:59 338 0
[caption id="attachment_308161" align="alignleft" width="300" caption="diambil dari google.com"][/caption] Dua puluh enam oktober 2010, wedus gembel keluar lagi dari perut merapi, setelah tahun 2006 merapi beraktifitas, tak ada undangan ataupun pemberitahuan secara jelas, tiba-tiba muncul begitu saja. Dampak dari “batuknya” merapi di sleman Yogyakarta, banyak korban jiwa yang berjatuhan, diantaranya seorang juru kunci merapi yang 4 tahun lalu selamat dari semburan merapi, berbalaskan ketenaran, dan menjadi buah bibir media di seluruh langit Indonesia. Mbah marijan, itulah sapaan sehari-hari seorang kuncen merapi, di siklus 4 tahunan pergerakan merapi, sekarang berliau menjadi salah satu korban dari hujan abu panas yang dikeluarkannya.

Innalilahi wainnalilahi rojiun, semua orang menyayangkan kejadian alam tersebut, tapi itulah takdir ilahi yang seharusnya diimani. Dari media-media yang telah menayangkan kejadian tersebut, seyogianya seorang manuasia seharusnya ada perasaan kemanusiwiannya, mengulurkan tangan adalah tindakan yang pantas ketika saudaranya sedang ditimpa musibah. Memberi, berdoa itu salah satu sebuah uluran tangan yang manusiawi.

Dengan sifat kemanusiaan tersebut banyak orang yang ingin membantu baik langsung maupun tidak langsung, ada juga yang hanya ada niat didalam hatinya ingin membantu langsung ke lokasi kejadian, tetapi keadaan yang tidak memungkinkan berangkat kesana, mungkin karena ada kewajiban lain, ataupun bila kewajiban tersebut bisa ditinggalkan, mungkin saja tidak mempunyai kemampuan dalam menolong seseorang disana, ataupun karena fisiknya tidak memungkinkan dalam menolong langsung di lokasi kejadian karena menolong orang tanpa kita tidak bisa menolong diri sendiri itulah tindakan bodoh. Itu semua sekiranya akan menjadi pahala sendiri bagi mereka-mereka yang ingin membantu, tapi tidak bisa, ada juga yang hanya bisa menitipkan materi untuk disalurkan kesetiap para korban. Meskipun sepatah doa yang dipanjatkan dengan ikhlas untuk keselamatan korban letusan gunung merapi, itu lebih baik daripada hanya berpangku tangan menghadap TV tanpa ada rasa sedih terhadap kejadian yang memilukan hati ini.

Relawan pun terjun pada H+1 dari kejadian keluarnya awan panas dari dalam perut merapi, belum setengah hari dari ekspedisi menjadi relawan satatus di jejaring sosial facebook sudah beredar, ditambah dengan upload-an foto yang diambil dari hape yang berkamera tentunya, dianggap wajar, karena yang menjadi relawannya asebagian para pemuda yang senang berbagi informasi kepada jejaring sosial, walaupun kita tahu semua informasi pada zaman sekarang bisa diketahui oleh semua orang sampai ke daerah terpencil sekalipun, yaitu dengan TV. Ajakan untuk menjadi relawan pun tidak hanya masuk dalam pesan singkat, sekarang sudah bisa menyebar lewat FB, sebuah info keadaan di lokasi kejadian, ajakan yang menekankan untuk menjadi relawan, sampai menyayangkan dan kekecewaan kepada teman-temannya yang tidak bisa hadir dalam kelompok relawan tersebut, itu semua ikut menjadi sebuah status facebook. Tanpa menafikan pentingnya sebuah informasi yang ditulis didalam jejaring sosial facebook, haruskah dihilangkan etika dalam menulis status didalam media jejaring sosial? Kira-kira apabila kita bisa mengetahui kadar keikhlasan, adakah keikhlasan didalam relawan yang seperti itu? Dengan memicingkan teman yang tidak ikut dalam kegiatan kemanusiaan. Karena bila keikhlasan itu sudah tidak tersentuh lagi, apa yang diharapkan dari menjadi relawan? Beberapa keping logam uang pun tidak akan menjadi harapan. Maka setidaknya berbuat baik kepada orang lain tanpa menyakiti orang lain pun itu sangat cukup dalam misi kemanusiaan tersebut. Mudah-mudahan menjadi bahan renungan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun