Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Surat Terbuka Untuk Walikota Semarang Hendrar Prihadi

13 Maret 2015   10:34 Diperbarui: 4 April 2017   18:19 1239 1
Assalamualaikum Wr Wb

Selamat malam bapak Walikota yang saya hormati, mohon maaf jika mengganggu waktu bapak yang tentu sangat tersita untuk mengurusi segala urusan yang menyangkut kepentingan kami, rakyat Semarang.

Langsung saja Pak Wali, saya bunga bukan nama sebenarnya Pak. Yang jelas saya warga Semarang dan sampai saat ini, alhamdulillah saya masih belajar di salah satu perguruan tinggi negeri di kota yang bapak pimpin. Orang tua saya pekerja swasta biasa, beranak tiga, dengan saya yang paling ragil. Oya, pada Pemilihan 2010 lalu, bapak, ibu dan dua kakak saya semua memilih bapak yang berpasangan dengan Pak Soemarmo. Sayang sekali waktu itu saya belum punya hak pilih, kalau punya sudah dapat dipastikan saya akan memilih bapak juga. Soalnya waktu itu saya lihat hanya bapak berdua yang kelihatan ganteng di baliho hehehe..

Kemarin malam, saya berkesempatan memandang wajah ganteng bapak secara langsung ketika pertemuan dengan para seniman di Taman Budaya Raden Saleh. Saya datang dua kali lho pak. Waktu pertemuan pertama Minggu malam, saya juga datang. Terimakasih sudah diijinkan memandang wajah ganteng Pak Wali dua kali.

Kemarin malam itu saya duduk sama di barisan depan bapak bersama teman-teman dari Forum Teater Kampus Semarang. Saya datang bersama beberapa teman dari teater kampus saya dan mengikuti hingga selesai sampai kaki saya pegal dan kesemutan.

Begini pak. Saya kemarin datang dengan hati senang. Senang karena melihat sosok pemimpin seperti bapak yang tidak hanya mengandalkan kegantengan semata. Tapi juga berani, cerdas dan menguasai persoalan. Saking cerdasnya, saya melihat bapak sudah sangat paham situasi dan mempersiapkan acara pertemuan dengan seniman itu dengan baik.

Saya tahu kok pak, kalau bapak sudah mempersiapkan "pasukan" untuk mendukung bapak malam itu. Mereka mungkin tidak bicara, tapi cukup disebar di berbagai penjuru, berdiri atau duduk dan sesekali berteriak menandakan setuju dengan ucapan bapak. Setiap kali bapak selesai bicara, mereka akan bertepuk tangan dengan keras dan lama. Kehadiran mereka cukup membuat atmosfir forum berpihak kepada bapak. Kehadiran mereka cukup membuat kami, anak-anak muda ini takut untuk bersuara.

Atmosfir forum malam itu jelas berbeda dengan pertemuan Minggu malam. Waktu itu saya merasakan forum sangat merdeka. Tidak ada celetukan dan tepuk tangan yang mengintimidasi. Semua bebas berbicara atas nama keyakinan dan hati nurani atas nasib TBRS yang katanya akan digusur menjadi Trans Studio.

Meski kemudian bapak datang di sepertiga akhir acara, pada Minggu malam itu forum tetap terjaga independensinya. Forum sebenarnya sudah bisa langsung memutuskan sikap untuk menolak kehadiran Trans Studio di TBRS. Tapi kemudian bapak tiba-tiba datang. Mungkin bapak mengutus orang untuk mengawasi situasi untuk segera mengambil langkah yang diperlukan. Mungkin sih pak, hanya Bapak dan Tuhan yang tahu.

Kehadiran bapak saya akui mengejutkan. Tak ada yang mengira karena tanpa pemberitahuan. Saya lihat di akun twitter bapak katanya tidak akan hadir, hanya hadir di hari Selasa. Tapi bagaimanapun kehadiran bapak kami apresiasi karena itu menunjukkan gentleman-nya Walikota Semarang. Karena kehadiran bapak pula, forum kemudian menghormati untuk tidak segera mengambil keputusan. Bagaimana bisa dibilang tidak menghormati, karena di saat semua orang yang berbicara sudah menyatakan menolak Trans Studio, bapak yang baru datang tiba-tiba bisa bilang bahwa forum telah terbelah dan makanya tidak bisa mengambil keputusan. Meski kami sangat tahu bapak sedang memainkan strategi penguluran waktu, tapi karena yang melakukan itu seorang Walikota, maka kami hormati saja. Kami ikuti skenario bapak untuk menciptakan diskusi lanjutan pada selasa malam.

Dan ternyata seperti yang sudah saya tulis di atas itu Pak Wali, forum kedua sudah bapak "persiapkan dengan baik". Selain pasukan, saya yakin banget bapak juga menyiapkan beberapa orang yang disetting memecah forum.

Saya langsung paham karena Pak Wali langsung membelokkan arah diskusi menjadi mulai dari awal lagi. Padahal kan sudah dijelaskan pada pernyataan sikap yang dibacakan di awal bahwa diskusi Selasa adalah kelanjutan forum Minggu malam.

Bahwa seniman menyusun pernyataan sikap untuk memenuhi keinginan pak Wali sendiri ketika forum Minggu malam. Waktu itu Pak Wali menyatakan bahwa forum masih terbelah sehingga harus mengambil satu putusan untuk dibawa ke forum Selasa. Masih ingat nggih pak?

Nah, kenapa setelah pembacaan pernyataan sikap bahwa seniman, Dewan Kesenian Semarang dan warga TBRS menolak Trans Studio di TBRS, bapak malah berbelok. Seharusnya, diskusi dimulai dari situ. Tapi Pak wali malah melempar kepada masyarakat dan seniman lain. Saya paham, lemparan itu salah satunya ditujukan pada orang-orang yang sudah Pak Wali siapkan. Satu orang saja sudah cukup kok pak. Satu orang yang cukup mengatakan bahwa "jangan asal menolak, dinegosiasikan dulu agar tercapai win-win solution". Saya ingat yang berbicara begitu pak Jawahir Muhammad. Meskipun setelah beliau ada banyak orang lagi yang berbicara menolak Trans Studio di TBRS, satu pendapat dari Pak Jawahir sudah cukup untuk membuat bapak menarik kesimpulan bahwa forum masih terbelah lagi. Skenario itu diperkuat dengan pernyataan bapak-bapak berbadan tinggi berbaju putih (saya tidak tahu namanya) itu yang meminta agar forum segera selesai dan dilanjutkan dengan membentuk tim perwakilan untuk berdiskusi lanjutan dengan bapak untuk membahas soal Trans Studio ini. Begitu bapak itu selesai bicara, Pak Wali langsung menyatakan setuju.

Skenario ini semakin terlihat jelas karena Pak Wali tidak membahas keseluruhan pernyataan sikap seniman yang terdiri atas 10 poin itu. Pak Wali malah berulang kali mengatakan bahwa penggusuran TBRS adalah isu yang dihembuskan oknum karena menjelang pilihan walikota. Lha oknum siapa pak? Melempar isu oknum ke hadapan forum menurut saya sama saja Pak Wali memecah belah warga yang sudah datang dengan niat baik untuk kemajuan semarang.

Oya sebelum lupa pak Wali. Mohon maaf saya menulis ini dengan tidak menunjukkan identitas yang lengkap. Saya hanya mahasiswi pak, saya anggota salah satu teater kampus di semarang dan sering ke TBRS menonton pertunjukan teater. Kenapa saya tidak menunjukkan identitas, terus terang karena takut. Bagaimana tidak, suasana Minggu malam lalu, meski terkesan santai tapi jelas mencekam. Kehadiran pasukan Pak Wali malam itu sudah cukup membuat saya ngeri jika harus menampakkan diri. Tapi saya harus menulis pak, intimidasi halus ini harus ada yang membuka agar lain kali lebih berhati-hati. Karena ternyata apa yang Pak Wali sebut sebagai silaturahmi dan pertemuan terbuka ini tak lain hanyalah panggung sandiwara.

Lanjut nggih Pak Wali. Pak Walikota mengatakan bahwa tidak pernah mengatakan akan menggusur TBRS. -Siapa yang bilang begitu, saya tidak pernah- kata bapak. Bagi saya itu pernyataan lucu pak. Ya iyalah bapak ganteng..., gak mungkin bapak komentar di media -Saya akan gusur TBRS-. Gila apa pak.

Kalau bapak menyimak, di awal, dalam pernyataan sikap seniman sudah dijelaskan bahwa isu itu muncul karena penandatanganan MoU antara Trans dengan pemkot. Isi MoU dari draft yang saya baca di media sosial menyatakan bahwa lahan yang disiapkan untuk Trans Studio adalah di Komplek TBRS seluas 8,9 hektare. Dari situ saja sudah jelas darimana soal penggusuran TBRS itu muncul.

Dan yang pertama menggulirkan soal isu Trans Studio di TBRS kan media pak. Headline koran Suara Merdeka edisi 7 Maret 2015 halaman 21 mencantumkan judul besar -Trans Studio Pilih Wonderia dan TBRS. Masak wartawan disebut oknum provokator pak?

Dalam pertemuan itu bapak berulang kali menyebutkan bahwa yang akan dipakai hanya Wonderia. Tapi bapak tidak menyebutkan bahwa di dalam MoU tertera jelas bahwa yang disiapkan adalah lahan Komplek TBRS seluas 8,9 hektare. Saya ulang dua kali kalau mungkin bapak lupa. Betul bahwa Wonderia masih dalam komplek TBRS, tapi kalau bicara 8,9 hektare itu adalah luas lahan TBRS dan Wonderia to nggih pak.

Oya, bapak tentu masih inget kalau pada forum Minggu malam, bapak mengatakan bahwa Trans Studio membutuhkan lahan minimal 10 hektare. Kalau Komplek TBRS saja hanya 8,9 hektare jelas belum cukup menampung Trans Studio, apalagi hanya Wonderia. Ini logika saya pak, logika mahasiswi, maaf kalau berbeda dengan logika bapak.

Karena penasaran, berapa sebenarnya lahan yang dibutuhkan Trans Studio, saya browsing lewat hape jadul saya di mbah google dengan kata kunci -Trans Studio-. Nah saya menemukan artikel ini pak. Saya pilih dari website Koran Kontan dari grup Kompas yang tentunya bisa dipercaya. Monggo diklik di sini http://industri.kontan.co.id/news/ct-kembangkan-20-kawasan-terpadu.

Dan benar ternyata dari penuturan pak Chaerul Tanjung bahwa beliau akan mengembangkan 20 kawasan terpadu, salah satunya di Jawa Tengah. Ketika mencari lokasi untuk Trans Studio, Pak Chaerul menetapkan syarat bahwa lokasi itu harus di tengah kota dengan luas lahan 10 hektare. Kenapa sangat luas, karena tidak hanya Trans Studio saja yang dibangun. Di Kawasan itu akan dibangun juga hotel dan mall. Kereeen...

Jadi saya kok tidak yakin ya pak kalau Pak Chaerul akan mau bangun Trans Studio kalau tanahnya hanya sekecil Wonderia.

Saya kira bukan hanya saya yang punya ketidakyakinan seperti itu. Bahkan mungkin juga bapak sendiri tidak yakin? Ya to pak? Nah, kalau tidak yakin, kenapa bapak kok berusaha meyakinkan kami? Bagaimana bisa bapak dengan lantang mengatakan bahwa Trans Studio hanya dibangun di lahan Wonderia? Apa jangan-jangan Trans Studio-nya di Wonderia tapi tempat parkirnya di TBRS?

Apa bapak hanya ingin menyenangkan kami saja, hanya ingin meredam gejolak, hanya ingin meninabobokkan kami agar tidak lagi bangun dan berteriak-teriak Save TBRS? Dan setelah tertidur (lagi), yang membangunkan kami adalah buldozer-buldozer yang meluluhlantakkan gerbang dan gedung TBRS. Ketika itu terjadi, kami hanya bisa memandang dari kejauhan, karena mendekat pun tersapu debu dari material yang beterbangan, dan teriakan pun tertelan dentang debum pemasangan tiang pancang.

Kalau tidak pak, untuk apa gejolak Save TBRS diredam? Apa untuk kepentingan bapak agar tidak menghambat pencalonan walikota mendatang? Bapak tentu ngeri melihat ratusan orang, dari kalangan seniman, mahasiswa, pelajar, pedagang dan warga sekitar TBRS berbondong-bondong datang ke taman budaya ini, berbaris menentang keputusan bapak. Bapak mungkin jeri memandangi banyaknya mention ke akun twitter bapak, yang semuanya mengecam pembangunan Trans Studio di TBRS.

Tapi sebagai pemimpin cerdas, bapak seharusnya sudah bisa membaca situasi. Bahwa penandatanganan MoU dengan Trans, dengan keterangan lokasi jelas -jelas menunjuk Komplek TBRS, itu bakal memancing gelombang penolakan. Sebagai politikus mumpuni yang notabene ketua partai, bapak tentu sudah hafal bahwa penandatanganan MoU itu bakal menjadi kontraproduktif untuk pencalonan kedua Pak wali.

Tapi kenapa masih dilakukan?

Atau bapak terpaksa?

Iya, jangan-jangan bapak terpaksa ya. Tapi siapa yang memaksa? Jika benar ada yang memaksa berarti ini bukan keinginan bapak. Ibarat wayang kulit yang setiap jumat kliwon digelar di TBRS, ada sebuah lakon berjudul "Lahirnya Trans Studio Semarang". Yang saya tidak tahu, siapa-siapa sajakah yang pantas jadi wayangnya. Lebih-lebih saya juga tidak tahu siapakah dalang yang memainkannya.

Tapi sebentar, bapak jawab dulu. Pak wali terpaksa atau tidak. Bapak Walikota itu wayang apa dalangnya Trans Studio di Semarang?

Duh maaf, sungguh sangat kurang ajar jika saya memaksa bapak menjawab. Siapalah saya ini pak. Saya hanya mahasiswi, tidak punya posisi penting di organisasi kampus, tidak pernah berprestasi di ajang putri-putrian, bahkan ditinggalkan pacar karena menurutnya saya tidak membanggakan.

Mungkin saya hanya bisa menunggu jawaban bapak lewat waktu. Wayang atau dalang kah bapak ini akan terjawab dari kelanjutan Trans Studio ini. Mudah saja kok pak. Jika Trans Studio dibangun hanya menggunakan lahan Wonderia, atau tidak di Wonderia tapi di tempat lain, atau bahkan tidak jadi dibangun sama sekali maka bapak adalah dalang.

Karena dalang lakon itu bisa memutuskan skenario sesuai keinginannya sendiri. Apa keinginan bapak? Ya sesuai dengan apa yang sudah bapak lontarkan di forum Minggu malam. Bahwa bapak berikhtiar mendatangkan investor untuk kemajuan kota ini. Bahwa Trans Studio diundang ke sini untuk menarik wisatawan berdatangan dan mengerakkan ekonomi rakyat. Bahwa jika jadi dibangun, di Komplek TBRS, Trans Studio hanya menempati lahan bekas Wonderia. Bahwa TBRS akan tetap dipertahankan sesuai keinginan seniman. Bahwa bapak akan tetap berkomitmen membela seniman, berkomitmen pada pembangunan seni budaya, dan memajukan kota dengan perspektif kebudayaan.

Tapi jika nantinya Trans Studio tidak hanya di Wonderia tapi menjebol tembok penyekat dan menggerus tanah, pohon, dan air di TBRS, jelaslah bahwa Bapak Walikota bukan dalang. Karena dalang tidak bisa diatur oleh lakon yang ia ciptakan. Jelaslah, bahwa Bapak Walikota hanya wayang. Karena tak ada wayang yang mampu menentukan nasib dan takdirnya sendiri. Semua wayang tentu manut titah sang dalang.

Jika itu terjadi, maka tak ada harapan untuk kota ini. Kalau walikota saja adalah wayang, lalu apalah rakyat seperti saya ini? Mungkin di kota ini kami adalah batang pisang yang bisa dengan sesuka hati dilukai tancapan-tancapan cempurit wayang oleh sang dalang.

Demikian surat saya yang agak panjang ini, bapak. Sengaja saya tulis semua karena jarang-jarang saya nulis surat buat pak Walikota. Nggak usah repot-repot mengirim surat balasan pak, karena saya juga tidak mengharapkan.

Wassalamualaikum Wr Wb

Salam hormat

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun