Mohon tunggu...
KOMENTAR
Analisis

Dampak Algoritma pada Sosial Media

31 Januari 2025   14:25 Diperbarui: 31 Januari 2025   14:25 47 0

Teknologi telah berkembang dan semakin mempengaruhi dan mempunyai manfaat kehidupan manusia. Popularitas media sosial meningkat seiring berjalannya waktu, dimana individu dapat menciptakan jejaring sosial digital untuk melakukan interaksi dan berbagi informasi serta berita maupun opini dengan efektif dan efisien. Media sosial hadir sebagai perpaduan arus komunikasi dengan perkembangan teknologi. Media sosial adalah platform online yang digunakan orang untuk membangun jejaring sosial atau hubungan sosial dengan orang lain yang memiliki minat, aktivitas kelompok, atau aktivitas pribadi atau interaksi pada karir yang sama (Muhamad Ayub, 2022).
Media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari di era digital ini. Dengan jutaan pengguna aktif di seluruh dunia, algoritma yang mengatur bagaimana informasi disajikan dan diakses di platform ini memiliki dampak yang signifikan, baik positif maupun negatif. Algoritma media sosial, yang dirancang untuk meningkatkan pengalaman pengguna melalui personalisasi konten, telah memfasilitasi keterhubungan antar individu dan kelompok. Algoritma media sosial telah menjadi elemen yang tak terpisahkan dari pengalaman pengguna di berbagai platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan TikTok. Algoritma ini dirancang untuk mempersonalisasi konten, mengoptimalkan interaksi pengguna, dan meningkatkan keterlibatan, tetapi mereka juga menimbulkan berbagai implikasi yang kompleks (Silvanie dkk, 2014). Namun, di balik manfaat tersebut, terdapat tantangan serius yang muncul, seperti penyebaran informasi yang salah dan berita palsu. Oleh karena itu, penting untuk memahami kedua sisi dari dampak algoritma media sosial serta upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak negatifnya.
Algoritma dalam Media Sosial
Algoritma media sosial adalah serangkaian langkah atau proses yang digunakan oleh platform mediasosial untuk memfilter dan mengatur informasi

yang ditampilkan kepada pengguna berdasarkan preferensi, interaksi, dan data lainnya. Algoritma ini bertujuan untuk menyajikan konten yang relevan dengan minat pengguna, sehingga meningkatkan pengalaman pengguna dan keterlibatan (engagement) dengan platform tersebut.
Beberapa jenis algoritma yang digunakan dalam media sosial antara lain:
1. Algoritma Penyaringan Konten yaitu, Algoritma ini bertugas untuk memfilter dan memilih kontenmana yang akan ditampilkan kepada pengguna berdasarkan perilaku sebelumnya. Hal ini dilakukan dengan menggunakan teknik pemrosesan data dan pembelajaran mesin untuk memahami apa yang pengguna suka atau minati. Misalnya, di platform seperti Instagram, algoritma menyaring gambar atau video yang muncul di linimasa pengguna berdasarkaninteraksi sebelumnya, seperti likes, komentar, atau jenis konten yang sering ditonton.
2. Algoritma Rekomendasi: Algoritma ini digunakan untuk memberikan rekomendasi konten,teman, atau halaman kepada pengguna berdasarkan data yang dikumpulkan, seperti apa yang sering dilihat atau dibagikan. Di platform seperti YouTube, algoritma ini menganalisis video yang ditonton sebelumnya untuk menyarankan video-video lain yang relevan bagi pengguna. Rekomendasi ini dibuat dengan bantuan teknik AI, seperti pembelajaran mesin dan pengenalan pola.
3. Algoritma Pengurutan (Ranking Algorithm): Pada platform seperti Facebook dan Twitter, algoritma pengurutan bertugas menentukan urutan konten yang muncul di linimasa pengguna. Algoritma ini memperhitungkan berbagai faktor, seperti waktu unggah, interaksipengguna dengan konten tertentu, dan tingkat keterlibatan lainnya. Hal ini bertujuan untukmemastikan bahwa konten yang paling relevan dan menarik bagi pengguna akan tampil terlebih dahulu. Algoritma ini dirancang untuk meningkatkan pengalaman pengguna, baik dengan menyaring konten yang relevan, memberikan rekomendasi yang tepat, maupun memastikan bahwa pengguna tetap terlibat dalam platform tersebut. Namun, algoritma media sosial juga sering kali dikritik karena menciptakan

filter bubble, di mana pengguna hanya terpapar pada informasi yang sesuai dengan pandangan atau minat mereka, yang pada akhirnya membatasi keberagaman informasi ( Anugrah, 2024)
Dampak Positif Algoritma Media Sosial Terhadap Perilaku Pengguna
Algoritma media sosial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pola konsumsi informasi pengguna (Andini, 2024). Dengan memanfaatkan data dan preferensi pengguna, algoritma ini dapat menyajikan konten yang lebih relevan dan menarik, sehingga mendorong pengguna untuk mengkonsumsi berita atau informasi yang sesuai dengan minat mereka (Silvanie dkk, 2014). Penelitian menunjukkan adanya kecenderungan konsumsi berita yang bersifat selektif dan personalisasi, di mana algoritma memainkan peran penting dalam menentukan jenis konten yang muncul di beranda pengguna (Anugrafianto, 2023). Meskipun demikian, pendekatan ini juga dapat menciptakan efek echo chamber, di mana pengguna hanya terpapar pada informasi yang sesuai dengan pandangan mereka, sehingga mengurangi keragaman perspektif yang diterima (Silvanie dkk, 2014).
Selain mempengaruhi pola konsumsi informasi, algoritma media sosial juga berkontribusi dalam pembentukan opini dan preferensi pengguna (Cahyono, 2016). Dengan menyajikan konten yang disesuaikan, algoritma dapat mempengaruhi cara pandang pengguna terhadap isu-isu tertentu, baik positif maupun negatif. Misalnya, algoritma dapat meningkatkan interaksi pengguna terhadap konten tertentu, seperti berita atau opini politik, yang pada akhirnya dapat membentuk preferensi dan sikap pengguna terhadap topik tersebut (Aryantini, dkk, 2024). Namun, dampak ini juga menimbulkan tantangan, seperti penyebaran informasi palsu dan hoaks, yang semakin mudah terdistribusi dalam lingkungan yang dipengaruhi oleh algoritma (www.gramedia.com).
Efek algoritma pada interaksi sosial dan hubungan antar individu juga sangat penting untuk dicermati (Cahyono, 2016). Selain penyampaian konten yang dipersonalisasi, algoritma media sosial memfasilitasi koneksi dan
                           
pembangunan komunitas di antara pengguna. Dengan merekomendasikan teman, grup, dan halaman berdasarkan minat dan interaksi yang sama, algoritma ini membantu memperluas jaringan sosial pengguna, sehingga memungkinkan mereka terhubung dengan individu yang memiliki pemikiran yang sama. Kemampuan untuk menjaga hubungan jarak jauh dan waktu telah direvolusi oleh platform yang digerakkan oleh algoritma, sehingga memudahkan orang untuk terlibat satu sama lain dan membangun komunitas yang mendukung (www.evergreen-innovationcamp.io). Lebih jauh lagi, saat pengguna berinteraksi lebih sering dengan koneksi mereka, algoritma menyempurnakan rekomendasi mereka, membina hubungan yang lebih dalam dan mendorong percakapan yang bermakna yang berkontribusi pada pertumbuhan pribadi dan kesadaran sosial (www.antaranews.com).
Selain itu, algoritma media sosial mempromosikan beragam perspektif dan penemuan konten, yang memperkaya pengalaman pengguna. Dengan menganalisis keterlibatan dan umpan balik pengguna, algoritma ini dapat memperkenalkan pengguna pada konten yang mungkin tidak sesuai dengan preferensi mereka, sehingga memperluas wawasan mereka. Paparan terhadap berbagai sudut pandang ini tidak hanya meningkatkan kekayaan interaksi daring tetapi juga mendorong pengguna untuk mengeksplorasi ide dan konsep baru. Sifat dinamis penemuan konten yang difasilitasi oleh algoritma membantu menciptakan basis pengguna yang lebih terinformasi dan berpikiran terbuka, yang pada akhirnya mengarah pada komunitas daring yang lebih bersemangat dan beragam (Silvanie dkk, 2014). Saat pengguna terlibat dengan berbagai konten yang lebih luas, mereka cenderung mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang berbagai perspektif, yang menumbuhkan empati dan koneksi di dunia yang semakin terpolarisasi. Meskipun algoritma dapat meningkatkan keterhubungan melalui interaksi yang lebih intens di platform media sosial, dampak negatifnya adalah penurunan interaksi secara tatap muka dan hubungan yang lebih dangkal di dunia nyata[8]. Pengguna mungkin menjadi lebih terpaku pada layar dan mengabaikan hubungan interpersonal yang lebih dalam, sehingga mengurangi
       
  kualitas interaksi sosial (Silvanie dkk, 2014). Hal ini menciptakan paradoks di mana pengguna merasa lebih terhubung secara online, tetapi pada saat yang sama, mengalami jarak emosional dalam hubungan yang nyata.
Dampak Negatif Algoritma Media Sosial
1. Filter Bubble dan Echo Chamber
Fenomena filter bubble ini pertama kali dikemukakan oleh Eli Pariser, seorang aktivis internet dan penulis buku. Ia mengemukakan gagasan ini pada sebuah seminar TEDTalks yang diselenggarakan di California pada tahun 2011 dan mengatakan bahwa filter bubble adalah "dunia informasi milik setiap orang, yang unik dan bergantung bagaimana perilaku orang tersebut di Internet". Sebenarnya algoritma ini terdengar biasa saja dan tidak berbahaya, bahkan cenderung membantu pengguna dalam mencari dan menemukan konten yang mereka sukai di internet. Sayangnya, algoritma semacam ini justru dapat mengisolasi penggunanya terhadap berita yang terjadi diluar gelembung informasi yang mereka miliki, sehingga pada akhirnya, justru algoritma ini tidak dapat membuat penggunanya berkembang atau mengetahui informasi yang lebih luas karena algoritma sistem pencari maupun platform media sosial yang mereka gunakan secara tidak "terlihat" memblok informasi yang mereka justru butuhkan.
Algoritma media sosial cenderung menyajikan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna, sehingga dapat menciptakan "filter bubble" di mana seseorang hanya melihat informasi yang sejalan dengan pandangan mereka. Hal ini dapat memperburuk polarisasi masyarakat karena mengurangi paparan terhadap sudut pandang yang berbeda. Algoritma ini bisa menyebabkan pikiran kita terbiasa dimanjakan dengan konten kesukaan yang telah membuat kita nyaman, sehingga pada akhirnya membuat orang jadi menutup mata akan dunia diluar topik tersebut. Atau paling tidak, terlambat menyadari bahwa ada topik penting yang seharusnya jadi perhatian kita, namun algoritma ini malah membatasi hal tersebut. Hal tersebut diakui pula oleh Sunstein (2007), ia berargumen bahwa berkat sistem internet yang seperti itu, orangorang dapat
   
bergabung kedalam kelompok yang memiliki pandangan dan nilai yang sama, serta secara tidak langsung memisahkan pengguna terhadap informasi yang bertentangan dengan kesukaan mereka. Filter bubble sama halnya dengan filter non-transparan yang digunakan oleh algoritma sehingga membatasi pengguna dalam memilih. Sehingga hal tersebut mengakibatkan rusaknya kebebasan berpikir, berdiskusi, dan bertindak yang perlu diperhatikan sebagai upaya mengembangkan pemikiran individu. Kebebasan berpikir menciptakan individu yang kreatif dan rasionalitas harus ditanam dan dimiliki oleh setiap orang. Hilangnya kemandirian berpikir yang disebabkan oleh keterbatasan filter menjadi penyebab keberagaman opini dan perspektif yang tidak diperhatikan (Wulandari, dkk, 2021).
Dilansir dari GCFLearn (2019), echo chamber atau ruang bergema adalah adalah lingkungan di mana seseorang hanya menemukan informasi atau pendapat yang mencerminkan dan memperkuat pendapat mereka sendiri. Jika ditarik ke sudut pandang yang lebih luas, sebenarnya hubungan antara filter bubble dan ruang bergema tersebut terjadi layaknya efek domino. Algoritma akan memberi pengguna topik yang mereka sukai (sesuai dengan like, klik, search, comment, dan share yang dilakukan pengguna sebelumnya), lalu mengumpulkannya dengan pengguna lain yang memiliki opini atau topik kesukaan serupa. Ketika mereka sudah berada pada satu lingkup yang sama, maka hal tersebut sudah menjadi cikal bakal fenomena echo chamber.
Fenomena echo chamber akan menjadi nyata ketika mereka mengemukakan pendapat mereka secara terus menerus, dan mereka percaya bahwa itu benar, padahal apa yang mereka kemukakan hanya berputar-putar saja di lingkup mereka sendiri. Mirisnya, sistem bahkan membantu mereka untuk menghilangkan atau menyembunyikan topik yang bertentangan dengan apa yang mereka sukai (Wulandari, dkk, 2021).
2. Penyebaran Misinformasi dan Hoaks

Karena algoritma memprioritaskan konten yang menarik perhatian, informasi yang menyesatkan atau hoaks sering kali mendapatkan eksposur tinggi. Ini dapat menyebabkan penyebaran berita palsu yang membahayakan masyarakat. Menurut informasi dari kominfo.go.id, terdapat sekitar 800.000 situs yang menyebar informasi palsu dan ujaran kebencian di Indonesia. Fenomena penyebaran informasi palsu (hoaks) merupakan konsekuensi negatif dari era keterbukaan, di mana hal ini dapat menciptakan perpecahan dan permusuhan antara masyarakat karena sulitnya membedakan informasi yang benar dan salah. Informasi saat ini sering disebarkan melalui media sosial yang mudah diakses oleh publik. Namun, kemudahan ini juga memicu masalah karena informasi atau berita sulit difilter dengan baik. Oleh karena itu, tidak ada redaksi yang dapat mempertanggungjawabkan penyebaran informasi di media sosial karena setiap orang dapat dengan mudah menyebarluaskan informasi melalui transaksi data media sosial.
Menurut survei Mastel pada tahun 2019, sebanyak 14.7% dari 1.116 responden mengakui menerima hoaks lebih dari sekali sehari, sementara 34.6% menerima hoaks setiap harinya, 23.5% menerima hoaks seminggu sekali, dan 18.2% menerima hoaks sebulan sekali[3]. Oleh karena itu, pemahaman dan penanganan terhadap konsekuensi psikologis dan sosial dari peran algoritma dalam penyebaran hoaks di media sosial menjadi sangat penting (Mohammad Fatih, dkk, 2024)
Penyebaran hoaks melalui media sosial diperkuat oleh algoritma yang dirancang untuk meningkatkan keterlibatan pengguna, tanpa memperhatikan akurasi informasi. Algoritma ini menciptakan lingkungan di mana informasi yang sensasional, termasuk hoaks, lebih mungkin menjadi viral karena menarik lebih banyak interaksi. Filter bubble dan echo chamber yang dihasilkan oleh algoritma ini membuat pengguna terperangkap dalam lingkaran informasi yang memperkuat pandangan mereka sendiri, sehingga sulit bagi mereka untuk melihat perspektif yang berbeda atau mengidentifikasi informasi yang salah (Mohammad Fatih, dkk, 2024)

3. Kecanduan Media Sosial
Berikut ini adalah beberapa cara algoritma berkontribusi terhadap kecanduan media sosial:
a. Pengguliran Tanpa Akhir: Algoritma memuat konten baru secara terus-menerus, menciptakan pengguliran tanpa batas yang membuat pengguna ketagihan.
b. Rekomendasi yang Dipersonalisasi: Dengan menganalisis data pengguna, algoritme menyarankan konten, halaman, dan grup yang sesuai dengan minat pengguna, sehingga lebih sulit untuk meninggalkannya.
c. Pemberitahuan dan Peringatan: Algoritma mengirimkan pemberitahuan berkala mengenai like, komentar, dan pesan baru, yang menarik pengguna kembali ke platform.
d. Takut Ketinggalan (FOMO): Algoritma menciptakan rasa FOMO dengan menyorot konten dan acara yang sedang tren, sehingga mendorong pengguna untuk tetap terhubung (trulaw.com).
Algoritma dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin. Notifikasi, scrolling tanpa akhir, dan konten yang dipersonalisasi dapat menyebabkan kecanduan, yang berdampak buruk pada kesehatan mental.
4. Masalah Privasi dan Keamanan Data
Pengumpulan data oleh platform media sosial memungkinkan mereka memahami preferensi pengguna dengan sangat detail. Namun, ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang privasi dan keamanan data. Masalah ini sering dihadapi oleh pengguna internet secara keseluruhan salah satunya media sosial. Kebocoran data pribadi atau informasi sensitif yang tidak disengaja dapat berdampak negatif seperti eksploitasi akun, spam, atau kerugian material. Banyak pengguna media sosial yang memiliki kesadaran dan serius menghadapi permasalahan terkait kebocoran data pribadi atau informasi sensitif secara online.

Namun, hanya sekitar 30% dari total populasi orang dewasa di Amerika Serikat yang benar-benar mengambil tindakan nyata untuk melindungi privasi mereka, seperti melakukan perubahan pengaturan privasi di platform media sosial. Dampak negatif penggunaan media sosial terhadap privasi dan keamanan data adalah pelanggaran yang terkait dengan pencurian data digital yaitu 1) ancaman, penghinaan, dan kekerasan seksual, 2) penyebaran data pribadi, foto dan data peminjaman, 3) penggunaan data KTP atau identitas orang lain untuk melakukan pinjaman online atau aktivitas yang dapat merugikan pemilik identitas tersebut (Rahmawati, dkk, 2023).
5. Pengaruh Negatif pada Kesehatan Mental
Eksposur terhadap konten yang berlebihan, terutama yang berkaitan dengan standar kecantikan yang tidak realistis atau kehidupan yang tampak sempurna serta keterpaparan terhadap informasi negatif atau tidak realistis., Hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan makan dan rendahnya harga diri pada remaja yang merasa tidak memenuhi standar kecantikan yang ditetapkan oleh media (Panggalo, dkk, 2024). Pesan-pesan negatif, komentar yang merendahkan, atau perundungan online dapat meningkatkan risiko depresi, kecemasan, dan bahkan pemikiran untuk bunuh diri pada remaja yang menjadi korban.
Solusi Dalam Mengahadapi Dampak Negatif Algoritma Media Sosial
Untuk mengurangi dampak negatif algoritma media sosial, beberapa langkah dapat diambil, antara lain:
1. Meningkatkan Literasi Digital
Pengguna harus lebih kritis terhadap informasi yang mereka konsumsi dan berbagi. Peningkatan literasi digital bagi audiens media sosial adalah suatu keharusan dalam era teknologi ini. Melalui pemahaman terhadap privasi, pengguna dapat menjaga keamanan informasi pribadi mereka dengan lebih
     
baik. Selain itu, kemampuan untuk menilai informasi, membedakan antara berita palsu dan valid, menjadi keterampilan kritis yang krusial. Etika online juga perlu ditekankan untuk menciptakan lingkungan digital yang sehat, di mana pengguna berkomunikasi secara hormat dan sadar akan dampak tindakan online. Manajemen waktu dan kontrol terhadap konsumsi media sosial juga menjadi bagian penting dalam menjaga kesejahteraan mental. Dengan memperkuat literasi digital, audiens media sosial dapat mengoptimalkan pengalaman online mereka, menjadi pengguna yang cerdas, kreatif, dan bertanggung jawab (Melati Budi Srikandi, dkk, 2023).
Ada tiga konteks dalam pendekatan literasi digital. Pertama, konteks proteksi yang memandang bahwa pengguna internet (users), terutama anakanak dan remaja rentan terpapar konten negatif sehingga ruang daring harus diproteksi sedemikian rupa untuk mengontrol arus informasi dan penggunaan internet agar tidak menyimpang dari aturan. Dewasa ini, Indonesia menganut pendekatan ini sehingga berbagai regulasi mengenai UU ITE mengatur jalan dan perputaran roda ruang daring yang ada di Indonesia. Dengan adanya internet positif, pemblokiran konten judi dan pornografi, hingga UU mengenai hoaks menjadi sorotan pemerintah akhir-akhir ini. Kedua, dalam konteks pendekatan instrumentalis menekankan pada penguasaan kemampuan teknis dalam menjelajah ranah dunia maya. Dan, konteks ketiga adalah pendekatan pemberdayaan yang memandang bahwa internet adalah lapak untuk memberdayakan penggunanya sesuai kebutuhan masing-masing. Pada pendekatan pemberdayaan ini pengguna internet diberikan hak kebebasan mengakses internet berdasarkan kepentingan mereka sesuai kebutuhan masing-masing. Diharapkan bagi pengguna internet untuk lebih memanfaatkan media digitalnya pada hal-hal yg berunsur kreativitas, kognitif, dan edukatif sehingga tidak perlu ada aturan ketat yang meregulasi arus dan penggunaannya. Akan tetapi, relevansi dalam pendekatan pemberdayaan hanya bisa diimplementasikan di masyarakat yang sadar dan memiliki literasi digital yang kuat. Pengguna internet harus memiliki

kemampuan melakukan konfirmasi dan pemeriksaan ulang dalam mempertimbangkan akuntabulitas dan akurasi data, serta membaca konten berita dengan skeptis (juga kritis) dan tidak langsung menelan mentah-mentah informasi yang disajikan (Meilinda, dkk, 2020).
2. Regulasi yang Lebih Ketat
Pemerintah dan platform media sosial perlu menerapkan kebijakan yang lebih ketat terkait misinformasi dan privasi data. Pemerintah juga harus memperkuat transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan informasi. Mereka harus terbuka tentang bagaimana keputusan dibu at, bagaimana data dikumpulkan dan digunakan, serta bagaimana mereka menanggapi hoaks dan propaganda politik. Transparansi ini penting untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Perusahaan teknologi dan media sosial juga memiliki tanggung jawab besar dalam mengatasi krisis demokrasi di era digital. Mereka harus meningkatkan transparansi dalam kebijakan mereka, memperkuat kontrol atas konten yang dipublikasikan di platform mereka, dan melindungi data pribadi pengguna. Langkah-langkah ini dapat membantu menjamin bahwa platform- platform digital menjadi lingkungan yang lebih aman dan lebih sehat bagi semua pengguna (Firman Gea, 2023).
Serta perlu ada komitmen yang kuat dari semua pemangku kepentingan untuk melindungi integritas demokrasi di era digital. Ini mencakup komitmen untuk mematuhi standar etika dan prinsip demokratis dalam semua kegiatan politik dan komunikasi, serta untuk bekerja sama dalam mengatasi tantangan yang dihadapi dalam era digital dengan semangat saling percaya dan kolaborasi. Dengan mengambil langkah-langkah ini secara bersama-sama, kita dapat membangun dunia digital yang lebih demokratis, inklusif, dan berdaya bagi semua.
Selain itu, pengembangan teknologi anti-cyberbullying harus diimplementasikan, dengan teknologi yang dapat mendeteksi dan mencegah

cyberbullying serta pelecehan online. Promosi keseimbangan penggunaan sosial media juga penting, dengan menggalakkan program yang mendorong penggunaan jejaring sosial secara seimbang dan sehat, serta memberikan dukungan bagi mereka yang mengalami kecanduan. Penyempurnaan algoritma untuk diversifikasi informasi juga diperlukan, dengan mengembangkan algoritma yang mampu memberikan informasi yang lebih beragam dan tidak hanya berdasarkan preferensi pengguna, untuk menghindari pembentukan "filter bubble" (Afif, 2024).
3. Pengaturan Algoritma yang Lebih Transparan
Pengaturan algoritma yang lebih transparan sangat penting untuk memastikan keadilan, privasi, dan akuntabilitas dalam penggunaan teknologi. Platform harus menyediakan penjelasan yang jelas dan mudah dipahami mengenai cara kerja algoritma mereka, termasuk data yang digunakan, proses pengolahan, serta faktor yang memengaruhi keputusan algoritmik. Selain itu, pengguna harus diberikan kontrol lebih besar terhadap bagaimana data mereka diproses, misalnya dengan opsi untuk menyesuaikan pengaturan privasi atau memilih keluar dari proses tertentu. Transparansi juga dapat ditingkatkan melalui audit dan pengawasan independen guna mengidentifikasi serta mengurangi potensi bias dalam algoritma. Pengungkapan secara terbuka mengenai bias algoritmik dan upaya yang dilakukan untuk mengatasinya menjadi langkah penting dalam membangun kepercayaan publik. Lebih lanjut, platform harus memberikan pemberitahuan yang jelas kepada pengguna tentang bagaimana algoritma memengaruhi pengalaman mereka, seperti dalam hasil pencarian atau rekomendasi konten. Dengan cara ini, algoritma bisa lebih transparan dan bikin ekosistem digital jadi lebih adil dan bertanggung jawab.
4. Promosi Konten Edukatif
Promosi konten edukatif sangat penting dalam menciptakan lingkungan digital yang lebih informatif dan bermanfaat bagi pengguna. Platform harus lebih proaktif dalam menampilkan dan merekomendasikan konten yang

mendukung peningkatan literasi, keterampilan, serta wawasan pengguna di berbagai bidang. Algoritma dapat dioptimalkan untuk memberikan prioritas lebih tinggi pada konten yang berbasis ilmu pengetahuan, pelatihan keterampilan, dan pembelajaran yang kredibel. Selain itu, kolaborasi dengan institusi pendidikan, pakar, serta kreator konten berkualitas dapat membantu memastikan bahwa informasi yang disajikan relevan dan dapat dipercaya. Untuk meningkatkan daya tarik, promosi konten edukatif juga bisa dikemas dalam format yang lebih interaktif dan menarik, seperti video pendek, infografis, atau gamifikasi pembelajaran. Dengan cara ini, platform bisa ikut berperan dalam ningkatin kualitas informasi yang dikonsumsi masyarakat dan ngebantu bikin dunia digital jadi lebih positif dan bermanfaat.
5. Mendorong Interaksi Sosial yang Sehat
Agar interaksi di media sosial tetap sehat, penting banget buat jaga keseimbangan, terutama buat kesehatan mental dan emosional. Salah satu caranya adalah dengan ngatur waktu main media sosial supaya nggak kebablasan dan tetap bisa fokus sama aktivitas sehari-hari. Platform juga bisa bantu dengan fitur kayak pengingat waktu, mode fokus, atau analisis aktivitas biar pengguna lebih sadar sama pola pemakaian mereka. Selain itu, konten yang positif dan membangun, kayak diskusi yang sehat, komunitas dengan minat yang sama, atau kampanye anti-cyberbullying, bisa bikin lingkungan digital lebih nyaman dan aman. Kerja sama dengan ahli kesehatan mental dan edukator digital juga penting supaya makin banyak orang sadar akan pentingnya keseimbangan antara dunia nyata dan dunia digital. Dengan cara ini, media sosial bukan cuma tempat buat ngobrol atau hiburan, tapi juga bisa mendukung kesehatan dan kehidupan pengguna dalam jangka panjang.

 Daftar Pustaka :
Astried Silvanie, dkk. (2024). Tinjauan Komprehensif tentang Dampak Algoritma Media Sosial. Madani : Jurnal Ilmiah Multidisipline. 2(8), 189-195.
 Andini, A. T. (2024). Analisis Algoritma Pemrograman Dalam Media Sosial
 Terhadap Pola Konsumsi Konten.Jurnal Arjuna: Publikasi Ilmu
 Pendidikan, Bahasa Dan Matematika, 2(1), 286-296.
 Anugrafianto, T. R. (2023). Analisis Dampak Media Digital terhadap Pola
 Konsumsi Berita Generasi Milenial di Indonesia. Amerta Jurnal Ilmu
 Sosial dan Humaniora, 3(3), 21-25.
 Cahyono, A. S. (2016). Pengaruh media sosial terhadap perubahan sosial
 masyarakat di Indonesia. Publiciana, 9(1), 140-157.
 Aryantini, P. T., Pramana, G. P., Erviantono, T., & Duarte, E. F. B. (2024). Peran
 Media Sosial Dalam Pembentukan Opini Publik Politik: Studi Kasus
 Kampanye Pemilu 2024. Triwikrama: Jurnal Ilmu Sosial, 5(5), 1-11.
 Media Sosial: Pengertian, Asal, hingga Dampak Positif dan Negatifnya.
 Diperoleh January 31, 2025, dari www.gramedia.com
 Ayub, M. (2022). Dampak Sosial Media Terhadap Interaksi Sosial Pada Remaja:
 Kajian Sistematik. Jurnal Penelitian Bimbingan Dan Konseling, 7(1).
 Media sosial: Pengertian, jenis, hingga dampak positif dan .... (n.d.) Diperoleh
 January 31, 2025, dari www.antaranews.com
  Dampak Algoritma Media Sosial Terhadap Pola Perilaku .... (n.d.) Diperoleh
 January 31, 2025, dari www.evergreen-innovationcamp.io
  Wulandari, V., Rullyana, G., & Ardiansah, A. (2021). Pengaruh algoritma filter
 bubble dan echo chamber terhadap perilaku penggunaan internet. Berkala
 Ilmu Perpustakaan dan Informasi, 17(1), 98-111.
 Anugrah, M. D. (2024). Peran Teknologi AI dalam Mengembangkan Algoritma
 Media Sosial: Tantangan dan Peluangnya. Jurnal komunikan, 3(2), 80-
105.
 Fatih, M., Santoso, S., Widodo, H. R. P., Pratomo, S. A., Febrinazahra, M.,
 Ananda, D. P., & Nurjanah, N. (2024). ANALISIS TEORI KEBENARAN
 PENGETAHUAN DAN DAMPAK ALGORITMA TERHADAP
 PENYEBARAN HOAKS DI MEDIA SOSIAL. JTIK (Jurnal Teknik
 Informatika Kaputama), 8(2), 177-186.
 https://trulaw.com/social-media-mental-health-lawsuit/social-media-addiction-
  accelerated-by-algorithms/
  Rahmawati, D., Aksana, M. D. A., & Mukaromah, S. (2023, November). Privasi
 Dan Keamanan Data Di Media Sosial: Dampak Negatif Dan Strategi
 Pencegahan. InProsiding Seminar Nasional Teknologi Dan Sistem
 Informasi (Vol. 3, No. 1, pp. 571-580).

 Panggalo, I. S., Arta, S. K., Qarimah, S. N., Adha, M. R. F., Laksono, R. D., Aini,
 K., ... & Judijanto, L. (2024). Kesehatan Mental. PT. Sonpedia Publishing
 Indonesia.
 Meilinda, N., Malinda, F., & Aisyah, S. M. (2020). Literasi digital pada remaja
 digital (Sosialisasi pemanfaatan media sosial bagi pelajar Sekolah
 Menengah Atas). Jurnal Abdimas Mandiri, 4(1).
 Gea, F. (2023). Krisis Demokrasi Di Era Digital: Tantangan Dan Solusi Dalam
 Pengelolaan Informasi. literacy notes, 1(2).
 Afif, D. A., Ferina, A. T., Fahmi, A., Albab, M. U., & Nurmiati, E. (2024).
 TANTANGAN ETIS DALAM PENGGUNAAN JEJARING SOSIAL: A
 SYSTEMATIC LITERATURE REVIEW. Jurnal Perangkat Lunak, 6(3),
 400-404.
 Srikandi, M. B., Suparna, P., & Haes, P. E. (2023). Audiens Sebagai Gatekeeper
 Pada Media Sosial.Perspektif Komunikasi: Jurnal Ilmu Komunikasi
 Politik dan Komunikasi Bisnis, 7(2), 179-192.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun