Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Hidup Harmoni dengan Bencana dan Peningkatan Daya Saing Masyarakat

8 Desember 2011   16:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:40 246 0
[caption id="attachment_147348" align="aligncenter" width="640" caption="setelah awan panas meluluhlantakkan desa"][/caption]

Dingin pagi menggigit tulang. Badan sesekali menggigil untuk menghasilkan panas tubuh melawan hawa beku. Dingin ini terasa lebih menyiksa, terutama bagi orang pesisir seperti aku yang tidak terbiasa dengan angin gunung.

Apalagi pagi ini terasa lebih cepat datang setelah semalaman begadang. Terdengar sandal-sandal kayu mengenai bebatuan jalan. Kelotak-kelotak, bunyi terompah mereka menuruni jalan yang belum diaspal. Mereka sedang menuju surau di dusun Kinahrejo, Lereng Merapi, untuk salat Subuh.

Kuangkat tubuhku yang tertidur di lantai. Sambil menahan dingin, kugosok-gosok kedua telapak tangan untuk menghasilkan panas. Tidak berhasil! Masih juga dingin.

Kupaksakan saja kaki berjalan ke luar rumah kayu ini. Melangkahkan kaki di jalan menurun menuju surau kecil di bawah. Lenguhan sapi terdengar di kiri jalan. Sapi-sapi milik warga yang menyediakan susu segar untuk dijual pemiliknya setiap hari. Beberapa menit berjalan, sampailah aku di surau kecil itu.

Di sana sudah ada beberapa warga yang berwudu di pancuran kecil yang airnya mengalir dari sumber mata air desa. Di dalam surau sudah ada yang duduk menunggu. Salah satu wajah yang ada di sana sudah tidak asing bagiku.

Dialah Mbah Marijan sang juru kunci Merapi. Wajahnya yang sudah berkerut ditempa asam garam kehidupan tampak teduh. Binar wajahnya terisi kerendahhatian dan kesederhanaan yang menunjukkan kekayaan batin. Auranya penuh kharisma yang lepas dari keangkuhan.

Mbah Marijan menjadi imam dalam salat Subuh di surau itu. Bagiku, pengalaman itu sangat istimewa bagiku. Keramahan warga dusun Kinahrejo saat kami melakukan berbagai kegiatan mahasiswa masih terkenang hingga kini.

Karena itulah bencana awan panas pada 26 Oktober 2010 yang menghancurkan dusun Kinahrejo menjadi pukulan batin tersendiri bagiku dan banyak orang yang sudah pernah berinteraksi langsung dengan warga di sana, termasuk dengan Mbah Marijan. Bahkan seluruh bangsa ini terkejut saat kabar duka terdengar tentang musibah tersebut.

Kita semua masih ingat bagaimana awan panas menghancurkan semua yang ada di dusun tersebut. Bahkan surau yang pernah menjadi tempat mengadu pada Yang Maha Kuasa pun luluh lantak tanpa sisa.

Kinahrejo akhirnya menjadi kenangan sekaligus pelajaran sangat berharga tentang bencana alam di Indonesia. Negeri ini hampir setiap hari selalu diguncang gempa bumi, meskipun dengan intensitas yang rendah dan menyebar di sepanjang Ring of Fire (Cincin Api). Kesadaran inilah yang semestinya membuat kita semua waspada terhadap berbagai resiko bencana gempa bumi dan tsunami.

Jika kita melihat peta gempa di situs BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), di sana dapat kita saksikan bahwa hampir seluruh negara kita ditutupi dengan noktah merah sebagai penanda pernah terjadi gempa bumi. Sungguh mengerikan sekali! Tapi inilah fakta ilmiahnya.

Memang posisi Indonesia di Cincin Api menjadikan tanah negeri ini subur dan kaya dengan barang tambang berharga. Hampir seluruh jenis tambang dapat ditemukan di Indonesia.

Namun bencana alam juga terus mengintai setiap hari. Karena itu ada tiga konsep utama dalam kaidah pengurangan resiko bencana yakni pertama, jauhkan bencana dari manusia. Kedua, jauhkan manusia dari bencana. Ketiga, hidup harmoni bersama bencana.

Pilihan ketiga inilah yang seringkali kita temui. Keberadaan warga yang tinggal di lereng-lereng Merapi merupakan bentuk nyata hidup harmoni bersama bencana. Mereka ada yang menolak pindah dari lokasi rawan bencana itu, meskipun sudah tahu bahwa desa mereka menjadi jalur awan panas (wedus gembel) atau lahar dingin. Keterikatan kuat warga dengan tempat tinggal mereka sangat sulit untuk diubah.

Hidup harmoni bersama bencana juga dapat kita lihat di bantaran Sungai Ciliwung di Jakarta. Warga di pinggiran sungai itu sadar bahwa setiap saat banjir bisa terjadi. Namun mereka tetap menolak pindah, dengan alasan, banjir hanya terjadi beberapa hari. Tapi selebihnya, daerah tersebut tidak terkena banjir dan mereka bisa beraktivitas secara normal.

Umumnya, warga yang tinggal di daerah rawan bencana itu merupakan orang-orang yang termarjinalkan (terpinggirkan) secara ekonomi, sosial, dan politik. Mereka tidak memiliki daya saing yang tinggi untuk dapat bertempat tinggal di daerah yang aman dari bencana. Misalnya harga properti atau sewa rumah di daerah yang aman bencana itu relatif lebih mahal, padahal penghasilan mereka pas-pasan untuk makan saja setiap hari.

Karena itu warga yang tinggal di daerah rawan bencana lebih memilih resiko karena tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk tinggal di pusat kota yang aman, daripada harus tinggal di lereng-lereng gunung atau bantaran sungai.

Memang, diperlukan kebijakan pemerintah yang lebih komprehensif untuk menghadapi kondisi seperti ini. Pemerintah tidak hanya perlu menyadarkan rakyatnya tentang berbagai resiko bencana yang ada di Indonesia, tapi juga meningkatkan daya saing ekonomi masyarakat di daerah-daerah rawan bencana.

Ketika daya saing ekonomi masyarakat di daerah rawan bencana meningkat, mereka tentu memiliki alternatif untuk mencari tempat tinggal yang lebih aman dari bencana. Atau memiliki kemampuan untuk membangun rumah atau bangunan yang tahan gempa, misalnya. Dari hal ini kita bisa melihat bahwa masalah penanganan bencana tidak sekedar menjadi tanggung jawab BNPB tapi seluruh kementerian dan lembaga serta civil society. Dengan kesadaran ini, kita dapat menciptakan masyarakat Indonesia yang tangguh terhadap resiko bencana yang ada.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun