"Kok udahan nek?" sapaku saat berpapasan hendak membuang sampah. "Iyah, nenek gak kuat. Nanti abis Ashar dilanjutin lagi," timpal nenek sambil menggeloyor ke pintu belakang. Aku masih duduk di atas sepeda mengamati nenek pergi. Langkahnyakelihatan gontai dan sempoyongan. Aku hanya bisa menatap saja. Tak bisa berbuat apa-apa.
Perasaan kagum bercampur haru biru menggempur sadarku. Nenek tua itu masih berpuasa.  Tak satupun kudengar dia mengeluh saat aku ngobrol dengannya.
Nenek sebatang kara itu tinggal di belakang bak penampungan. Dia menetap seorang diri di gubuk deritanya. Sehari-harinya dia jadi pemulung. Sering kujumpai di pagi hari saat membuang sampah. Sesekali aku menyapa, dia membalasnya dengan lembut. Seringkali aku berbasa-basi untuk permisi untuk membuang sampah. Berbeda dengan warga lain. Aku mungkin termasuk sok melo, sok peduli dan sok santun. Tapi EGP-lah.
Sebenarnya aku tidak tega melihat nenek renta masih harus bekerja. Tapi apa daya aku belum bisa berbuat apa-apa. Untuk membantunya bingung. Yah, bingung. Mulainya dari mana?
Alhamdulillah, di bulan ramadhan ini aku dapat ide. Berbekal kartu telkomsel, aku sms teman-teman. Aku mengajak teman-teman yang jauh-jauh untuk berzakat dan bersedekah. Tanggapannya luarbiasa. Di Facebook dan twitter, banyak teman-temanku yang berpartisipasi. Rasanya telkomsel cukup banyak membantu dan memudahkan komunikasi.
Semuanya terkumpul lima juta. Semoga ini bisa membantu nenek 'penunggu' bak sampah itu. Dengan semangat 98, aku langsung menuju TKP. Tempat pembuangan sampah kelurahan itu masih sepi. Mungkin, aku kepagian, gumamku dalam hati. Aku balik ke rumah dulu. Jam setengah sembilan aku balik lagi.
"Cari siapa mas? " tegur petugas hansip."Nenek yang suka memungut sampah di sini kemana yah? Kok gak keliatan?" tanyaku setengah heran. "Ohh, bu Wati. Kemaren siang dia tertabrak mobil saat menyebrang jalan. Mayatnya sudah dikuburkan." Innalillahi, gumamku lemes.
Telkomsel Ramadhanku