Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Hadiah Terakhir

24 November 2014   16:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:00 70 0



"Hai!" sapaan pertamaku ketika ia telah sampai di depan pintu rumah.
"Assalamu'alaikum, Far." balasnya.
"Wa'alaikumsalam. Duduk, Ka." Kemudian ia duduk di kursi kayu berwarna coklat yang biasa ia duduki setiap ia berkunjung ke rumahku.
Aku duduk di kursi sebelahnya. Tidak ada meja yang menghalangi kita. Kami bersampingan setelah menurutku sudah lama ini tidak terjadi. Semua terasa berbeda. Ada jarak yang telah aku buat dua minggu yang lalu, pertengahan bulan. Di antara seluruh kesibukan kami.
Kami saling terdengar bergantian menarik nafas panjang. Aku yang memintanya ke rumah pun masih belum berani memulai pembicaraan panjang. Kami juga saling bergantian menoleh dan saling menatap. Terlihat kaku sekali. Ternyata dua minggu ini telah membawa suasana berubah. Aku menunjukkan mimik wajah tegangku. Bibir bawahku jelas sudah berkali-kali aku gigit. Bola mataku terus berpindah-pindah seolah menunjukkan rasa kurang percaya diri. Sedangkan dia masih duduk dengan tatapan sesekali ke arahku, sesekali melihat dinding di depan kami.
"Far?" ia menyebut namaku dengan nada bertanya. Aku tau dia mulai mempertanyakan maksud dari permintaanku.
"Iyaaaa.... Sebentar. Aku bingung mulai dari mana."
"Kenapa bingung?"
"Begini aja. Kamu udah makan belum? Aku sih berharap kamu belum makan."
"Aku... u..."
"Soalnya kalau kamu belum makan, akan aku buatin nasi goreng spesial buat kamu."​ selakku.​

"Aku belum makan kok. Dan sangat lapar untuk mencicipi nasi goreng spesial buatan kamu."

"Ya sudah. Aku buatin dulu ya di dapur. Kamu mau ikutan?"
"Mama ada di rumah?"
"Lagi keluar sama Ayah dan Dewi."
"Kalau gitu aku ikutan masak sama kamu deh."
Aku sudah menduganya. Aku mengenal dia bukan baru saja. Sudah lama, aku dekat dengan dia pun sudah satu tahun lebih. Aku sudah yakin kalau dia akan menerima tawaran makan dari aku, apalagi kalau makanan itu buatan aku sendiri. Lalu yang pasti, dia juga ingin masak bersama denganku.
Sekitar dua puluh menit kami berkutik di dapur. Hari itu pertama kalinya kami masak bersama. Walaupun sekedar nasi goreng. Inilah nasi goreng spesial buatan kami berdua.
"Aku harap, nasi goreng ini enak dan rasanya juga gak macem-macem." kataku seraya menaruhkan dua piring nasi goreng di meja makan.
"Aku percaya masakan kamu pasti enak. Walaupun ga enak juga tetap aku makan kok." rayuannya memang membuatku tersenyum malu. Akan tetapi, di samping itu aku pun merasakan yang lain.
"Aku siapin air putihnya dulu ya."
"Siap, Ma."
"Jangan panggil aku Mama!" aku mulai ketus padanya.
Nasi goreng spesial ini memang sempurna, setidaknya lebih baik dari yang aku buat sebelum-sebelumnya. Dia begtu lahap menyuap satu demi satu sendok nasi. Aku senang melihatnya menghargai buatanku. Walaupun ia tadi berada di dapur, dia hanya membantuku memasukkan bahan-bahan saja, bukan bumbunya. Sepenuhnya ia percaya dengan rasa yang aku ciptakan.
"Thanks ya udah menyempatkan datang dan menghabiskan masakanku. Aku seneng lihat kamu seperti ini."
"Ga ada hal yang terindah dalam hidupku selain kumpul bersama kedua orang tuaku dan menghabiskan waktu sama kamu."
Aku tersenyum mendengar pernyataannya. Hal inilah yang membuatku tak berani terhadap kejujuran. Aku tidak berani menyaktinya.
"Aku yakin kamu minta aku kesini bukan sekedar makan masakan kamu kan?" tanyanya.
Aku menaikan alisku dan kembali tersenyum kepadanya. "Aku bereskan ini dulu ya. Setelah itu aku ingin shalat maghrib bareng kamu. Kamu jadi imamku lagi ya."
"Aku ga bisa. Aku takut salah. Menjadi imam shalat kamu salah satu hal terberat dalam hidup aku."
"Aku mohooooonn. Ini terakhir kalinya aku meminta sama kamu deh."
"Terakhir? Maksud kamu apa? Jangan pernah bilang kata-kata terakhir deh di depan aku."
"Ya pokoknya aku mau shalat dan imamnya itu kamu."
"Ya sudah iya."
Kali ini kedua kalinya kami shalat berjama'ah. Saat pertama adalah usai kami berantem hebat karena kesalahan aku dalam hubungan ini. Aku mengkhianatinya. Dan hal tersebut terulang lagi.
Selesai salam terakhir, ia memimpin doa. Dalam setiap doa yang ia ucapkan, aku menyambutnya dengan mengucapkan "Aamiiin".
Aku kembali mencium tangannya usai menjalankan ibadah shalat maghrib. Terasa sangat hangat dan romantis bagiku. Walaupun sebenarnya kami masih belum dihalalkan. Kami hanya menjalin hubungan yang mereka sebut 'hubungan tanpa status'. Apalagi jika mengingat keadaanku sekarang tak lagi sama seperti dua minggu yang lalu.
Kami kembali duduk di kursi depan rumah. Aku tidak ingin ada tetangga yang mencurigai kami sedang berduaan di rumah yang tidak ada orang selain kami berdua. Belum dimulai pembicaan kami, aku pergi ke kamar untuk mengambil satu hal.
"Itu apa?" tanyanya ketika melihatku kembali dengan satu kantong plastik putih yang cukup besar.
"Bukan apa-apa kok. Sebentar ya." aku pergi ke depan gang, sedangkan dia duduk manis di kursi favoritnya.
Begitu aku kembali dan duduk di sampingnya, ia menggenggam tangan kananku.
"Aku kangen sama kamu. Aku kangen kita yang dulu. Kita yang seperti biasanya. Dua minggu ini bener-bener berat. Di rumah, di kampus, semua masalah seolah nyerang aku bersamaan dengan kamu yang perlahan pergi. Aku ga kuat, Far."
Aku tidak dapat menjawab pernyataannya. Aku terdiam menyiapkan mental untuk mengutarakan kebenaran yang sudah terjadi.
"Far, aku minta maaf atas semua kesalahan aku selama ini yang mungkin buat kamu mau menjauh dari aku. Aku mau kamu balik kagi. Seegoisnya kamu, aku tetep butuh kamu buat jadi penguat aku. Far, please kita balik lagi kayak dulu ya."
Aku mulai meneteskan air mata. Semua perempuan pasti pernah merasakan seperti ini. Saat dimana posisi tidak lagi mendukungmu untuk berbicara. Saat dimana semua gejolak hanya tertahan di hati. Tidak bisa diucapkan dengan kata-kata ataupun bahasa tubuh. Yang dapat dilakukan hanyalah menangis.
"Kenapa kamu yang nangis? Kan aku yang ga kuat."
"Malam terakhir kita bertemu, aku membuat satu pengakuan dimana aku bohingin kamu. Lagi-lagi aku mainin kamu. Aku sedih, kenapa aku kerjaannya buat semangat kamu jatuh."
"Makanya Far, kalau kita balik lagi kayak dulu pasti aku akan jauh lebih kuat."
"Maaf ya kalau aku banyak minta. Soal jadi imam shalat itu bukan permintaan terakhir aku."
"Ya iya, aku juga ga mau denger kata terakhir. Kita ga akan berakhir, Far."
"Segala yang pernah dimulai akan ada akhir, Ka."
"Tapi engga untuk kita."
"Jangan ngaco deh! Kita pun berakhir, Ka."
"Capek ngomong sama kamu, Far." ia memalingkan wajahnya.
"Aku mau ini terakhir kalinya kamu ke rumah aku, Ka. Setidaknya untuk sementara waktu sampai Tuhan mengembalikan kita."
"Tuh kan, Far. Kamu yang ngomongnya ngaco. Kenapa? Kamu sayang sama orang lain dan mau ninggalin aku? Bebas deh, Far. Sesuka kamu aja."
"Aku udah jadian sama Dodi." aku benar-benar takut mengatakannya. Aku memejamkan mataku dan mengerutkan keningku. Saat aku buka kelopak mataku dan menoleh ke arahnya, ternyata dia sudah melotot ke arahku. "Aku minta maaf."
"Far? Kok bisa-bisanya? Mana janji kamu untuk menjaga hati kamu? Sekrang kamu malah jadian sama dia? Pengkhianat kamu, Far. Tai!" dia mengeluarkan kata-kata kasarnya. Aku tidak heran dia akan berbicara seperti itu. Iya, karena aku mengenal dia dengan baik.
"Aku tau kamu benci banget sama aku. Aku minta maaf. Aku ga bisa terus-terusan nyakitin kamu. Makanya aku minta kamu pergi aja dan ini terakhir kalinya kamu rumah aku. Demi aku dan kamu, juga demi hubungan aku sama Dodi."
"Kapan kamu jadian sama dia?"
"Semalam."
"Dia nembak kamu dimana? Di restoran mana?"
"Di cafe daerah pusat."
"Terus kamu langsung terima?"
"Iya."
"Kamu sayang sama dia?"
"Kamu ga perly tanya itu lagi. Aku ga mau denger pertanyaan kamu." aku mengambil kunci motornya di meja di ruang tamu. "Ini kunci motor kamu. Kamu bisa pulang sekarang dan jangan kembali lagi!"
"Parah. Kamu beneran ngusir aku?"
"Iya. Sekarang kamu bisa pulang." aku menarik tangannya supaya ia bisa beranjak dari rumahku. aku membawanya ke depan sepeda motor miliknya. Ia melihat bungkusan yang kubawa tadi tergantung di motornya.
"Ini apa?" tanyanya.
"Itu hadiah untuk kamu. Dan di dalamnya akan menjadi bagian dari aku yang bisa kamu simpan. Terima kasih untuk satu tahun ini. Terima kasih untuk hari ini. Maaf aku ga bisa lama-lama lagi. Sebentar lagi Dodi mau jemput aku buat main ke rumahnya dan berkenalan dengan orang tuanya. Jadi tolong jangan rusak kebahagiaan aku!"
Lalu aku pergi meninggalkan dia dan kembali ke rumah. Ia pun terlihat sangat kecewa dan pergi begitu saja sama seperti saat aku, dia, dan seseorang di antara kami berada di rumahku bersamaan. Kali ini, aku yakin tidak akan menariknya kembali karena aku pun sudah menjalin hubungan yang lebih baik. Namun, jika memang aku akan kembali dengannya. Kami akan bertemu di ujung dermaga yang sama.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun