Seperti biasanya bila sampai di rumah dan sambil duduk istirahat di atas kursi rotan, istriku akan menceritakan kisah yang dialaminya seharian. Apakah kisah itu menarik atau tidak, bagiku itu tidak penting. Yang lebih penting adalah mendengarkan dengan seksama dan penuh perhatian apa yang ia ceritakan. Supaya ia senang dan gembira, mendengar kisah dan keluh kesahnya biar hatinya plong walau belum bisa kasih solusi. Hehehe....
Ada saja cerita yang sampai di telinga saya. Mulai dengan apa yang terjadi pada kedua anak kami, Muh. Zahir, usia 5 tahun dan sekarang duduk di TK, atau adiknya, Muh. Faris, yang kini berusia 2 tahun lebih, atau tentang teman dan tetangga yang curhat kepadanya. Sehingga saya mulai berfikir untuk sharing pula di Kompasiana.
Pada malam itu, seperti biasanya setelah saya mengenakan pakaian ‘dinas’ dalam rumah dan duduk tenang sembari buka komputer, ia membuka pembicaraan:
“Tau ngga, pa. Tadi tetangga kita, pa Darto mendatangi rumah Ibu Sinta.”
“Ibu Sinta yang janda itu?” tanyaku penasaran
“Iyya!” Jawab istriku
Pikiranku mulai nyambung. pa Darto adalah tetangga saya beda RT yang sudah lama menduda. Beberapa tahun lalu bercerai dengan istrinya dan kini hidup terpisah. Anak-anak mereka yang sudah besar nyaris seluruhnya ikut Ibu Darto, hanya seorang saja anak perempuannya yang ikut dengannya Ia juga dikenal sebagai warga yang cukup berada. Mantan pegawai salah satu perusahaan BUMN. Memiliki rumah kontrakan cukup besar dan beberapa kamar kost. Semua itu lebih dari cukup untuk menghidupinya dan seorang anak yang jadi tanggungannya.
Adapun Ibu Sinta adalah janda miskin berusia 37 tahun. Tubuhnya agak gemuk, kulit sawo matang dan wajahnya cukup manis. Ditinggal mati suaminya hampir setahun lalu. Rumahnya juga tidak jauh dari rumah kami tinggal. Ia memiliki 5 orang anak. Dua yang paling besar telah bekerja dan menikah, dua lainnya masih sekolah di SD dan SMP, sementara anak terakhir berusia empat tahun. Memang memprihatinkan kehidupan keluarga janda ini. Tapi alhamdulillah, ada saja rezki dari Allah yang mereka terima, baik berupa santunan, beasiswa untuk yang sekolah atau dana infak dan sedekah. Apalagi upah kerja ibu Sinta sebagai pembantu di rumah salah satu warga dapat ia gunakan untuk menutupi kebutuhannya sehari-hari.
“Nah, terus!” tanyaku penasaran
“Pa Dar itu datang ke rumah ibu Sinta sambil membawa uang 6 juta!”
“Lalu?” tanyaku antusias
“Uang 6 juta itu langsung disodorkan kepada ibu Sinta dan berkata, “Menikah saja denganku, ya?”
“Dan bu Sinta setuju?”
“Ogah, katanya".
“Hahahaha…….” Saya tertawa ngakak mendengar akhir dari cerita istriku. Saya tak menduga bila bu Sinta menolak tawaran tersebut. Uang sebesar 6 juta tentu bukan jumlah kecil bagi seorang janda dengan tanggungan beberapa anak. Tapi mengapa ia menolak? Bukankah seharusnya ia gembira dilamar seorang pria walau itu duda, sekaligus seseorang yang dapat memenuhi kebutuhan batiniyah dan lahiriyahnya? Walaupun sudah tua dengan usia sekitar 60-an, namun tubuh pa Darto masih tampak sehat dan bugar. Ataukah karena bu Sinta merasa masih sanggup mendapatkan suami yang lebih baik dari pa Darto, lebih kaya dan tampan serta usianya tidak terpaut jauh dengannya? Entahlah. Saya sendiri heran dan takjub dengan penolakan tersebut.
“Terus, mengapa bu Sinta menolak tawaran itu?”
“Katanya sih, dia masih sanggup membiayai anak-anaknya tanpa suami. Apalagi pa Darto sudah ubanan, sudah tua, katanya.”
“Yang penting pa Darto, kan, masih bisa…” jawabku tersenyum. Dan istriku hanya tertawa kecil mendengar kata-kataku sambil mencubit mesra lenganku. Halah. Beginilah perempuan mengekspresikan kalimatnya, bisa dengan cubitan. Hehehe….
“Tapi bu Sinta juga khawatir, jangan sampai suaminya kelak hanya mencintainya dan tidak mengasihi anak-anaknya…” lanjut istriku
“Rasional, sih, alasannya. Tapi, itukan kekhawatiran yang belum terjadi. Mana tahu pa Darto juga cinta pada anak-anak tirinya kelak. Semoga saja, kan?”
Setelah agat lama terdiam dan larut dalam pikiran masing-masing, saya berkata:
“Ataukah cara pa Darto yang kurang tepat, langsung menyodorkan uang 6 juta lalu menodongnya untuk menikah tanpa melakukan proses ‘pendekatan’ terlebih dahulu?”
“Mungkin juga….” Jawab istriku singkat sambil menganggukkan kepalanya.
Hal ini tiba-tiba muncul dibenak saja. Cara yang dilakukan pa Darto bisa jadi ditanggapi lain oleh bu Sinta. Ia bisa saja membaca pikiran pa Darto bahwa dengan uang 6 juta itu dirinya takkan mungkin menolak dan segera menerimanya tanpa banyak bicara, sementara bu Sinta tidak mau dianggap janda matre, walau sesungguhnya ia butuh seorang suami yang mengayominya dan memenuhi kebutuhan diri dan anak-anaknya, namun kehormatan dirinya bisa jadi mengalahkan daya tarik 6 juta rupiah itu.
Hingga saat ini proses pendekatan mulai dilakukan oleh pa Darto; menawarinya sesuatu, menanyakan kondisi anak-anak dan lain sebagainya. Apalagi mereka juga sering bertemu karena jarak rumah keduanya juga tidak terlalu jauh. Akankah akhirnya bu Sinta takluk dan menerima tawaran pa Darto? Wallahu a’lam.
Utan Kayu, 7 Desember 2009