Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pada tahun 2007 Transparancy International (TI) menempatkan Indonesia dalam 10 negara paling korup di samping Nigeria, Pakistan, Kenya, Bangladesh, China, Kamerun, Venezuela, Rusia, dan India. Apakah peringkat tersebut telah mengalami perubahan atau belum, saya sendiri belum mendapat data paling aktual. Namun usaha KPK dua tahun terakhir dengan menangkap dan memenjarakan sejumlah tokoh terkenal karena kasus korupsi bisa saja mengubah peringkat Indonesia keluar dari 10 besar. Walau banyak kalangan melihat bahwa upaya pemberantasan korupsi masih tebang pilih. Apalagi kasus paling anyar adalah bailout Bank Century yang senilai Rp 6,7 triliun, hingga saat ini kasus tersebut belum menyentuh pihak-pihak yang harus bertanggungjawab yang mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar.
Pada tahun 2005 lalu, hasil survei Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan bahwa DPR dan partai-partai politik merupakan lembaga yang paling banyak melahirkan koruptor. Hasil survey ini tentu saja membuat DPR gerah dan memanggil TII untuk menjelaskan kepada mereka hasil survey tersebut. Kemungkinan besar hasil survey itu belum mengalami perubaha signifikan bila kita menyaksikan bahwa memang tidak sedikit kader sebuah partai yang akhirnya jadi pesakitan dan dijebloskan ke dalam jeruji besi karena terlibat kasus korupsi. Bahkan prilaku tersebut kerap dilakukan secara berjama'ah dengan menjadikan partai sebagai bumper.
Para pembaca mungkin tidak asing lagi dengan nama-nama anggota partai yang pernah malang melintang di layar kaca karena terlibat kasus korupsi; Al-Amin Nur Nasution (PPP), Bulyan Royan (PBR), Sarjan Taher (Partai Demokrat), Yusuf Erwin Fasial (PKB), Abdul Hadi Jamal (PAN), dan mungkin masih banyak yang lain yang sedang dalam proses pengadilan atau bahkan sudah berada di dalam penjara. Banyaknya kader partai yang terlibat dalam kasus korupsi dengan sendirinya membenarkan statemen bung ZB di atas, bahwa partai begitu mudah dijadikan sebagai bungker dan bumper untuk melakukan tindak kejahatan. Dan juga tak dapat disalahkan cibiran masyarakat bahwa partai politik adalah wadah yang paling cepat dan tepat untuk memperkaya diri walau dengan cara yang sangat kotor betapapun ia duduk sebagai anggota dewan yang terhormat.
Defisit moral dan hilangnya rasa malu adalah virus paling mematikan yang bila menjangkiti para kader partai, anggota legislatif dan eksekutif, maka perbuatan kotor dan keji pun menjadi tampak wajar dilakukan. Seperti itulah wajah para politisi dan pejabat negeri ini yang dahulu kita pilih dengan harapan dapat membawa kebaikan bagi bangsa dan negara. Ternyata jauh panggang dari api. Dan konsekwensinya, kita masih akan menyaksikan para politisi tanah air yang akan mementaskan lakon “Para Koruptor Yang Tiada Habisnya”.
Utan Kayu, 11.10.2009