“Wow.., keren sekali pesawatnya, pasti Andi yang gambar,” kata Bejo yang mendadak sumringah setelah air matanya hampir jatuh karena novel yang dibacanya.
Setelah Bejo tidak lagi mengeluarkan komentar, anak yang masih duduk di bangku TK itu kembali berlari ke arah tantenya memperlihatkan gambar di tangannya. Tante Ami memuji anak saudarnya itu habis-habisan, sedemikian sehingga Andi meloncat-loncat kegirangan di dekat tantenya. Tiap orang di rumahnya memberi sanjungan ke Andi kecuali Siti, kakaknya. Anak perempuan yang duduk di bangku kelas III SD ini malah memiliki penilaian yang bersebrangan dengan mayoritas.
“Jelek banget…, warnanya banyak keluar garis. Masa’ ban pesawat warnanya kuning? Idih…norak banget...” kata Siti yang sontak membuat merah wajah adiknya. Konflik harian nyaris terjadi siang itu, untung ibunya cepat-cepat menenangkan hati Andi yang mulai mengamuk. Ibunya turun membelanya dan membantah tudingan kakaknya. Siti sebenarnya tidak salah, semua orang di rumah juga tahu itu. Apalagi, soal gambar menggambar, Siti juara 1 di sekolahnya. Kesalahannya cuman karena Siti jujur mengungkapkan penilaian hatinya.
Entah apakah ia pura-pura tidak mengerti, bahwa yang dibutuhkan adiknya bukanlah kejujuran, tapi sanjungan, pujian, atau minimal perhatian yang tidak negatif. Tidak menutup kemungkinan bahwa Siti juga tidak ingin tersaingi sebagai anak yang mendapat predikat “juaranya menggambar”. Keduanya, pemuja pujian.
Gambaran kecenderungan manusiawi sangat jelas dalam prilaku anak-anak. Kecenderungan ingin dipuji atau minimal diperhatikan mungkin ada di tiap diri seseorang. Melewati tangga-tangga usia, Andi remaja tentu masih memiliki kecenderungan ingin dipuji dan diperhatikan. Tapi dengan perkembangan pengetahuannya, aktualisasi kecenderungan ini tentu berbeda. Andi tidak mungkin mengaktualkan kecenderungannya itu seperti ia masih TK dulu. Jika ia masih seperti yang dulu, teman-temannya akan menilainya ‘kekanak-kanakan’. Bukankah penilaian ini justru merusak harapannya yang ingin dipuji?
Dengan pengetahuannya yang kian luas, ia mengirim kutipan yang disalin dari situs “nasihat untuk seorang muslimah”. Kutipan itu ditempel di sebuah pesan singkat dan dikirimkan ke seorang wanita yang dia cintai. Hampir tiap bagun pagi, Anita mendapatkan inbox hapenya berisi pesan singkat dari Andi. Awalnya, Anita selalu merespon
“Terima kasih ya, nasihatnya menyentuh…”
“Terima kasih.., kak Andi perhatian banget sama aku…” tulis Anita keesokan harinya
“Ya Allah, indah sekali nasihatnya, kak Andi baik banget deh. Terima kasih ya kak…”
Hingga suatu pagi, Anita kehabisan kata-kata untuk memuji laki-laki yang tiap hari mampir di hapenya. Meskipun hati Anita keberatan dengan serangan fajar itu, tetangga Andi ini tidak ingin menyakiti hati temannya. Andi pun semakin tenggelam dalam tujuannya yang ingin mencari perhatian Anita. Tak peduli seberapa pulsa yang harus dikorbankan dan selama apa ia menghabiskan waktu di depan website favoritnya.
Sebagian filsuf mengatakan kecendrungan alami seperti ini ‘unlimited potential’. Tiap orang yang mengejar batasnya di dunia yang fana ini, akan menemui kegagalan. Bahkan semakin banyak yang ia ketahui, medan aktualisasi kecenderungan ini semakin luas dan semakin canggih. Perjalanan manusia dalam hidupnya membuat ia kaya akan apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dst. Pengetahuan indrawi ini tersimpan di dalam memori dan kadang dibuka lagi oleh pemiliknya dengan cara “mengingat kembali” atau “membayangkan”. Membayangkan sesuatu yang ia tidak pernah tahu tentunya mustahil.
Dalam tingkatan persepsi manusia, aktifitas ‘membayangkan’ mungkin masuk dalam ‘alam khayal’. Yaitu, menggambarkan sesuatu di benaknya apa yang belum atau tidak terwujud di alam realitas. Alam ini sangat aktif dan tidak pernah berhenti memproduksi kecuali dikendalikan. Salah satu yang membuat alam ini berproduksi ialah kecenderungan alami manusia. Dengan alam ini, manusia mampu menggambarkan perencanaanya sesuai dengan apa yang diinginkan.
Aldi yang telah berjenggot, suka memakai jubah dan kerab disapa ustadz di kampungnya kerap membayangkan dirinya menjadi laris dan terkenal seperti ustadz yang nongol tiap hari di TV. Betapa indahnya, para ustadz yang dijemput menggunakan ferari, dikejar-kejar jama’ah untuk sekedar foto selfi, rumah mewah, usaha menggurita dan memiliki istri banyak.
Obsesi yang didorong oleh khayalan yang menghantuinya tiap hari itu menjadikan metode ceramahnya berkembang pesat. Ia mempersiapkan bahan ceramahnya semaksimal mungkin, mulai dari tema, hadist, ayat Alqur’an hingga mimik dan intonasinya. Sedemikian sehingga, Aldi akan tampil di panggung “Da’i Cilik” setiap diundang ceramah di masjid kampung. Hatinya tersipu berbunga-bunga jika setalah ceramah, beberapa jamaah menghampirinya mengucapkan pujian. Namun hatinya hancur berantakan, jika ia pulang dari ceramah tanpa mendapatkan satu komentar yang memujinya, apalagi amplop yang amat sangat tipis. Tidak kembali modal alias rugi besar, istilah pedagang sebelah.
Demikianlah alam khayal yang mampu meninabobokan seseorang hingga memberi mimpi indah meskipun tidur di rumah yang sedang dilahap si jago merah. Kecenderungan ingin dipuji yang unlimited dan alam khayal yang juga tak bertepi membuat medan perselingkuhan iblis dan manusia bisa semakin tak menentu. Kecenderungan bukanlah pilihan, ia titipan Sang Pencipta sejak manusia lahir. Mau tidak mau, manusia pasti memilikinya sebagaimana bentuk kecendrungan manusiawi lainnya. Termasuk yang paling mendasar ialah setiap manusia cenderung mencintainya dirinya sendiri.
Karena cinta diri, Aldi kecil ingin setiap orang di rumahnya memuji gambarnya. Mengapa? Entah, pikiran Aldi belum sampai menjawab itu. Karena cinta diri, Aldi remaja ingin mendapatkan pujian dan perhatian dari sang kekasih. Mengapa? Dengan pujian, Aldi lebih percaya diri untuk mendekat dan mendepatkan hati kekasihnya. Masa jomblo sih... Karena cinta diri, Aldi ‘dewasa’ ingin setiap orang yang mendengar ceramahnya memujinya. Mengapa? Karena ia ingin menjadi ustadz seleb yang oleh industri pertelevisian lebih melirik ustadz yang bisa berlagak selebriti.
Aih, sampai kapankah orang akan mengakhiri dahaganya dengan meminum air laut? Segala yang terbatas tidak akan mampu memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas. Adanya kecendrungan yang secara potensial bersifat tak terbatas mengindikasikan adanya sesuatu yang faktual (nyata) dan juga tak terbatas. Jika tidak, darimana potensi yang tak bertepi itu? Dan kemanakah seharusnya mengalir? Apa sebenarnya kecenderungan yang tidak pernah lelah menguasai diri seseorang? Apa hubungannya dengan tujuan diciptakannya manusia?
Di usianya yang senja, Aldi sering kali merenungi perjalanan hidupnya yang terasa sangat singkat. Pertanyaan demi pertanyaan tentang misteri hidup ini hadir di depan matanya yang sudah mulai sayu. “Mengejar dunia ini bukan hanya mengecewakan tapi membahayakan…” demikian ia membatin.
Tahap pengetahuan setelah persepsi indrawi dan khayal adalah tahap pengetahuan rasional. Tahap yang kerap oleh filsuf muslim disebut konsep filosofis ini didahului oleh pengetahuan mantiqi (Logika). Pertanyaan tentang apa esensi sesuatu (defenisi) lalu mengatributkan konsep-konsep logis pada data-data yang diperoleh indra dan khayal merupakan tahap pengetahuan mantiqi. Setelah Aldi menjawab apa itu manusia dan apa itu kecenderungan yang ada padanya, Aldi lalu mencari hubungan keduanya dengan tahap yang lebih tinggi lagi. Tahap inilah yang dinamakan tahap pengetahuan filosofis.
Pengetahuan logika dan filosofis dikategorikan, oleh sebagian filsuf, sebagai konsep pengetahuan sekunder. Adapun konsep pengetahuan primer adalah pengethuan yang masih berhubungan dengan alam yang dipersepsi oleh indra. Pengetahuan indrawi, mengingat kembali, membayangkan atau khayal juga dimiliki oleh hewan. Dengan kekurangan dan kelebihan yang masing-masing dimiliki jenis hewan, termasuk sebagian orang yang tampaknya manusia. Pada tahap ini, sebagian manusia setara dengan jenis hewan lainnya bahkan tidak sedikit yang lebih rendah dari hewan. Bersikap hanya bersandar dari apa yang dilihat dan apa yang dikhayalkan belumlah membuat seseorang keluar dari “kebun binatang”.
Hanya dengan menggunakan akal dimana konsep-konsep logika dan filsafat itu hadir, seseorang mencapai kemanusiaan. Karena dengan akal-lah, seseorang terbedakan dengan jenis hewan lainnya. Hanya dengan akal, seseorang bisa mengambil alih alam khayal dari dominasi kecendrungan cinta diri yang tidak jarang sangat buas. Hanya dengan akal pula, kecenderungan cinta diri menemukan jalan yang seharusnya sehingga ia tidak menjadi binatang buas. Karena pengetahuan akal bukan dari dunia apa yang dilihat oleh indra, maka ia bebas dari ruang dan waktu. Sifatnya yang universal membuat ia bagaikan cahaya yang menerangi seluruh semesta ini, baik yang tampak oleh indra maupun yang tidak lagi terjangkau olehnya.
Mengapa manusia pada dasarnya suka dipuji? Darimana asal kecendrungan itu? Sebenarnya apa tujuannya hadir dalam diri manusia? Bagaimana sebenarnya ia diperlakukan? Apa parameternya jika aktualisasi cinta diri telah di jalan yang benar? Benarkah kenikmatan yang paripurna bersumber dari apa yang terlihat oleh mata dan terdengar oleh telinga? Emangnya ada kenyataan di luar apa yang dijangkau oleh indra? Apa relevansinya dengan hidup yang sementara ini? Adakah kehidupan selanjutnya pasca kematian di dunia ini? Jika ada, apa sebenarnya tujuan dari dunia ini yang diadakan lalu dihancurkan lagi?
Demikian Aldi melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepada cucunya ketika diskusi di teras rumah. Kepada putri anaknya yang baru duduk di bangku SMA itu, Aldi menyampaikan bahwa persoalan mendasar dalam kehidupan ini hanya mampu dipecahkan dengan berpikir bijak. Kebijaksanaan bukan pemberian gratis sebagaimana kecenderungan dan alam khayal. Tapi ia adalah proses pencapaian. Potensi akal, yang diberikan, harus senantiasa diaktualkan dan dilatih di atas sendi-sendi logika dan prinsip-prinsip rasionalitas. Sedemikian sehingga ia menjadi esensi jiwa, watak, karakter dan prilaku. Karena dengan berprilaku rasional, seseorang mencapai sisi kemanusiaannya.
Hukum cinta diri berbunyi capailah yang terbaik dan menguntungkan bagi diri dan hindarilah yang buruk dan merugikan bagi diri. Ingin pujian itu alami dan itu menyenangkan diri. Tapi apakah harus mengemis pujian dari orang lain? apakah tidak ada lagi jalan yang terbaik dan benar-benar menguntugkan diri, selain berharap pada pujian orang lain?
"Apabila seseorang mendapatkan dunia ini bukan sekedar apa yang terlihat indra dan terbayangkan imajinya, mungkin ia memiliki pandangan alternatif tentang pujian." ucap Aldi sambil mulai berdiri dari kursinya dibantu tongkatnya. Cucunya yang terlihat belum puas dalam diskusi singkat itu meminta kakeknya untuk memeberinya nasihat singkat sebagai kesimpulan diskusi menjelang magrib itu. Aldi tersenyum lalu pergi untuk kembali ke rumahnya yang tidak jauh dari rumah anaknya.
Fajar menyingsing di ufuk timur, cucu Aldi bangun dan mendapatkan hapenya berisi pesan singkat. Rupanya dari kakeknya yang mengirim menjelang dini hari.
"Muliakanlah akal dan rendahkan egomu..” ucap cucunya menirukan teks sms 'nasihat' kakeknya.