Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Artikel Utama

Intelektualitas & Spiritualitas (1)

10 April 2015   08:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:18 58 0
Pak Abbas, demikian saya biasa memanggilnya. Usianya sudah enam puluh tahun lebih, namun masih tampak bugar secara fisik dan psikis. Sedemikian bugarnya, saya sering tidak kuat mengikutinya nongkrong berjam-jam hingga larut malam untuk diskusi. Meskipun sudah lama menjauhi rokok, namun terkadang suasana malam hari kala itu- yang semakin menggairahkan dirinya diskusi- menggodanya untuk mengisap rokok favoritnya; Dji Sam Soe. “Saya merokok sejak mahasiswa…” kenangnya sambil memabakar ujung batang rokoknya. Meskipun demikian, saya banyak belajar dari beliau tetang pentingnya kesehatan dan pola makan yang sehat. Enam puluh tahun lebih merupakan anugrah hidup yang luar biasa apalagi diiringi kesehatan lahir dan batin. Memasuki usia setengah perjalanan dari usia beliau, saya mungkin belum tentu meraih anugrah mahal itu.

“Saya sudah niatkan untuk mengisi hari-hari di sisa usia ini dengan mendalami pemikiran Ibnu Arabi…” kata beliau setelah menjelaskan bahwa ia telah menyerahkan kepengurusan harian di LSM yang dia bina selama ini kepada seorang yang dia percaya. Selama hidupnya, ia banyak menghabiskan untuk pemberdayaan masyarakat. Hingga seseorang menjulukinya “mbah-nya aktivis LSM”. Di sisi lain, ia seorang pembaca buku tulen. Cinta pengetahuan begitu melekat pada dirinya, sehingga kepada siapapun ia tidak malu untuk belajar, bertanya dan meminta pendapat. Setalah pemikiran Iqbal Lahore, Krisna Mukhti dll, kini ia jatuh cinta pada pemikiran tasawuf Ibnu Arabi yang disampaikan oleh William Chittick. Satu buku di antaranya yang cukup tebal karya Chittick tetang Ibnu Arabi dijadikan ‘kitab suci’ bagi dirinya. Saya kadang cuman memilih sebagai pendengar setia ketika ia mengeksplorasi dengan penuh penjiwaan tentang apa yang didapatnya dari Ibnu Arabi. Tak jarang ia terlihat begitu bahagia ketika menerangkan bahwa apa yang selama ini ia cari secara bertahap telah ‘diajari’ oleh Ibnu Arabi.

Dari perkenalan, obrolan santai, shering pengalaman, hingga diskusi tingkat serius sehari semalam suntuk dalam beberapa tahun terakhir ini membuat saya semakin akrab dengan cara pandangnya. Meskipun dalam beberapa hal saya berbeda pandangan dengan beliau namun tidak menafikan bahwa saya telah banyak mendapatkan pelajaran darinya. Pertama, bahwa proses mencapai tujuan hidup sebagai manusia membutuhkan proses yang tidak singkat. Bertahun-tahun lamanya bahkan puluhan tahun untuk dapat memiliki sifat-sifat manusiawi itu secara integral. Medan kehidupan, dari yang terasa nikmat hingga yang terasa pahit, yang dilalui oleh manusia sangat menentukan perubahan dan pencapaian tujuan dirinya. Dan menurut saya, itulah tujuan kehidupan di dunia ini dengan segala dinamikanya. Untuk mencapai tujuan yang ultimate, manusia disediakan medan untuk berproses dan proses di alam ruang dan waktu mengharuskan tahapan alias tidak instan. Pada tahap ini, perjauangan, kesabaran, ketabahan, dan pengorbanan memiliki makna yang mendasar. Demikian sekilas tetang kehidupan.

Kedua, dalam kitab suci umat Islam, Alqur’an, disebutkan bahwa Tuhan akan mengajarkan ilmu kepada seseorang setelah ia mensucikan dirinya. Tentu hanya Tuhan, utusan-Nya dan manusia yang dekat denganNya yang mengetahui makna sebenarnya di balik apa yang kita baca dari kitab-Nya yang suci. Di sisi lain, pencapaian setiap orang dari makna kandungan kitab-Nya yang bertingkat-tingkat tergantung pada derajat setiap yang membaca dan merenungkannya. Sebagai pembaca awam, ilmu yang diajarkan oleh Tuhan tentu bukan ilmu sembarangan. Selanjutnya untuk mencapai ilmu ‘sebenarnya’ itu, syaratnya ialah penyucian jiwa. Artinya, sejauh yang saya pahami, intensitas keilmuan Tuhan yang diberikan berbanding lurus dengan sejauh mana tingkat kesucian jiwa seseorang. Lalu apa yang perlu disucikan…? Apakah sebelum jiwa ini suci, mencari ilmu itu percuma? Jenis ilmu apa yang diajarkan oleh Tuhan kepada hamba-Nya yang mensucikan diri?. Diskusi tetang jawaban ini mungkin ditunda dulu.

Imam Ali kw pernah mengatakan yang kira-kira pesannya bahwa Tuhan merahmati hamba-Nya yang senantiasa bertanya darimana ia berasal dan akan ke mana. Dari lubuk hati yang paling dalam, tidak jarang manusia bertanya tetang asal usul dan tujuan dari penciptaan dirinya. Diskusi ini tentu sangat kompleks, minimal bagi saya sendiri. Namun lagi-lagi tema asal-usul dan tujuan penciptaan manusia menekankan urgensi akal sehat (intelektual) dan perjalanan jiwa (spiritual) bagi manusia. Dengan aktualiasi akal sehat, manusia mencapai pandangan dunianya yang selanjutnya menjadi keyakinan hidup atau ideologi. Dengan ideologi yang diterima oleh ketulusan hatinya, api cinta pun menyala dan menggerakkan seluruh gerbong kehidupannya menuju harapan, cinta-cita dan puncak tujuannya.

Jika tujuan hidup telah jelas, meyakinkan dan tidak satu pun goresan keraguan melekat padanya, maka yang seharusnya dilakukan adalah perjalanan. Sebagian sufi atau orang arif mengistilahkan sebagai suluk atau safar. Perjalanan sudah cukup menggambarkan adanya awal dan akhir (tujuan). Namun dalam hal ini, perjalanan lebih diartikan pada perjalanan yang bersifat substansial, batin dan bukan sekedar lahiriah. Bahkan konsep ini menolak perjalanan hidup manusia semata-mata perjalanan lahiriah, fisikal atau material. Mungkin dalam konteks ini, sebagian orang mengatakan bahwa “lebih tua itu belum tentu lebih dewasa”. Ketuaan ialah perubahan fisikal karena usia namun kedewasaan ialah pencapaian mental, cara pandang, atau kejiwaan seseorang dalam menyikapi hidupnya. Jika perubahan fisikal bisa direkayasa atau dibuat-buat secara instan tapi perubahan mental tidaklah semudah itu.

Revolusi mental, menurut saya, perjalanan jiwa yang membutuhkan waktu yang tidak singkat. Banyak orang yang melewati usianya hingga tua namun tidak terjadi perubahan dan penyempurnaan yang signifikan pada jiwanya. Artinya, usia atau waktu yang diberikan saja tidaklah cukup. Seseorang benar-benar harus menguras pikirannya untuk mencapai pandangan dunia yang sesuai dengan tuntutan mendasar dalam hidupnya. Perjalanan intelektual yang melelahkan dialami oleh sebagian orang untuk hal ini. Akses informasi dan penerbitan buku yang melimpah tidak serta merta memudahkan perjalanan ini. “Banyak buku yang seharusnya dibaca dan singkatnya usia hidup mengharuskan kita tidak sembarangan membaca buku,” kira-kira demikian pesan yang saya ingat dari guru saya. (bersambung)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun