Menurut Managing Director Thomson Reuters, Russel Haworth, populasi umat Islam dalam 30 tahun ke depan mencapai 70 persen populasi global. (Republika.co.id, 2013). Hingga 2014, menurut muslimpopulation.com, ada 2, 08 milyar umat Islam tesebar di berbagai negara dan tidak sedikit yang memiliki peran signifikan bagi negaranya. Perjalanan Indonesia misalnya, mulai dari peradaban Nusantara hingga perjuangan merebut kemerdekaan tidak bisa dilepaskan dari kontribusi umat Islam yang memiliki beragam corak. Sumber daya alam, warisan budaya, hingga kekayaan peradaban di setiap wilayah yang beragam menjadikan umat Islam memiliki nilai sangat istimewa di mata dunia. Selain itu, setiap muslim, dari berbagai latar belakang warna kulit, suku, bahasa dan bangsa di seluruh belahan bumi ini memiliki ikatan persaudaraan yang sangat intim yaitu Tauhid.
Setiap muslim menghadapkan wajahnya ke satu kiblat untuk menyembah Tuhan Yang Satu dan menjadikan utusan-Nya, Muhammad Saw, sebagai panutan sepanjang zaman. Hal ini menunjukkan bahwa jati diri dan harga diri umat Islam tidak hanya dari sisi kekayaan material di setiap wilayahnya namun juga kekayaan warisan spritual yang mampu menyatukan setiap muslim dari beragam latar. Dengan infrastruktur ini, umat Islam di setiap wilayah memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi komunitas dunia yang menakjubkan. Populasi yang besar namun tidak diiringi dengan kekuatan solidiritas hanya akan berakhir seperti buih di lautan. Jumlahnya banyak namun kualitasnya lemah sehingga mudah dipecahbelah dan dijajah.
Peluang persatuan untuk membangkitkan harga diri umat Islam sebagai umatan wasthan begitu jelas disaksikan oleh para ulama sebagai pewaris nabi. Ini bukan uthopia, karena sadaran konseptualnya, prinsip-prisipnya, begitu juga modal dan instrumennya telah tersedia dalam Alqur’an dan Sunnah. Bahkan semuanya telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad Saw bersama para sahabatnya yang mulia. Pada titik ini, saya ingin menggarisbawahi pentingnya persatuan Islam tidak mengubur negara yang ada apalagi nasionalisme. Persatuan dan solidaritas justru ada karena perbedaan nasionalisme, bangsa, bahasa, budaya, mazhab dst. Sebaliknya memaksakan untuk semuanya menjadi sama dan seragam seperti menjadi hanya satu negara atau satu agama sama dengan usaha melestarikan perpecahan dan konflik. Persatuan bukan menyamakan semuanya, tapi saling menghormati dalam perbedaan di atas kesamaan prinsip dan visi.
Keberagaman bangsa, budaya bahkan dinamika pemikiran dalam umat Islam menjadi modal utama, aset bahkan syarat persatuan. Adapun setiap usaha pemecah belah atas dasar kebencian apalagi berujung pada pertumpahan darah senantiasa dikecam oleh para ulama dan juga selalu diiringi dengan upaya-upaya rekonsiliasi sebagai manifestasi adanya prinsip universal; akal sehat, kemanusiaan, makhluk Tuhan, pecinta Nabi Muhammad dst. Selanjutnya kekuatan di tangan Islam bukanlah bertujuan untuk merusak alam apalagi manusia, tapi justru sebagai alat untuk mewujudkan visi rahmatan lil alamiin (kasih sayang bagi semesta)
Kesadaran akan pentingnya persatuan bagi umat Islam ini tereflefkesi dalam berbagai kegiatan, karya ilmiah, seminar, konfrensi, hingga deklarasi demi menanamkan lebih dalam urgensi persatuan umat Islam. Pada tahun 2005, ada 200 ulama/ tokoh Islam dari 50 negara berkumpul di Yordania atas dasar memperkokoh toleransi dalam Islam. Mungkin inilah deklarasi umat Islam yang kontemporer dengan sekala yang sangat luas dari segi partisipasi dan sangat tinggi dalam kreadibilitas.
Hingga kini telah mendapatkan lebih 500 tanda tangan ulama/ tokoh Islam dari lrbih 80 negara. Pernyataan sikap dalam acara yang bertemkan “Islam Hakiki dan Perannya dalam Masyarakat Moderan” terkenal dengan Risalah Amman. Adapun petikan dari isi dari Risalah Amman sebagai berikut:
Whosoever is an adherent to one of the four Sunni schools (Mathahib) of Islamic jurisprudence (Hanafi, Maliki, Shafi`i and Hanbali), the two Shi’i schools of Islamic jurisprudence (Ja`fari and Zaydi), the Ibadi school of Islamic jurisprudence and the Thahiri school of Islamic jurisprudence, is a Muslim. Declaring that person an apostate is impossible and impermissible. Verily his (or her) blood, honour, and property are inviolable. Moreover, in accordance with the Shaykh Al-Azhar’s fatwa, it is neither possible nor permissible to declare whosoever subscribes to the Ash`ari creed or whoever practices real Tasawwuf (Sufism) an apostate. Likewise, it is neither possible nor permissible to declare whosoever subscribes to true Salafi thought an apostate. Equally, it is neither possible nor permissible to declare as apostates any group of Muslims who believes in God, Glorified and Exalted be He, and His Messenger (may peace and blessings be upon him) and the pillars of faith, and acknowledges the five pillars of Islam, and does not deny any necessarily self-evident tenet of religion.
Terjemahan:
Barang siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali, dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), serta mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. Tidak diperbolehkan mengkafirkan salah seorang dari pengikut/penganut mazhab-mazhab yang disebut di atas. Darah, kehormatan dan harta benda salah seorang dari pengikut/penganut mazhab-mazhab yang disebut di atas tidak boleh dihalalkan. Lebih lanjut, tidak diperbolehkan mengkafirkan siapa saja yang mengikuti akidah Asy’ari atau siapa saja yang mengamalkan tasawuf (sufisme). Demikian pula, tidak diperbolehkan mengkafirkan siapa saja yang mengikuti pemikiran Salafi yang sejati. Sejalan dengan itu, tidak diperbolehkan mengkafirkan kelompok Muslim manapun yang percaya pada Allah, mengagungkan dan mensucikan-Nya, meyakini Rasulullah (saw) dan rukun-rukun iman, mengakui lima rukun Islam, serta tidak mengingkari ajaran-ajaran yang sudah pasti dan disepakati dalam agama Islam. (selengkapnya, lihat: ammanmessage.com)
Menuju Indonesia Damai
Tetapi kecuali Pancasila adalah satu Weltanschaung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Maerauke hanyalah dapat bersatu padu di atas dasar Panscasila itu. Dan bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya kita letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga pada hakikatnya satu alat mempersatu dalam perjuangan kita melenyapkan segala penyakit terutama sekali, Imperliasme. (Soekarno, 1958, I: 3)
Dalam buku Negara Paripurna (Yudi Latif, 2011), dikatakan Soekarno kerap menggunakan kiasan “menggali” dalam merumuskan Pancasila. Aktivitas “menggali” melibatkan bumi dan tubuh; Pancasila lahir dari jerih payah sejarah, dan-seperti halnya hasil bumi- menawarkan sesuatu yang tetap bisa diolah lebih lanjut. Kenyataanya, pasca kemerdekaan bangsa ini dari para penjajah, Pancasila benar-benar dituntut untuk diaktualkan secara nyata di bumi pertiwi ini.
Di era globalisasi ini, mematikan semangat juang pemuda tidak lagi dengan gertakan meriam, namun dengan serbuan informasi dan budaya asing yang bersifat merusak untuk sekedar mencabut mereka dari akar sejarah, budaya, pandangan dunia hingga ideologinya. Kurang lebih 32 tahun pada masa ode baru, Pancasila berhasil digeser dari dasar pilar-pilar kekuatan bangsa menjadi dasar penguasa otoriter. Dampaknya, setelah reformasi, Pancasila hingga kini berada di titik nadir untuk tidak dikatakan hanya tinggal nama. Eskalasi konflik sosial khususnya atas nama agama mewarnai perjalanan bangsa selanjutnya. Gereja dihancurkan, masjid disegel, rumah dibakar, monumen budaya didemo, hingga makam para leluhur pun tidak luput dari serangan. Ekspresi kebencian berbau rasis sangat telanjang dilakukan di ruang publik yang sejatinya memiliki konstitusi ini.
Banyaknya korban yang jatuh akibat kekerasan atas nama agama memperpanjang masa kelam bangsa ini. Selain tempat ibadah mereka dihancurkan, rumah mereka dibakar, ternak dan sumber penghasilan dibumi-hanguskan, kerabat meraka juga dipenjara bahkan dibunuh hingga peremupan dan anak-anak harus terusir oleh bangsa sendiri. Hingga kini, tidak sedikit jamaat Kritiani yang masih merasa tidak aman menjalankan ibadahnya karena sekolompok intoleran. Di wilayah lain, ada ratusan pengungsi dari Ahmadiyah dan Islam Syiah yang belum mendapatkan kepastian nasib dari negara yang telah hampir seabad merayakan kemerdekaannya.
Dalam suasana seperti ini, kehadiran tokoh masyarakat, pemuka agama, budayawan, aktivis sosial-politik yang masih memiliki kesadaran akan visi bangsa ini dan bahaya laten intoleransi sebagai tumor bagi ke-bhineka-an, menjadi harapan bagi masa depan Indonesia. Kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat yang rentan perpecahan ini diharapkan menjadi bagian penting dari arus kebangkitan menuju persatuan khususnya di negeri yang tercinta ini. Berikut kutipan sebagian tokoh-tokoh Islam Indonesia berkenaan dengan toleransi:
Syafi’i Ma’arif; Negarawan