Lalu, kawan saya cerita. Katanya sudah rajin shalat berjamaah. Selalu mengaji tapi hidup tetap pas-pasan. Bahkan sering cari pinjaman. Sedangkan tetangganya yang tidak pernah shalat. Selalu kecukupan, bahkan mobilnya ganti-ganti terus. Kok bisa membandingkan diri sendiri?
Ada lagi yang rajin zikir pagi-petang. Getol puasa dan ibadah sunnah lainnya. Tapi karier tetap tidak ada kemajuan. Bahkan sudah 5 tahun tetap jadi tenaga honorer. Sedangkan teman yang tidak rajin mengaji, jarang puasa bahkan jauh dari ketaatan.
Kariernya mapan, bahkan gampang naik jabatan. Kok bisa membandingkan lagi?
Itulah, kita ini kurang bersyukur. Kerjanya membandingkan diri dengan orang lain. Maunya semua yang diminta dikabulkan. Maunya yang dipikir harus tercapai. Terlalu egois dan gampang banget menyalahkan. Tidak bersyukur dan buta nikmat atas apa yang dimiliki.
Kita sering lupa. Coba tengok badan kita yang masih sehat. Masih enak makan apapun lauknya, enak tidur apapun kasurnya. Hidup masih aman, tidak ada perang. Masih bisa cari ilmu, membaca buku. Masih sehat jasmani dan rohani. Masih bisa ibadah dengan lancar. Bukankah itu semua nikmat yang patut disyukuri? Lalu kenapa kita hanya fokus pada nikmat dunia dan materi semata?
Cuma cerita saja nih. Saya dan para relawan yang berkiprah di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak sih bersyukur banget. Masih bisa menebar manfaat kepada sesama. Membimbing anak-anak yang membaca buku, bermain bersama, mengajar calistung anak kelas prasekolah, mengajar baca-tulis kaum buta aksara, hingga menjalankan motor baca keliling kampung walau sering mendung dan hujan. Bersyukur punya tempat untuk bersosial dan mengabdikan diri kepada orang banyak di taman bacaan. Akhirnya sadar betul. Apapun kondisi kita ternyata masih banyak orang yang membutuhkan kepedulian dan uluran tangan kita. Alhamdulillah dan bersyukur banget ada di taman bacaan.