Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Untuk Kamu, Kaum Pemaksa Isi Kepala Lupa Mendidik Akhlak

23 Januari 2022   19:43 Diperbarui: 23 Januari 2022   19:49 231 3
Sudah biasa, bila hidup tidak selalu berjalan sesuai yang diharapkan. Maka siapapun, terkadang tidak bisa memaksakan sesuatu sesuai keinginannya. Sebaik apapun niat dan rencananya. Setinggi apapun cita-citanya. Karena manusia hanya bisa ikhtiar.

Tapi sayang, banyak orang menganggap keinginan yang tidak tercapai adalah akhir dari segalanya. Laku, terpuruk dan gagal berbuat untuk lebih baik. Akibat terlalu memaksa pikiran dalam hidupnya. Hingga akhirnya, harapan berbeda dengan kenyataan. Jadilah, memaksa atau dipaksa.

Hampir semua orang tua ingin anaknya berpendidikan. Kuliah S1, S2, atau S3 agar jadi orang sukses. Lulus kuliah dan bekerja, sehingga jadi cerita orang tua ke mana-mana. Bahwa si orang tua berhasil mendidik anak-anaknya. Pendidikan yang dipaksa sesuai dengan isi kepala orang tua. Jadi yang hebat anaknya atau orang tuanya ya?

Sebutlah orang tua yang "memaksa" isi kepala anaknya. Tapi sayang, lupa mendidik akhlaknya. Anak-anak sering kali "dipaksa" untuk mendapat nilai sempurna. Tapi di saat yang sama, mereka diabaikan mentalitasnya. Anak disuruh sekolah yang rajin, ikut les. Tambah lagi privat di rumah. Sementara emosional dan spiritualnya kosong. Kasihan ya anak-anak. Dipaksa menjalankan isi kepala orang tua. Agar jadi ini jadi itu.

Hidup di zaman edan. Semua serba dipaksakan. Agar dibilang berhasil atau menyaingi orang lain. Apapun bakal dilakukan orang tua. Asal anakmya mau mengikuti keinginannya dan dianggap sukaea. Pendidikan pun tidak lagi  merdeka. Belajar bukan atas "kerelaan". Tapi atas paksaan. Orang dewasa yang "memaksa" anak-anak. Sungguh bisa jadi, anak-anak itu di bawah tekanan orang tua dan guru sekalipun.

Hidup di zaman now, memang harus siap "dipaksa" atau "memaksa". Memaksakan kehendak kepada orang lain. Bahkan tidak sedikit orang yang "memaksa diri". Agar dibilang hebat, dibilang keren. Bahkan dibilang kaya alias borju. Hidup dalam keterpaksaan, mungkin indah di mata mereka. Terpaksa menjadi orang lain untuk orang lain. Tidak apa adanya lagi.

Memaksa isi kepala. Pikirannya dijadikan tuhan. Padahal tidak sepenuhnya benar. Bahkan tahu pun sedikit saja. Lalu, kenapa memaksakan keyakinannya kepada orang lain? Orang lain selalu dianggap salah. Hanya dia yang paling benar. Bila tidak sama, maka akam dibenci dan dihujat habis-habisan. Semuanya harus ikut cara berpikirnya. Orang dewasa aneh. Kasih makan nggak, nguliahin nggak. Tapi maunya seperti yang dia pikirkan. Bila tidak bisa sama, kenapa memaksa untuk tidak boleh beda?

Memaksakan diri, serba terpaksa. Hidup tidak lagi berdasar kemampuan. Tapi berlandaskan kemauan. Terlalu memaksa akhirnya jadi merana. Seperti kaum jomblo yang terus memaksakan cintanya. Hingga akhirnya terluka. Mau sampai kapan memaksakan diri?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun