Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Surti Bukan Perempuan Sosialita

1 Februari 2014   17:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:15 134 1

Hidup di kota megapolitan seperti Jakarta, memang banyak konsekuensinya. Surti merasakan itu sendiri. Ia sulit menghindar dari aktivtas di sekolah anaknya. Demi pergaulan, ia terpaksa ikut arisan para orang tua murid. Tiap minggu arisan digelar. Tradisi kaum perempuan di kota.

Entah, ibu-ibu itu sudah masak atau belum di rumah. Arisan minggu ini siap dikocok. Surti hadir seperti biasanya. Ramai. Gelak tawa. Hingga warna-warni obrolan kaum perempuan. Bisa jadi, dosip ada di dalamnya.

Tiba-tiba mata Surti tertuju pada tas yang ditenteng teman arisannya. Tas Hermes warna krem yang keren. Mata Surti hampir tidak berhenti menatapnya. Batin Surti bilang, bagus banget tas-nya.

“Mbak, bagus banget tas-nya” tanya Surti sekilas membuka obrolan.

“Iya, ini merek Hermes. Standar yang biasa saya pakai, Bu” jawabnya.

“Itu asli mbak?” tanya Surti lagi polos.

“Asli dong, pegang saja Ini Hermes Kelly. Kulitnya asli dan dilapisi emas, palladium” jawabnya lagi.

“Pasti mahal harganya ya mbak?” kata Surti seolah ingin tahu.

“Aduh kalo harga, tau sendiri deh. Gak enak nyebutnya, nanti didatengin KPK lagi hehe. Yang jelas ratusan juta Bu” tutur Ibu itu dengan bangga, sambil mengangkat alis matanya.

Surti terdiam. Ia tak ingin bertanya lagi. Maklum, Surti awam soal tas mahal. Baginya, semua tas sama saja. Cara berpikir Surti memang beda. Dia tidak melihat tas sebagai simbol status. Tas hanya tempat untuk menyimpan barang yang diperlukan saat bepergian. Itu saja fungsi tas, cukup.

Langit mulai mendung. Surti segera pulang ke rumah. Takut hujan. Dia juga harus menjemput anak pertamanya yang sedang les. Sesampai di rumah Surti terkaget, Tono suaminya sudah di rumah.

“Lho kok, sudah pulang Mas?” tanya Surti.

“Iya Bu, aku kurang enak badan. Jadi izin pulang duluan. Dari mana?” tanya balik Tono

“Aku abis arisan sekolahnya Farah. Dan jemput Fahmi. Maaf ya Mas, baru pulang” kelas Surti.

Maghrib menjelang. Surti mandi. Berdandan untuk menemani suaminya di ruang tenagh. Ngobrol dengan suami, itulah kebiasaan Surti dari sejak menikah dulu.

“Mas, aku bingung, tadi ada orang tua temannya farah yang pakai tas Hermes. Katanya harganya ratusan juta. Kok bisa ya, beli tas saja harganya selangit?” canda Surti.

“Wah hebat kamu Bu. Tau-tauan tas Hermes. Bagi kaum metropolis, tas itu dianggap sebagai simbol status sosial. Bukan hanya produk fashion semata. Padahal, tas Hermes Birkin misalnya, itu dibuat karena curhatan aktris Jane Birkin kepada bos Hermès, Jean-Louis Dumas. Saat itu Jane yang satu pesawat dengan Dumas dibuat repot dengan tasnya. Ketika itu Jane berusaha meletakkan tasnya di bagasi atas kursi namun isinya kemudian tumpah dan berantakan. Kalo alasannya cuma itu, lalu apa hubungannya dengan status sosial?” jelas Tono dengan agak tertawa.

“Mungkin itu yang disebut dengan perempuan sosialita kali ya, Mas?” tanya Surti penasaran.

“Ya Bu, itulah yang kita harus hati-hati hidup di kota Jakarta. Ini kota metropolis yang mampu mengubah gaya hidup penghuninya. Termasuk perempuan seperti kamu akan mudah tergilas dengan gaya hidup hedonis, hidup yang mementingkan kesenangan sesaat. Maunya pakai tas bermerek, pakaiannya modis dan seksi. Gadget-nya sangat mumpuni dan canggih” celetuk Tono.

Surti tidak sependapat dengan Tono. Bukankah kesenangan juga dipilih setiap orang, tidak hanya perempuan, batin Surti bergumam. Ia sedikit cembetut. Mengernyitkan dahi.

“Kalau menurutku Mas, tidak ada yang salah dengan perempuan sosialita, Gaya hidup mereka adalah pilihan” argumen Surti.

“Ya memang tidak ada yang salah Bu. hanya perlu hati-hati. Sejauh perempuan sosialita tidak melupakan kewajibannya sebagai istri, sebagai ibu, tidakmasalah. Asal anak-anaknya diurus dan diasuh. Suaminya diprioritaskan, itu oke-oke saja. Dan sosilita itu, memang hak dan kelas segelintir orang yang mampu” papar Tono.

Surti baru memahami. Sosialita adalah pilihan orang. Tidak perlu dilarang karena memang tuntutan hidup di kota besar seperti Jakarta, pikirnya.

“Memang zamannya sudah seperti ini ya Mas. Mereka juga kan harus mengikutinya?” balas Surti.

Tono memang kurang sepaham dengan kaum sosialita. Baginya, kaum sosialita dan gaya hidup hedonis akan makin menyakiti kaum yang tidak mampu. “Terlepas dari zaman Bu, perempuan sosialita yang hedonis akan makin mempertegas kesenjangan sosial. Jadi, kaum sosialita harus mampu mengendalikan diri. Ada kesanmereka telah menciptakan jarak antara kaum high class dengan lower class. Jarak yang makin jauh antara si kaya dan si miskin,bak langit dan bumi. Itu yang mereka tidak sadari”.

Surti setuju dengan pendapat suaminya. Ia mengangguk. Ia hanya khawatir, gaya hidup sisialitas merambah pada kaum yang sebenarnya tidak mampu. Tapi terpaksa mengikuti arus hedonis.

“Jadi, sosialita juga bisa berdampak pada orang banyak ya, Mas?” lanjut Surti.

“Ya tentu, Bu. Sosialita itu itu dekat dengan korupsi karena untuk mempertahankan hidupnya yang mahal. Sosialita itu hedonis, maka akan dekat dengan perselingkuhan, seks bebas. Bahkan narkoba. Seperti hiruk pikuk yang ada di TV, itu semua akibat dari gaya hidup sosialita yang kebablasan.”

Surti memang tertarik jika membahas soal sosialita. Maklum, banyak kaum perempuan di dekatnya yang seperti itu. “Tapi, mengapa kaum sosialita itu terus berkembang di Jakarta, Mas?”

“Itulah Bu. Entah, aku tidak tahu. Memang ada masyarakat yang mencibir mereka. Tapi gaya hidup itu tetap tumbuh. Hedonis semakin mereka puja. Tanpa mau melihat ke bawah. Maka, seperti yang pernah aku bilang, yang penting kita harus punya sikap respek Bu. Sikap menghormati dan menghargai orang lain. Karena di samping kaum sosialita ada juga kelompok masyarakat yang perlu kita jaga perasaannya.”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun