Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Surti; Kartini Itu Sikap Bukan Ambisi

21 April 2013   20:11 Diperbarui: 21 April 2017   16:00 260 0

Lukisan seorang wanita yang sangat indah terpampang di dinding rumah Surti. Teks lukisan itu berbunyi "...keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri“ (Surat Kartini kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899). Surti adalah pengagum berat R.A. Kartini, pahlawan emansipasi wanita.

 

Sudah 14 tahun Surti menjalani bahtera rumah tangga dengan Tono. Dikaruniai 2 anak. Adem dan biasa saja rumah tangga Surti. Bahkan hingga kini, hampir tiap week end, Surti masih belajar masak pada pembantunya. Maklum, ia seorang wanita karier yang ikut menopang ekonomi rumah tangga. Kerja dan aktivitas kantor Surti terlalu padat. Ia tidak cukup waktu mengurus rumah dan keluarganya. “Aku kerja juga kan untuk keluargaku. Urusan rumah aku serahkan saja pada orang yang bisa kita gaji”, begitu kalimat yang sering diucapkan Surti.

Berangkat pagi, pulang malam. Itulah keseharian Surti. Ia seorang wanita karier yang tangguh. Cerdas dan etos kerjanya tinggi. Agak wajar, tempatnya bekerja memberi kepercayaan yang tinggi.

Pada suatu malam, Tono sang suami bertanya, “Bu, anak-anak kita sudah mulai besar. Apa kamu tidak terpikir untuk mendidik mereka”.

“Maksud Mas, apa?” tanya Surti. Ya, saya hanya bertanya, kali aja kanu terpikir untuk berhenti bekerja dan mengurus anak-anak yang sudah beranjak remaja. “Loh, Mas gimana sih. Semua urusan rumah kan juga sudah dipenuhi. Aku kerja untuk semua keperluan kita. Gak terbayang kalau aku berhenti kerja. Apa Mas mampu memenuhi kebutuhan kita?” jawab Surti agak panjang dan logis.

Tono langsung diam. “Ya, sudah Bu. Saya hanya tanya saja”.

 

Feminisme dan kesetaraan gender, itu ajaran yang dianut Surti sebagai pengagum R.A. Kartini. Karena itu sejak gadis, Surti kuliah untuk mencapai nilai tertinggi. Mudah mendapat kerja dan kini menjadi wanita karier yang menonjol. Dari segi emansipasi, Surti sosok yang sempurna. Menjadi tandem suami dalam memenuhi ekonomi rumah tangga. Tak dapat disangkal, Surti seorang pekerja tangguh. Sukses dan berhasil.

 

Namun jalan hidup tidak selalu sesuai rencana manusia. Hingga akhirnya, anak pertamanya terlibat kasus narkoba, obat terlarang. Anaknya tertangkap basah bersama teman-temannya satu sekolah. Anak Surti dikeluarkan dari sekolah. Lalu berurusan dengan polisi.

 

 

Sebagai ibu, Surti tidak percaya. Mengapa bisa terjadi. “Ibu, ini kerja mati-matian untuk kamu Nak. Tapi kenapa kamu begini” tanya Surti pada anaknya. Anak Surto diam tak menjawab. Sambil memegang tubuh anaknya, Surti dengan nada marah, “Knapa kamu kecewakan Ibh. Kamu sadar apa yang kamu perbuat itu salah?”

 

“Maaf Bu, aku hanya kesepian di rumah. Aku gak tau kalo teman-teman suka narkoba. Gak ada yang bilangin, gak ada yang nasehatin aku, Bu” jawab anak Surti.

 

Surti akhirnya terdiam. Ia seakan terpukul dengan jawaban anaknya. Surti mulai berpikir, inikah soal yang pernah ditanyakan suaminya, Tono, saat meminta Surti berhenti bekerja.

 

 

Surti boleh bangga atas apa yang diraihnya dalam pekerjaan. Sayang, Surti lengah pada urusan yang justru menjadi kewajibannya. Ia lupa harus mendidik anaknya di rumah. Ia lupa menjadi ibu. Bahkan Surti juga sering lupa pada fitrahnya sebagai ibu sekaligus istri. Anaknya, kesepian karena Surti memilih untuk lebih berat mengejar karier atau sibuk memerdekakan diri daripada mengurus anak-anaknya.

 

Surti, kini mengalami penyesalan mendalam. Entah, apa lagi yang harus dijalaninya. Haruskah ia memilih anak-anaknya atau karier? Surti gundah.

 

Hari berganti hari.

Surti mulai mempertimbangkan untuk berhenti bekerja. Ada pukulan berat atas masalah yang dihadapi anaknya. Surti pun mengutarakan niatnya kepada suaminya. “Mas, kasus anak kita bikin aku gak bisa terima. Aku terpukul. Apa tidak sebaiknya aku berhenti kerja aja ya, Mas..? tanya Surti pada suaminya.

 

“Terus terang Bu, saya serahkan sepenuhnya pada ibu aja. Buat saya gak masalah, yang penting Ivu harus mampu menyelaraskan hak dan tanggung jawab sebagai hamba Allah secara kodrati, mampu menjadi ibu bagi anak-anak, dan istoqomah sebagai istri dalam keadaan apapun” nasihat Tono pada istrinya.

 

Mumpung ada momentum. Tono pun melanjutkan menasihati Surti. “Kartini tidak pernah ingin emansipasi yang diperjuangkannya disalahgunakan sebagai kedok ‘kebebasan’ kaum wanita.  Emansipasi bukan pemberontakan wanita dari kodrat kewanitaannya. Wanita itu sumber kelembutan. Ia adalah pendidik utama anak-anaknya. Menjadi Ibu untuk mengantar mereka menjadi anak yang kuat, cerdas, dan berguna bagi agama” ujar Tono lugas.

 

Surti makin terpojok. Menyadari kekurangannya. Ia ingin bangkit. Membenahi kodrat kewanitaannya. Surto sadar betul bahwa ia bukan Kartini. Walau ia pengagum berat paglawan emansipasi wanita itu.

 

Tono mendekat pada Surti. "Sekarang ada di tanganmu, Bu. Kamu yang tahu dari mana dan mau kemana kamu sebagai wanita?" ujar Tono.

 

Surti mengangguk, mengiyakan nasihat suaminya. Dalam hatinya, Surti berucap “Sungguh menjadi Kartini adalah sebuah sikap, bukan ambisi ..” (Selamat Hari Kartini)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun