Kejadian itu adalah fragmen pada bagian-bagian penutup film “Merantau” (rilis Agustus 2009) disutradarai oleh Filmmaker dan penulis naskah asal Inggris kelahiran Wales, Gareth Evans. Tokoh utama dalam film ini diperankan pesilat nasional Iko Uwais yang berperan sebagai “Yuda” dan pendatang baru Sisca Jesicca. Film ini didukung oleh beberapa aktor dan aktris seperti Donny Alamsyah, Christine Hakim, Mads Koudal, Laurent Buson, dan beberapa aktor-aktris lainnya.
Film ini mengambil latar berupa tradisi merantau yang sangat lekat dalam kebudayaan Minangkabau. Bahkan hingga sekarang, tradisi ini masih kerap dilakukan oleh lelaki-lelaki muda Minangkabau. Pergi jauh dari tempat asalnya, biasanya ke kota-kota besar, untuk mencari kekayaan, pengalaman, dan pengetahuan-pengetahuan baru sebagai bekal sebelum akhirnya kembali pulang dan mengabdi di tanah asalnya.
Latar tradisi itulah yang hendak digambarkan dalam fragmen-fragmen awal dalam film ini. Sayangnya memang, Sutradara Gareth Evans sepertinya kurang mampu menampilkan setting budaya yang melatari tradisi tersebut. Kecuali dari dialog antara Wulan, sang ibu, yang diperankan Christine Hakim dengan Yuda yang diperankan Iko Uwais, pemirsa yang tidak memiliki pengetahuan akan kebudayaan Minang, barangkali tidak akan mengerti mengapa Yuda memilih meninggalkan tanah kelahirannya yang subur, meninggalkan ibunya yang begitu penyayang, dan kakaknya yang begitu berwibawa.
Atas dasar tradisi itulah Yuda memilih untuk merantau ke Jakarta. Dia berniat menggunakan kepandaiannya mengajar silat sebagai bekal hidupnya di Jakarta. Dalam perjalanan ke Jakarta, Yuda bertemu dengan Erik, seorang pria yang mengaku pernah memiliki cita-cita yang sama dengan yang disampaikan Yuda.
Berikut ini dialog antara Yuda dengan Erik dalam perjalanan menuju Jakarta:
“Untuk apo kamu ke Jakarta? Mau cari karjo?” tanya Erik.
“Awak nak merantau,” jawab Yuda.
“Merantau? Itu awak dulu…,” tanya Erik.
“Oya?”
“Ya dulu…,” ujar Erik sambil menghisap rokoknya.
“Uda kerja apo di Jakarta?”
“Sekarang awak kerja di mana saja, kemano kaki bisa membawa. Di Jakarta rencanamu apa? Tanya Erik.
“Awak berharap untuk bisa ngajar sile..,” jawab Yuda sambil tersenyum.
“Sile… heh..maaf, bukan maksud awak rendahkan kamu, melihatmu seperti melihat awak di masa dulu, lima belas tahun lalu”
“Uda bisa sile juga…?”
“Yah… kalau kepepet awak ingat”
“Bagaimana cerita uda dulu awal uda merantau ke Jakarta?”
“Gini saran awak, kamu belajarlah dari kegagalan awak. Kamu sadarkan kepalamu itu dari mimpi-mimpi belaka. Karena hidup tidak cukup dengan hanya ngajar sile. Percayo sama awak, awak lah pernah mencobanyo. Saran awak, sebaiknya kamu pergunakan kepandaianmu itu untuk hal lain dan carilah duit di tempat yang berbeda. Di perantauan ini tidak seperti di kelas waktu kamu sekolah nyo. Tidak ado yang mudah dibeli,” tutur Erik.
Sesampainya di Jakarta, tidak butuh waktu yang lama bagi Yuda untuk memahami perkataan Erik. Dia tidak hanya gagal menemukan rumah saudaranya yang hendak dia tumpangi sementara, dia juga terpaksa berurusan dengan anak kecil yang mencuri dompetnya. Anak itu lari dan dikejar hingga dapat oleh Yuda.
Seusai berhasil kembali meraih kembali dompetnya dari tangan pencopet kecil, Yuda justru bertemu dengan Astri yang sedang diancam oleh John. Asti adalah penari di klub yang dikelola John. Astri itulah kakak dari Adit, anak kecil yang barusan mencuri dompetnya.
Pertemuan itulah yang menyeret Yuda dalam urusan yang lebih besar. John adalah bagian dari sindikat yang memperdagangkan sekaligus mempekerjakan perempuan-perempuan sebagai pekerja seks komersial. John juga berjaringan dengan sindikat perdagangan perempuan yang lebih besar. John pulalah yang hendak menjual Astri pada boss-nya, seorang bule bernama Ratger.
Sejak pertemuan itu, plot yang tadinya lambat berubah menjadi cepat. Adegan-adegan perkelahian terjadi berulangkali di beberapa tempat yang berbeda. Awalnya Yuda berhasil membebaskan Astri yang sudah hampir dijual kepada Ratger. Namun keinginan Astri untuk mengambil uang tabungan yang disimpan di kontrakannya menyebabkan mereka kembali berurusan dengan sindikat yang masih menginginkan Astri.
Keberhasilan tidak datang dua kali. Kali ini, sindikat berhasil menculik Astri dan membawanya ke apartemen yang ditempati Ratget. Pada saat itu, Yuda masih sibuk meladeni tukang-tukang pukul Ratger yang kini jumlahnya jauh lebih banyak. Adit yang menyaksikan kakaknya diculik kaki-tangan Ratger menuturkan kejadian itu pada Yuda yang kembali mengejar para penculik tersebut hingga ke apartemen Ratger.
Di apartemen tersebut, Yuda bertemu dengan Erik, pria yang sempat berbincang dengannya saat perjalanan menuju Jakarta. Erik adalah salah-seorang tukang-pukul bayaran yang ditugaskan mengamankan Ratger dari incaran Yuda. Perkelahian mereka berujung pada kekalahan Erik namun nyawa Erik justru hilang oleh peluru-peluru dari tukang-pukul Ratger yang lain.
Pengejaran terus berlanjut hingga sampai pada sebuah kawasan gudang kontainer. Astri yang merana setelah diperkosa Ratger dimasukkan ke dalam kontainer itu bersama puluhan perempuan muda lainnya.
Perkelahian pun kembali terjadi. Puluhan orang menyerang Yuda namun semuanya bisa dikalahkan. Pada akhirnya Ratger dan temannya lah yang berurusan dengan Yuda. Perkelahian tangan kosong kemudian berubah menjadi menggunakan senjata berupa pipa besi. Temannya Ratger tewas setelah pipa yang dipegangnya justru menancap tepat di dadanya.
Saat pertarungan tinggal berdua, Yuda hampir kalah jika saja dia tidak mendapatkan bisikan ajaib dari Asti. Ratger pun bisa dikalahkan, meski tidak sampai dibunuh.
Saat Ratger telah berhasil dilumpuhkan, Yuda kemudian membuka pintu kontainer dan membebaskan perempuan-perempuan yang disekap di dalamnya. Saat yang tertinggal hanyalah Astri, tiba-tiba Ratger kembali menyerang. Kali ini serangannya mematikan, pipa besi berhasil dia tusukkan di perut Yuda. Sebelum tewas, pukulan dan tendangan balasan Yuda diarahkan leher Ratger hingga membuatnya mati. Yuda pun akhirnya tewas diiringi tangisan Astri.
Cerita ini berakhir dengan kisah Astri dan adiknya yang akhirnya pulang ke kampung halaman Yuda dan ditutup dengan kesedihan sang ibu yang ditinggal mati anaknya.
***
Seperti yang secara implisit dinyatakan Triwik Kurniasari dari the Jakarta Post, film ini sebagai membawa sebuah misi mengangkat salah-satu kekayaan budaya Indonesia, yakni pencak silat. Jika disimak dari sudut misi tersebut, film ini terbilang sukses. Adegan-adegan perkelahian mampu dikemas secara apik. Namun saya masih merasakan ada yang kurang dalam film tersebut. Kekurangan pertama yang tampak jelas adalah tidak adanya deskripsi visual yang menerangkan latar-belakang budaya merantau dari suku Minangkabau.
Saya kira, Minang adalah salah-satu suku dengan khazanah kebudayaan yang cukup tinggi. Merantau bagi pemuda-pemuda Minang memiliki arti filosofis sebagai ajang penempaan diri. Untuk melaksanakan tradisi itu, sepertinya tidak hanya dibekali keterampilan bela diri, tetapi juga pengetahuan agama dan pengetahuan umum lainnya. Inilah yang menyebabkan para perantau Minang dikenal sebagai perantau yang tangguh di Nusantara.
Salah-satu kekhasan budaya Minangkabau adalah kuatnya pengaruh ibu. Dalam film itu hadir Christine Hakim, aktris kawakan yang pernah memerankan tokoh Tjut Nyak Dien, pejuang perempuan dari Aceh. Sayangnya, keberadaan sosok ibu yang diperankan Christine Hakim sepertinya kurang mendapatkan porsi peran yang memadai. Sehingga, bagi pemirsa—yang sekali lagi barangkali kurang memahami budaya Minang—akan melihat sosok ibu dalam film itu sama halnya dengan sosok ibu secara “mainstream”.
Kedua, sebenarnya menarik mengaitkan tradisi merantau dengan fenomena trafficking. Fenomena ini terlihat dari kejadian-kejadian yang dialami tokoh Astri. Sudah bukan rahasia lagi jika Indonesia adalah salah-satu negara asal korban-korban trafficking. Kemiskinan dan sulitnya mendapatkan lapangan kerja di tanah air, serta birokrasi pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri yang tidak berbasis pada pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia menjadi faktor-faktor struktural yang melatari maraknya kasus-kasus trafficking di Indonesia. Sayangnya, lagi-lagi upaya untuk menghadirkan narasi itu secara lebih jernih kurang bisa dihadirkan dalam film ini.
Ketiga, sepengetahuan saya, silat tidak hanya melulu soal perkelahian. Sebagai salah-satu warisan luhur bangsa, silat juga memiliki makna lain yang terkait dengan aspek-aspek kebudayaan lainnya di Indonesia. Sebagai ilustrasi, silat seringkali diajarkan di pesantren-pesantren, hal ini mungkin bisa disamakan dengan kung fu yang diajarkan di kuil-kuil Shaolin. Hal ini sebenarnya disajikan secara samar-samar melalui tokoh Yuda yang menjadikan silat sebagai sarana menegakkan kebenaran dan keadilan.
Sayangnya, adegan-adegan perkelahian yang ditonjolkan, sepertinya tidak diimbangi dengan dialog-dialog yang bisa membawa pemirsa untuk mendalami makna-makna filosofis dibalik seni beladiri pencak silat.
Meski demikian, saya merasa patut mengacungi jempol untuk film ini. Setidaknya saya sendiri, terpikat untuk secara seksama memperhatikan adegan demi adegan yang terkemas apik dalam film ini.***
Kelapa Dua, Depok.
20 Maret 2010
Informasi tambahan:
Dari page "Merantau" di http://www.facebook.com/group.php?gid=22990598002&ref=ts&v=info diketahui bahwa film ini pernah diputar dalam beberapa festival, diantaranya:
- Palm Springs International Film Festival (USA)
- JIFFEST '09 (Jakarta, INDONESIA)
- INAFFF '09 (Jakarta, INDONESIA)
- Singapore (as MERANTAU WARRRIOR)
- American Film Market (USA)
- Hawaii International Film Festival (USA),
- Kaohsiung Film Festival (Taiwan),
- SITGES Film Festival (Spain),
- Fantastic Fest (USA),
- Jogja Netpac 4th Asian Film Festival (Indonesia),
- PiFan 2009 - Puchon International Fantastic Film Festival (South Korea)
Yang akan datang diputar di;
- Mauvais Genre Film Festival (France)
- 30th Fantasporto - Oporto International Film Festival (Portugal)