Ah, itu hal yang terlalu lumrah
Sama seperti saat kau kenal wajahku pertama ketika itu
Aku tak bisa mendengar suaramu di malam
Hanya sekelumit keriuhan yang ada di balik semak kesepian
Menyeruak bagai kengerian yang tiba tiba tampil berhadap hadapan denganku
Kita menjadi kau dan aku
Sama saat kau tak mungkin mengucap namaku di hari pertama ketika kegaduhan menyelinap di jantung kita masing masing yang sumpek menelan pertanyaan
Kau mencoba dan terus mencoba untuk menjadi kalimat biasa yang mafhum untuk diucapkan
Sampai sejauh mana kau akan menjadi alur jalan setapak yang pasti kuikuti.
Buntu!
Kau menyeka jalur itu
Kau membuatku muak untuk berlama lama dalam sebuah labirin yang rumit untuk mudah tertebak.
Kau terlalu cepat untuk menafsikan aku dalam sebuah drama monolog yang kau mainkan antara gelisah dan keburu buruan
Hasilnya, jelas kau akan mencerna kekecewaan bagai keputus asaan yang tak mungkin lagi ditemukan jawabannya.
Tapi tak apa—aku mulai relistis menganggapmu apa.
Mungkin kau tahu jawabannya.
Sama seperti terlalu sulit kau untuk menafsirkan aku dalam bentuk yang seutuhnya.
syamsir alam
22 juni 2014