Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Pilkada, Uang, Ruling Elite dan Bos Politik

5 Mei 2010   20:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:23 313 0
Pilkada, Ruling Elite, Uang, dan Bos Politik

Oleh Syamsir Pohan

Motifasi penulisan artikel ini berawal dari adanya fenomena perpolitikan yang janggal yang terjadi di negara kita, juga di Sumatera Utara yang akan menyelenggaran Pilkada di 24 kabupaten/kota . Fenomena perpolitikan yang tidak sehat – yang saya paparkan dalam tulisan ini – meski tidak memaparkan data faktual, tapi kita semua dapat merasakan apa yang saya sebut kejanggalan proses demokrasi; yaitu fenomena elite politik yang “kemaruk jabatan”, fenomena politik uang serta bosisme politik.

Berbicara persoalan pemilihan kepala daerah (pilkada), selain faktor figur calon, kita tidak bisa menegasikan faktor-faktor yang terlibat di dalam suksesi pilkada; seperti faktor partai politik, elit politik, uang dan bosisme politik atau biasa disebut investasi politik. Apa hubungan pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan ruling elite, uang dan bosisme politik? Mari sama-sama kita lihat dan telaah hubungan dan konkordansi antar-faktor tersebut di atas.

RULING ELITE

Kata ‘elite’ telah digunakan pada abad ke-17 untuk menggambarkan kualitas yang sempurna. Penggunaan kata itu kemudian diperluas untuk menunjuk kelompok sosial yang unggul, misalnya unit militer kelas satu atau tingkatan bangsawan yang tinggi. Itu menurut T.B Bottomore dalam kamus Oxford English Dictionary. Jika demikian, istilah elite politik dapat bermakna orang-orang - tidak hanya tokoh partai - yang berada di puncak piramida perpolitikan.

Apakah yang saya maksud dengan ruling elite dalam tulisan ini adalah elite partai politik? Tidak hanya elite partai politik, tapi semua kelompok yang berpengaruh. Ruling elite, yang saya kutip dari tulisan Anies Baswedan dalam artikelnya yang dikutip juga oleh M. Alfan Alfian dalam bukunya ‘Menjadi Pemimpin Politik’, mengatakan bahwa “ruling elite adalah sekelompok elite – di antara kaum elite-elite yang lain – yang berkuasa menentukan arah kehidupan bangsa dan negara.

Yang saya maksud dengan ruling elite, dalam hal ini terkait dengan pilkada, adalah sekelompok orang yang sangat berpengaruh secara politik – tidak hanya tokoh partai politik – yang ikut menentukan proses pemilihan kepala daerah. Apakah itu tokoh-tokoh partai politik, pengusaha, pemerintah/birokrat/incumb
ent, tokoh ormas, tokoh agama, tokoh adat, maupun tokoh-tokoh kelompok masyarakat lainnya.

Terkait dengan pilkada di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara yang sebentar lagi
diselenggarakan, seberapa besar pengaruh ruling elite dalam suksesi pilkada nanti? Tentu sangat besar. Mengapa demikian? Karena ruling elite mempunyai pengaruh politik yang cukup signifikan, menguasai basis massa berupa pengikut, mempunyai dana dan akses modal yang cukup besar, dan menguasai kontur maupun kultur masyarakat sekelilingnya. Dengan kekuasaannya tersebut ruling elite akan sangat mempengaruhi calon pemilih untuk memilih pasangan calon walikota/wakil dan bupati/wakil.

Ruling elite tentunya punya kepentingan politik terhadap pilkada. Dengan terpilihnya pasangan calon yang didukungnya, kepentingan politik dan ekonominya akan dapat terakomodasi. Itu keniscayaan atau ekses politik yang gampang ditebak bukan? Dukungan ruling elite terhadap pasangan calon tertentu selalu berprinsip ‘take and give’ seperti prinsip ekonomi. Itu kecenderungan negatifnya.

Apakah ruling elite punya pengaruh positif terhadap pemilihan kepala daerah? Tentu, sama besar pengaruh negatif dan positifnya. Ruling elite dapat menggunakan pengaruh politiknya untuk mengajak pengikutnya, kelompoknya, serta kekuasaan politik maupun dananya untuk mewujudkan pilkada yang lebih baik. Mereka dapat melakukan pencerahan kepada calon pemilih, mempengaruhi pilihannya untuk memilih pasangan calon kepala daerah yang baik track record-nya. Mereka juga dapat menyumbangkan dananya untuk keperluan kampanye pasangan calon kepala daerah tanpa ‘deal’ mengharap proyek atau kemudahan birokrasi untuk kepentingan politik dan bisnisnya.

UANG

Benarkah politik itu mahal? Menurut M. Alfan Alfian, mahal atau tidak itu tergantung dari mana kita memandangnya. Namun, jika diukur dari jumlah uang yang harus dikeluarkan, kita harus akui bahwa ongkos praktik politik di Indonsia memang tinggi, lebih-lebih untuk komponen tak resminya. Meskipun tak ada yang mau menyebut besarannya, ongkos pendekatan dan “ijab-kabul” seorang calon kepala daerah dengan partai politik pasti tinggi.

Partai-partai kita masih cenderung memposisikan diri sebagai “kendaraan” untuk calon bermodal besar. Sebaliknya, yang bermodal cekak, silakan minggir. Biaya itu belum termasuk ongkos sosialisasi politik dan kampanye, apalagi kalau sang kandidat “rela” melakukan money politic atau politik uang.
Istilah “alat yang lazim ditempuh untuk memenangkan suara” dalam perkembangannya mengalami penafsiran yang berbeda-beda dan menimbulkan perdebatan yang tajam. Namun, orang kemudian membedakan antara yang legal dan tidak legal. Yang legal atau yang termasuk dalam kategori financial politics adalah biaya atau ongkos yang tercatat dan dapat diaudit. Sedangkan yang haram alias tidak legal adalah yang tersembunyi dari audit atau melanggar ketentuan, dan ini termasuk dalam kategori money politics.

BOSISME POLITIK

Kapital atau modal tampak saling berkaitan. Dalam pilkada, pemenang sebenarnya adalah pemilik modal? Pertanyaan ini selalu mencuat di kalangan masyarakat. Memang demokrasi kita kerap memunculkan anekdot getir. Misalnya, dikatakan bahwa pemenang pilkada kabupaten atau kota A sebenarnya bukanlah pasangan X-Y, melainkan bandarnya. Atau, istilah halusnya pemodal atau investor. Sebagian lagi menyebut pemodal atau investor tersebut dengan istilah kerennya“don”, mungkin singkatan dari donator.

Pada kenyataannya, bandar sangat lihai bermain di segala lini dengan memodali semua kandidat yang berpeluang menang. Itulah sebabnya mengapa hampir seluruh kandidat pilkada di kabupaten atau kota A tidak mempersoalkan kasus kontroversial yang merugikan rakyat. Dan itulah sebabnya mengapa para kandidat bisa berlomba membagi “fasilitas” ke simpul-simpul strategis bak sinterklas. Fenomena ini mengingatkan kita pada wacana tentang bosisme politik (political bossism).

Bosisme politik menurut Fred J. Cook dalam bukunya American Political Bosses and Machines, diartikan sebagai sebuah sistem politik yang menempatkan sosok tunggal yang dengan kekuatan penuh mengontrol jalannya politik. Si bos membawahi organisasi yang kompleks serta memadukan kepentingan ekonomi dan politik sekaligus. Di Amerika, bosisme menjadi isu politik penting pada sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dan di Sumatera Utara, fenomena bosisme politik sepertinya sudah mulai terasa dan bahkan mencuat. Siapa pelakunya? Kita tidak tahu persis. Seperti lagu satu kuis di acara televisi kita dulu; “o’o siapa dia?”. Tebakan kita boleh jadi cenderung seragam mengarah kepada satu atau mungkin beberapa kelompok yang punya kepentingan di beberapa pilkada di kabupaten/kota di Sumut.

Di ranah ekonomi, si bos banyak memiliki usaha, serta lincah mengembangkan modal dan menyiasati sistem, baik secara legal-etis maupun secara nakal. Sang kapitalis selalu eksis di tengah cuaca politik apapun karena punya saham di kekuasaan. Dengan kekuatan modal dan jejaring yang kuat di segala lini serta dengan teknik canggih tertentu, si bos bisa mendiktekan kemauan politiknya kepada kandidat, bahkan mengatur perilaku pemilih.

Memodali politik itu kan boleh-boleh saja? Memang tidak salah, tapi mestinya etis, taat aturan, dan sewajarnya saja. Yang dimodali wajib menegakkan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Persaingan politik harus wajar dan etis pula. Soal etis dan taat aturan memang normatif. Padahal, kultur kita masih sering salah kaprah: kalau aturan masih bisa dilanggar, mengapa harus ditaati. Nah, lho?

Yang harus kita lakukan adalah memperbaiki sistem, meningkatkan kualitas kesadaran masyarakat dan tanggung jawab nyata para aktor serta partai politik. Euforia politik masih terasa sekali, di mana ”kemaruk kekuasaan” lebih mengemuka ketimbang berpolitik untuk mengabdi.

PENUTUP

Pemilihan kepala daerah di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara yang sebentar lagi digelar tentu tidak hanya merupakan rutinitas demokrasi. Di sana dipertaruhkan harapan rakyat yang merindukan perubahan dan perbaikan. Di sana dipertaruhkan arah pembangunan daerah selama lima tahun ke depan. Meski sudah banyak rakyat yang apatis dengan pergantian dan pemilihan kepala daerah, namun tidak sedikit yang optimis dan berharap akan lahir pemimpin yang jujur dan adil.
Untuk menjawab harapan rakyat, ruling elite harus melepaskan kepentingan politik maupun kepentingan bisnisnya. Mari sama-sama mengedepankan norma-norma politik. Mari sama-sama mengusung perubahan dan perbaikan. Kehausan akan jabatan sama seperti meneguk air laut, semakin diteguk semakin haus pula. Jabatan kepala daerah memang jabatan prestisius, tapi jangan diraih dengan menghalalkan segala cara.

Segala sesuatunya memang perlu uang, tapi uang bukan segala-galanya. Para pemilih dalam pilkada nanti juga jangan sampai menggadaikan suaranya dengan uang atau fasilitas yang dijanjikan. Mari sama-sama mengawasi dan sama-sama membangun kesadaran untuk menjadi pemilih cerdas. Pemilih yang sadar akan pentingnya menggunakan hak suara. Tentunya dengan memilih calon kepala daerah yang jujur adil dan telah terbukti track record dan prestasinya.

Para bos atau investor politik silakan saja menyumbangkan dana perjuangan untuk pasangan calon. Tapi jangan mengharap laba-investasi politik. Jangan membajak demokrasi dengan mengikat deal “proyek” dengan pasangan calon kepala daerah. Jadilah bos politik yang baik.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun