Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Catatan Praktisi SDM: Menakar Kompetensi Capres-Cawapres

23 Mei 2014   14:55 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:12 148 0
Saya sebagai praktisi SDM atau human capital di perusahaan berpendapat bahwa memilih Presiden itu ibaratnya sedang menyeleksi karyawan baru. Karena ini level tertinggi bukan memilih karyawan biasa tapi karyawan level Direktur. Tentu kita tidak akan main-main dalam melakukan seleksi. Langkah pertama yang dilakukan yaitu menentukan kriteria. Kemudian memilih metode seleksi yang akurat untuk menggali informasi kandidat. Sampai akhirnya memutuskan siapa yang dipilih dari beberapa kandidat yang melamar. Dalam konteks Pilpres kita ingin memilih calon terbaik untuk menjadi Presiden yang memiliki kompetensi kepemimpinan dan values yang mumpuni.

Memiliki kompetensi sebagai seorang leader menjadi syarat pertama karena negeri kita memang sedang krisis kepemimpinan. Menurut Ustadz Didin Hafidudin dalam buku Manajemen Syariah, agar dapat sukses dalam memimpin maka pemimpin harus memenuhi kriteria berikut : 1). Dicintai oleh bawahan. Seorang pemimpin disamping memiliki kemampuan untuk melakukan tugas, juga harus memiliki kemampuan untuk mengelola hati. 2). Mampu menampung aspirasi bawahannya. Selain dicintai, juga dapat menerima kritik dari bawahannya. 3). Selalu bermusyawarah. Ditujukan untuk saling bertukar pendapat dan pemikiran. Jika berjalan dengan baik maka bawahan akan termotivasi karena dilibatkan dalam pengambilan keputusan. 4). Tegas. Tidak otoriter melainkan tegas berpegang pada prinsip, nilai-nilai dan kesepakatan bersama.

Selanjutnya tentang values menurut Arvan Pradiansyah ada 4 values yang harus dimiliki yaitu costumer focus, quality oriented, team work, and happiness. Dalam konteks negara costumer focus berarti berorientasi kepada rakyat.  Quality oriented berarti layanan yang berkualitas tinggi. Team work jelas maknanya bahwa yang dibangun adalah kebersamaan, saling percaya, super team dan bukan super man. Dan happiness yang berarti kebahagiaan artinya saat seseorang ingin membahagiakan orang lain maka dia harus mengerjakan itu semua dengan penuh rasa bahagia. Bahagia karena melayani bukan dilayani. Bahagia karena memberi bukan menerima.

Setelah kriteria ditentukan maka mulailah mencari metode yang tepat dalam menggali informasi tentang keadaan yang sebenarnya dari para kandidat. Inti dari penggalian informasi ini yaitu mendapatkan informasi yang valid tentang track record atau pengalaman dari yang bersangkutan. Yang digali bukan pengetahuan tapi apa yang sudah menjadi ‘darah daging’nya. Bukan teori lagi tapi sudah menjadi praktik kesehariannya.

Khusus kepada kandidat calon presiden dan wakil presiden mari cermati dengan objektif perjalanan karir kepemimpinan mereka satu per satu dengan jernih. Ibarat mencari penyanyi, jangan sampai memilih penyanyi yang hanya mengaku bisa menyanyi tapi belum pernah tampil di panggung. Jangan sampai memilih pemimpin yang mengaku bisa memimpin tapi belum pernah tampil memimpin masyarakat yang sebenarnya. Ingat, masyarakat kita sangat variatif kondisi dan kepribadiannya sehingga dibutuhkan orang yang telah teruji leadershipnya.

Dari dua pasangan kandidat yang ada, wakil dari tiap kandidat dapat dikatakan memiliki pengalaman yang mumpuni. Jusuf Kalla yang teruji sejak mahasiswa menjadi aktivis kampus di UNHAS, lalu memimpin perusahaan, masuk di ormas dan parpol, Pengurus Masjid Raya dan Al Markaz, KADIN, menjadi menteri dan wakil Presiden. Terakhir sebagai Ketua PMI dan DMI bahkan di CAPDI. Kemudian Hatta Radjasa pun demikian karena juga seorang aktivis kampus ITB dan Masjid Salman ITB, punya perusahaan, masuk parpol, jadi menteri, pengurus ICMI. Rasanya keduanya beda tipislah, meskipun karena factor pengalaman dan prestasi Jusuf Kalla tentu lebih unggul karena pernah jadi Wakil Presiden. Hatta Radjasa baru sampai Menko. Lalu lihat prestasi mereka selama menjabat. Rasanya JK tetap lebih unggul karena selama menjadi Wapres di era SBY berhasil mendamaikan Aceh, Poso di samping prestasi lain yang gemilang.

Dari kedua calon Presiden, Prabowo dan Jokowi memiliki track record dan pengalaman kepemimpinan yang berbeda. Prabowo pengalaman memimpin di dunia militer yang karakternya ‘seragam’ berpola komando. Apa kata atasan, itulah yang dijalankan oleh pasukan. Jadi seni dan pola leadershipnya kurang variatif.  Lalu perjalanan Prabowo menjadi ‘the rising star’ pada masanya sedikit banyak dipengaruhi oleh Presiden Soeharto yang jadi mertuanya. Bisa jadi seleksinya ‘kurang objektif’ karena kita semua tahu begitu power full nya Soeharto pada masa itu.

Bagaimana dengan Jokowi? Jokowi menjadi Walikota Solo dipilih langsung oleh rakyat. Prestasi kepemimpinannya selama 5 tahun menjadikannya terpilih kembali di periode kedua. Artinya rakyat telah memberi penilaian akan keberhasilannya memimpin rakyat dengan beragam kondisi dan problematikanya. Mengurusi PKL dengan pendekatan dialog dan langsung melihat permasalahan di lapangan dengan metode blusukan. Jadilah Jokowi pemimpin yang dicintai rakyat sehingga terpilih kembali. Ini membuat tokoh-tokoh nasional tertarik membawanya ke Jakarta menjadi Gubernur. Saat menang dan mulai menjalankan tugas, ternyata gaya leadershipnya banyak diliput media sehingga rakyat Indonesia tertarik. Akibatnya elektabilitasnya tinggi pada berbagai survey calon Presiden. Akhirnya belum selesai masa jabatan di Jakarta, karena kemauan rakyat melalui survey maka Jokowi pun diajukan oleh PDIP sebagai capres.

Berdasarkan pertimbangan tadi maka saya akan mengajukan kepada ‘hati nurani’ saya sebagai ‘komisaris’ diri saya siapa yang layak dipilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden yaitu pasangan Jokowi – Jusuf Kalla. Sebuah pilihan yang objektif berdasarkan data dan fakta dan jauh dari asumsi dan prasangka. Juga jauh dari nepotisme karena factor kedaerahan atau kesamaan latar belakang organisasi. Saya berasal dari daerah yang sama dengan JK yaitu Sulsel. Juga satu latar belakang organisasi dengan Hatta Radjasa  yaitu Masjid Salman ITB. Namun saya tidak ingin menggunakan itu sebagai pertimbangan utama karena Rasulullah melarang memilih pemimpin karena ashobiyah atau pertemanan semata. Tapi harus mencari yang betul-betul mampu atau kompeten. Mengapa? Apabila suatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya maka tunggulah kehancurannya. The right person on the right place.

Sungguh ini adalah pendapat saya pribadi karena saya sadar segala pilihan harus dipertanggungjawabkan. Jika ada pendapat yang berbeda itu biasa karena memang kita diciptakan tidak sama. Perbedaan itu rahmat selama tidak berpecah belah dan bermusuhan. Kita tetap bersaudara. Yang kita bela sama yaitu Indonesia. Harapan kita sama, mendapatkan Presiden yang memiliki kompetensi leadership serta values yang mumpuni. Pemimpin yang dicintai rakyat karena mampu menampung aspirasi mereka, tidak otoriter, tegas dan teguh berpegang pada prinsip dan nilai-nilai kebenaran. Mengutamakan kepentingan rakyat, berorientasi pelayanan terbaik,  membangun kebersamaan dan antusias dalam bekerja karena dilakukan dengan penuh rasa bahagia sebagai ibadah kepada Allah. Semoga itu dimiliki oleh Jokowi-JK. Amin.

Syamril
Makassar, 23 Mei 2014

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun