Masalahnya apakah para penyelenggara negara konsekuen terhadap upaya penegakkan hukum yangselama ini menjadi jargon reformasi. Mari kita perhatikan secara teliti ketentuan BAB VII B UUD 1945 tentang Pemilu maka sejatinya tidak dibutuhkan aturan tentang Presidential Threshold.
Inilah Bab VIIB UUD 1945 yang mengatur tentang Pemilihan Umum.
Pasal 22E
(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. ***)
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. ***)
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. ***)
(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan. ***)
(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. ***)
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undangundang. ***)
Ketentuan ini dengan tegas dan tidak ada interpretasi lain bahwa antara pemilu legislative dengan pemilu presiden dilaksanakan secara serentak bersamaan, sehingga tidak membutuhkan aturan tentang Presidential Threshold.
Sehingga sejatinya antara ayat (1) dan ayat (2) ini dalam satu kalimat saja dengan kata lain bisa dijadikan satu ayat saja tanpa mengurangi arti, makna dan maksudnya, sehingga akan berbunyi :
(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Tetapi permasalahan Presidential Threshold muncul karena BAB III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara tidak selaras dengan ketentuan Pasal 22E. Saya coba perhatikan ketentuan pada Pasal 6A:
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.***)
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. ***)
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. ***)
(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. ****)
(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang undang. ***)
Sebenarnya untuk mengatasi masalah ini tidak terlampau sulit yaitu dengan cara menyempurnakan bunyi ayat (2) Pasala 22E menjadi:
(2) Pemilihan umum diselenggarakan dalam dua tahapan yaitu;
a. Tahap pertama untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
b. Tahap Kedua untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan cara ini ketentuan pasal 6A menjadi selaras dengan Pasal 22E.
Jika dipertanyakan apa sebab dan mengapa antara pasal 6A dengan Pasal 22E realitasnya kontradiktif terkait ketentuan Presidential Threshold. Hal ini disebabkan ketika di Badan Pekerja MPR RI pembahasannya dilakukan oleh panel yang berbeda:
Satu panel yang membahas BAB III tentang KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA.Sementara panel lainnya membahas BAB VII B tentang PEMILIHAN UMUM. Hasil kerja kedua panel tersebut tidak diselaraskan ketika masuk ke rapat di Badan Pekerja dan pada Sidang Pleno MPR RI. Dengan demikian seolah olah hasil kerja masing masing panel berdiri sendiri.
Itulah sebabnya mengapa pasal 6A mengandung syarat Presidential Threshold pada satu sisi. Sementara pada sisi lain yaitu Pasal 22E sangat tegas dan jelas mengamanatkan pemilihan anggota legislative serentak dengan pemilihan presiden. Dengan demikian tidak membutuhkan prasyarat presidential thereshold. Bukti otentik bahwa antar pasal UUD 1945 sendiri memang terjadi saling tabrak yaitu antara pasal 6Adari Bab III dengan Pasal 22E.Bab VII B
Masalah “tabrakan” antar pasal UUD 1945 ini menurut saya yang tidak dapat dibiarkan berlarut larut karena kesalahan patal terletak pada konstitusi negara, pada UUD 1945 itu sendiri.
Kekeliruan yang memberi peluang DPR RI membentuk dua Undang Undang mengenai pemilu, yaitu Undang Undang Nomer 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif. Dan Undang Undang Nomer 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden.
Sehingga ketentuan UUD 1945 yang menyatakan Pemilihan Umum diselenggarakan setiap lima tahun sekali, ditabrak oleh kedua UU tersebut berakibat penyelenggaraan pemilu kita menjadi dua kali dalam lima tahun.
Tentu kita semua sepakat bahwa terjadi inifisiensi keuangan negara karena anggarannya menjadi dua kali lipat pula dan kita malas menyebutnya sebagai pemborosan uang negara.
Demikian juga tentang ketentuan Presidential Thereshold yang menimbulkan konflik politik yang tidak semestinya, serta pembahasan di DPR yang berlaru larut.
*****
Kompasiana 10 Juni 2013 : Suarat Terbuka Kepada Ketua DPR RI Bapak Dr. Marzuki Ali
Kompasiana 1 Agustus 2013 : Penyempurnaan Pasal UUD 1945 Mengatasi Konflik Presidential Theshold.